"(pemilik) Situs porno seharusnya berpikir ulang tentang data yang mereka pegang karena itu sensitif, sebagaimana informasi kesehatan," ucap Elena Maris, periset dari Microsoft.
Dari penelitian itu juga diungkap bahwa hanya 17 persen dari 22.484 situs porno yang telah menggunakan enkripsi.
Itu artinya, masih banyak situs porno yang tak terenkripsi, sehingga data pengguna yang disimpan rentan diretas.
Seakan hal yang wajar Ilustrasi(Thinkstockphotos) Pelacakan di situs web seakan sudah menjadi hal wajar.
Data yang dikumpulkan digunakan sebagai modal untuk profiling pengguna yang nantinya akan digunakan untuk menargetkan iklan.
Misalnya saja Google Analytics, mereka akan memasukkan lagi lalu lintas data ke situs mereka agar bisa memantau aktivitas browsing pengguna.
Kemudian Facebook, yang sedang disorot soal penggunaan data pribadi pengguna beberapa waktu lalu, disebut menggunakan "like" sebagai pelacak data yang akan dikembalikan lagi ke Facebook untuk membuat personalisasi konten bagi pengguna.
Namun, dilansir KompasTekno dari Business Insider, Jumat (2/8/2019), Facebook dan Google membantah bahwa data pengguna dipakai untuk kebutuhan marketing.
"Kami tidak mengizinkan Google Ads di situs-situs bermuatan konten dewasa, dan kami melarang personalisasi iklan dan profiling iklan berdasarkan ketertarikan seksual pengguna, atau kegiatan online lainnya," jelas perwakilan Google.
Google mengklaim bahwa tag (tanda) untuk layanan iklan tidak diizinkan untuk mengirim informasi yang bisa diidentifikasi secara pribadi ke Google.
Hal yang kurang lebih sama juga diungkap perwakilan Facebook bahwa penggunaan alat pelacak untuk tujuan bisnis di situs porno, tidak diizinkan.
• Warnet di Kebon Jahe Diduga Sajikan Situs Pornografi
• Kominfo Bawa Kabar Buruk bagi Penggemar Situs Porno
Sementara itu, Oracle belum memberikan tanggapanya.
(kompas.com)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Percuma Buka Situs Porno Pakai Mode Incognito