Bukan lagi sebagai komandan dengan bawahan, tapi sebagai seorang senior dengan adik-adiknya yang pernah sama-sama menenteng senjata, berjalan puluhan kilometer menjelajah hutan, lalu sama-sama mengalami baku tembak dengan musuh.
Kebersamaan itu menjelma menjadi hubungan baik sampai sekarang. Respek itu timbul dan tetap ada karena pengalaman masa lalu.
Dan tidak ada yang lebih membuat saya bangga selain melihat mantan anak-anak buah saya memiliki karir yang bersinar seperti sekarang.
Lalu pertanyaannya, apakah dulu saya betul terkenal galak?
Ya. Sampai sekarang saya juga masih galak. Walaupun sekarang galaknya pakai ketawa, beda dengan dulu yang tidak pakai ketawa.
Tapi saya lebih suka memakai istilah tegas, konsisten dan disiplin, bukan galak. Sikap itu melekat dalam pribadi saya sejak dulu.
Sikap tegas seperti itulah yang menyelamatkan nyawa saya dan anak-anak buah saya berkali-kali dari berbagai tugas operasi.
Sebagai komandan, saya dulu termasuk yang paling sedikit kehilangan anak buah di medan perang.
Tidak hanya ketegasan, tapi sikap keras juga saya kedepankan saat menyiapkan mereka untuk tugas operasi. Saya tidak pernah kompromi untuk menggembleng mereka dalam latihan-latihan yang super berat.
Satu hal yang saya selalu tekankan pada para prajurit di bawah saya: lebih bagus kau mandi keringat di latihan daripada mandi darah kau di daerah operasi.
Karena kalau sampai itu terjadi nanti, yang akan kehilangan kamu adalah keluargamu, anak-istrimu.
Begitulah kehidupan kami sebagai tentara yang sebetulnya ujung-ujungnya adalah ketauladanan.
Oleh karena itu saya sebagai pimpinan juga berlatih dengan keras bahkan lebih, saya juga memanggul ransel seberat yang mereka panggul, dan kemungkinan kami mati tertembus peluru musuh di daerah operasi pun sama.
Dengan ketauladanan seperti itu, seorang komandan akan dihormati sebagai pemimpin, karena dia juga melakukan apa yang dia perintahkan pada para anak buahnya.
Sekarang mungkin sebagian dari kita menilai gaya bicara saya selalu kencang.