Mahasiswa di Lampung Raup Untung Rp 15 Juta dari Bisnis Startup

Editor: taryono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

game pocong jump

Mahasiswa di Lampung Raup Untung Rp 15 Juta dari Bisnis Startup

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Perusahaan rintisan atau startup semakin banyak hadir di Indonesia. Fenomena ini pun merembet ke area kampus di Bumi Ruwa Jurai.

Sejumlah mahasiswa akhirnya ikut terjun ke bisnis startup, mulai sektor digital, kuliner, hingga produk keset kaki.

Ada yang berhasil membukukan pendapatan hingga Rp 15 juta per bulan lewat startup berbasis teknologi aplikasi, dan ada pula yang berhasil membuka lapangan kerja untuk orang lain.

Baca: Pernyataannya di ILC TV One Sering Dimutilasi untuk Bahan Kampanye, Mahfud MD Beri Peringatan Keras

Satu di antara pelaku startup di Lampung adalah Lucky Putra Dharmawan.

Anak muda Bandar Lampung ini menjadi kreator aplikasi games yang sudah dipasarkan melalui Play Store di platform android.

Startup games besutan Lucky lahir dari kampus Universitas Bandar Lampung (UBL). Ketertarikan akan hal-hal berbau teknologi "menyeret" Lucky jauh ke dalam ranah digital.

Seiring waktu, Lucky lebih condong ke kelompok startup game.

Kini, ia sudah menciptakan lima games dan membukukan penghasilan 1.000 dolar AS, atau sekitar Rp 15 juta, setiap bulannya.

Lucky menuturkan, startup game dan aplikasi edukasi punya pasar yang potensial dan terbuka di Indonesia.

Ketekunan Lucky di dunia aplikasi games akhirnya menghasilkan skema kerja sama bisnis dengan Els Coffee, kedai kopi modern yang memiliki banyak gerai di Indonesia hingga Malaysia.

Baca: Tinjau Tol Trans Sumatera, Jokowi Janjikan Tol Lampung-Palembang Tuntas Juni 2019

"Total sudah ada lima produk yang saya ciptakan. Games pertama, Match or Not, tentang memori mencocokkan dua gambar yang sama. Kedua, tentang Incar Tiang Listrik, saat viral peristiwa ketua DPR (Setya Novanto) menabrak tiang listrik waktu itu, saya buat jadi games. Games ketiga Finding Els Coffee. Keempat, games Pocong Jam, dan terakhir games Short Them Up," beber Lucky kepada Tribun, Kamis (22/11).

Lucky juga membuat perusahaan penyedia aplikasi games, bernama Eternal Dream. Semua games tersebut diluncurkan secara gratis.

Lucky hanya mengambil keuntungan dari iklan. Untuk kolaborasi dengan perusaan lain, keuntungan dibagi dua.

"Kalau keuntungan sekarang ini, sebulan sekitar 1.000 dolar AS, itu semua dari penjualan ebook juga," ujarnya.

Menurut Lucky, di Lampung belum banyak bermunculan startup muda, terutama technopreneur. Ia pun merasa kesulitan menemukan komunitas startup untuk berbagi.

"Kalau di Lampung potensi technopreneur pasti ada. Cuma saya melihat semangat kolaborasi belum ada, masih individualisme. Saya susah mencari komunitas startup di Lampung," katanya.

Batagor Ubi

Lain lagi kisah startup muda dari kampus IBI Darmajaya, Ryco.

Mahasiswa semester V Fakultas Manajemen IBI Darmajaya ini terjun ke sektor food startup lewat Batagor Ubi (Batobi).

Ia bersama ketiga rekannya, Ades, Aji Saka Putra, dan Ade Putra Kurnia merupakan satu dari enam tim startup yang memenangkan kompetisi Food Startup dan Digital Startup IBI Darmajaya.

Lewat suntikan modal sebesar Rp 9 juta dan binaan dari Incubitek IIB Darmajaya, wadah bagi mahasiswa berwirausaha, startup Batobi kini sudah beroperasi dua bulan.

"Sementara outlet kami ada di Darmajaya. Kalau keuntungan yang masuk satu bulan kemarin itu sekitar Rp 9 juta, itu kotor," kata Ryco, Kamis.

Menurut Ryco, mengikuti kompetisi Food Startup IBI Darmajaya, tidaklah mudah.

Peserta diwajibkan memiliki ide dan inovasi untuk menciptakan jenis makanan yang belum pernah ada.

Bahkan, Ryco dkk menghabiskan waktu satu bulan untuk menemukan dan meracik Batobi tersebut.

"Kita gonta-ganti menu, variasi dengan mi dan bahan-bahan lain, termasuk bumbunya kita cari di google, baca buku masakan," jelasnya.

Ryco mengatakan, ide ubi sebagai bahan utama pembuat batagor muncul dengan latar belakang ingin menciptakan makanan sehat dan bisa dikonsumsi semua kalangan, termasuk para mahasiswa.

"Selama ini ubi yang banyak mengandung protein, karbohidrat, tidak banyak dikonsumsi remaja, makanya kami coba inovasi dibuat batagor," jelasnya.

Ryco menjelaskan, produksi Batobi per harinya sekitar 70-100 porsi, dengan harga jual Rp 10 ribu isi 5 potong. "Ke depan kita rencanakan buka seperti franchise, dan lewat Go-Food (aplikasi Go-Jek)," ujarnya.

Pembinaan

Sementara itu, Kepala Divisi Kewirausahaan dan Inkubator Bisnis CCED Unila, Albet Maydiantoro, mengatakan, tahun ini ada 673 mahasiswa yang mengikuti program pendampingan wirausaha.

Sebagian besar menggeluti bidang industri makanan dan minuman.

"Peluang menjadi wirausahawan andal itu terbuka lebar. Harapannya, nanti setelah lulus tidak lagi mencari kerja, melainkan bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat," kata Albet.

Ia menuturkan, Unila terus melakukan pendampingan bagi mahasiswa yang ingin menjadi startup muda.

Bahkan, sejak mahasiswa masuk kampus, CCED mulai menggiring para generasi muda tersebut terjun ke bisnis. "Itulah yang kita lakukan untuk mencetak enterprenur," katanya.

Kepala Biro Incubitek Karir Centre dan Rumah Tangga IBI Darmajaya, Niken Paramitasari, mengatakan, lembaga yang berdiri sejak tahun 2009 ini memang dipersiapkan mencetak mahasiswa yang memiliki jiwa entrepreneur, baik bidang teknologi maupun lainnya.

Menurut Niken , cukup banyak startup-startup binaan Incubitek yang sudah berhasil bahkan memiliki usaha dengan omzet puluhan juta. Antara lain, Coklat Lampung dan Mie Pangsit Pangpang.

Menurut Niken, tak mudah memenangi kompetisi startup di Incubitek.

Mahasiswa harus memiliki ide dan mampu menciptakan inovasi yang dituangkan ke dalam proposal. Kemudian diajukan dan diseleksi secara ketat.

"Mereka yang ikut kompetisi ini juga harus ikut pelatihan-pelatihan, seminar, dan proses yang tidak instan. Jika nantinya lolos seleksi, maka startup tersebut akan diberi kucuran modal usaha," kata dia.

Di Incubitek terdapat dua kompetisi, yakni Food Startup dan Digital Startup.

Mahasiswa bisa ikut kompetisi tersebut secara pribadi maupun kelompok.

"Nantinya suntikan modalnya bervariasi, tergantung usaha dan jenisnya," ujarnya.

Sejak berdirinya Incubitek, Niken menyebutkan, mayoritas yang sudah berjalan merupakan startup food.

Sedangkan kategori startup digital atau teknologi masih minim.

Semenetara Kepala Pusat Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (PPIK) UBL, Indrianti Agustina Gultom, mengatakan, pihaknya terus mendorong mahasiswanya untuk berwirausaha.

Menurut dia, startup muda yang lahir dari rahim PPIK UBL sudah cukup banyak dan tersebar di berbagai bidang.

"Ada yang masih mahasiswa kita dampingi, ada alumni kita dampingi. Yang kepentingan promo pun kita dampingi, asalkan sifatnya inovasi dan kewirausahaan. Jadi, lembaga PPIK ini menjembatani inovasi mahasiswa untuk bisa hilirisasi atau komersialisasi," kata Indrianti.(ben/rri/byu)

Berita Terkini