BREAKING NEWS - Dari 15 Proyek di Dinas PUPR Lampung Selatan, Zainudin Hasan Raup Duit Rp 27 Miliar
Laporan Reporter Tribun Lampung Hanif Mustafa
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Selain kasus dugaan suap fee proyek dan gratifikasi, Bupati nonaktif Lampung Selatan Zainudin Hasan juga didakwa telah turut serta melaksanakan pemborongan proyek yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Lampung Selatan.
Hal ini diungkapkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK Subari Kurniawan saat membacakan materi dakwaan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Tanjungkarang, Senin, 17 Desember 2018.
"Bahwa terdakwa, baik langsung maupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan proyek pekerjaan di Kabupaten Lampung Selatan melalui biaya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Lampung Selatan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran 2017 dan 2018," ungkap Subari.
• BREAKING NEWS - Kembali ke Lapas Rajabasa Seusai Sidang, Zainudin Hasan Dikawal Mobil Antiteror
Adapun perbuatan terdakwa Zainudin Hasan, kata Subari, bermula saat menjabat sebagai bupati Lampung Selatan pada 2016.
"Terdakwa memerintahkan Boby Zulhaidir bersama dengan Tajrian Noor mendirikan perusahaan PT Krakatau Karya Indonesia (PT KKI) yang bergerak di bidang usaha asphalt mixing plant (AMP)," bebernya.
Pada Maret-April 2017, terdakwa memerintahkan Boby untuk berkoordinasi dengan Hermansyah Hamidi, kepala Dinas PUPR Lampung Selatan, untuk menggelar lelang.
"Kemudian Herman digantikan Anjar Asmara. Maka terdakwa pun meminta Anjar agar sisa proyek yang berasal dari Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2017 sekitar Rp 38 miliar dikerjakan Boby," ungkapnya.
Anjar pun menyanggupinya. Ia mengatur 12 pekerjaan proyek untuk dikerjakan oleh Boby.
"Boby melakukan peminjaman 12 nama perusahaan untuk melaksanakan proyek pekerjaan ini, dengan komitmen pinjaman 1 persen," paparnya.
Setelah selesai dengan proyek pengerjaan DAK 2017, lanjut Subari, terdakwa kembali meminta jatah pekerjaan di lingkungan Kabupaten Lampung Selatan yang dibiayai DAK 2018 kepada Anjar Asmara.
"Pada DAK 2018, terdakwa mendapat 15 proyek pekerjaan dengan nilai anggaran Rp 78 miliar. Kemudian proyek ini dikerjakan Boby dengan meminjam 15 bendera perusahaan," sebutnya.
Atas perbuatannya mengikutkan PT KKI yang dikelola Boby Zulhaidir, maka secara tidak langsung terdakwa memperoleh pekerjaan yang bersumber dari biaya DAK 2017 dan 2018, sehingga memperoleh keuntungan finansial dari beberapa proyek tersebut sebesar Rp 27 miliar.
• BREAKING NEWS - Marcendes Benz Hingga Harley, 8 Kendaraan Zainudin Hasan Diduga dari Gratifikasi
"Perbuatan terdakwa, sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut pasal 12 huruf i Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat 1 KUHPidana," tandasnya.
Tidak Elok
Dalam sidang perdananya, Senin, 17 Desember 2018, Bupati nonaktif Lampung Selatan Zainudin Hasan menilai dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada yang tidak elok.
Zainudin merasa ada beberapa isi dakwaan yang dibacakan tim jaksa KPK yang tidak sesuai fakta.
Dalam surat dakwaan tersebut, JPU memasukkan perolehan harta kekayaan sebelum Zainudin Hasan menjabat bupati Lampung Selatan menjadi bagian dalam kasus korupsi.
"Tidak semua isi surat dakwaan dari JPU benar dan perlu saya luruskan. Saya sebelum jadi bupati adalah pengusaha. Jadi tidak wajar dan elok menggabungkan seluruh aktivitas saya sebelum menjadi bupati Lampung Selatan," ujar Zainudin di dalam sidang yang dipimpin hakim ketua Mien Trisnawaty.
Zainudin menilai seluruh kekeliruan dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa KPK akan disampaikan dalam agenda pembelaan.
• Zainudin Hasan: Tidak Elok Menggabungkan Seluruh Akktivitas Saya Sebelum Jadi Bupati Lamsel
"Bahwa seluruh kekeliruaan Saudara JPU akan saya sampaikan dalam forum pembelaan," ujarnya.
Pernyataan Zainudin Hasan ini untuk menjawab dakwaan yang dibacakan jaksa KPK.
Zainudin Hasan didakwa menerima uang gratifikasi sebesar Rp 3 miliar atas pinjam pakai eksploitasi hutan untuk tambang di Kalimantan.
Hal ini diungkapkan oleh jaksa KPK Subari Kurniawan saat membacakan surat dakwaan terdakwa Zainudin Hasan.
"Terdakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 3 miliar dari PT Bara Mega Perdana dan Rp 4 miliar dari PT Jonding Pratama. Yang mana perbuatan terdakwa telah berlawanan dengan statusnya," ungkap Subari.
Subari menjelaskan, perbuatan terdakwa berawal dari bulan Oktober hingga November 2010, yang meminta Sudarman dan Sudjono untuk menandatangani berkas dan KTP untuk mengurus perusahaannya.
"Yakni PT Ariatama Sukses Mandiri dan PT Borneo Lintas Khatulistiwa," ucapnya.
Pada akhir 2010, PT Bara Mega Cipta Mulia yang bergerak pada bidang pertambangan batu bara mengajukan berkas pinjam pakai hutan untuk eksploitasi lahan seluas 156 hektare di Kota Baru, Kalimantan.
"Pinjam pakai tersebut (oleh terdakwa diajukan) di Kementerian Kehutanan, yang mana saat itu yang menjabat adalah Zulkifli Hasan, kakak dari terdakwa," paparnya.
Setelah mendapatkan izin pada Januari 2011, terdakwa juga membeli saham perusahaan pertambangan tersebut melalui PT Borneo Lintas Khatulistiwa.
• Harga Karpet Masjid Zainudin Hasan Capai Rp 1,5 Miliar
"Namun kemudian hingga tahun 2018, terdakwa mendapatkan uang sebesar Rp 107 juta per bulan melalui tabungan rekening, yang mana uang tersebut disamarkan sebagai komisaris di perusahaan PT Jonding Pratama," ujarnya.
Di luar hal tersebut, atas keberhasilan mendapat hak pinjam hutan, terus Subari, terdakwa juga mendapatkan uang Rp 3 miliar dari PT Bara Mega Perdana.
"Dari PT Jonding Pratama, dibayar sebanyak tiga kali. Tanggal 10 Februari 2017 sebesar Rp 2 miliar, akhir 2017 sebesar Rp 1 miliar, dan 14 Juni 2018 sebesar Rp 1 miliar," paparnya.
Subari mengatakan, total uang yang diterima terdakwa sebesar Rp 7 miliar.
Namun, tidak ada niatan dari terdakwa untuk melapor ke KPK.
"Dengan kata lain, terdakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 7 miliar dan dianggap sebagai suap karena berlawanan dengan tugas terdakwa," tegasnya. (*)