Hutan Mangrove Jadi Lautan Sampah, Pengelola Pantai Sari Ringgung: Sudah Siapkan MoU dengan Dinas!

Editor: Teguh Prasetyo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kawasan mangrove di Pantai Sari Ringgung yang jadi tempat pembuangan smapah sementara

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, PESAWARAN - Lampung memiliki potensi wisata pantai yang sangat menarik.

Pantai-pantai di Bumi Ruwai Jurai menjadi magnet wisatawan lokal, nusantara, bahkan mancanegara.

Namun, patut disayangkan, banyak pengelola tempat-tempat wisata yang melanggar peraturan.

Pantauan Tribun di beberapa tempat wisata pantai, Selasa (3/9/2019), sampah dari kegiatan pariwisata menggunung memenuhi lokasi wisata.

Bahkan, keberadaan sampah tersebut dinilai sudah merusak lingkungan dengan mengorbankan ekosistem setempat, misalnya hutan mangrove.

Satu di antara lokasi yang didatangi Tribun adalah Pantai Sari Ringgung.

Terlihat sampah wisata sengaja ditumpuk di kawasan hutan mangrove di bibir pantai.

Bahkan terdapat jalan khusus yang bisa dilalui kendaraan roda empat untuk membuang sampah di lokasi ini.

BERITA FOTO - Pantai Sari Ringgung Dipadati Pengunjung

Padahal, mangrove merupakan rumah bagi biota laut.

Tak hanya itu perilaku yang diduga merusak lingkungan.

Pantauan Tribun, terdapat lahan diduga hasil reklamasi yang di atasnya terdapat bangunan yang difungsikan sebagai kafe.

Serta, di laut di mana terdapat pasir timbul, juga terlihat bangunan serupa villa di atasnya.

Seorang penyedia jasa penyeberangan di Pantai Sari Ringgung, yang ditemui Tribun namun tidak ditulis identitasnya mengatakan, petugas kebersihan Sari Ringgung sengaja menumpuk sampah di hutan mangrove dengan menggunakan kendaraan roda empat.

"Iya, biasanya diangkutin pake mobil sama petugas kebersihannya. Ada dua mobil yang biasa ganti-gantian," ungkapnya.

Pantauan Tribun, bangunan kafe di ujung Pantai Sari Ringgung yang bernama "Oceana Cafe", yang diduga berdiri di atas lahan hasil reklamasi, telah berfungsi untuk melayani kebutuhan pengunjung pantai.

Sementara bangunan villa yang terletak di Pasir Timbul sedang dalam proses renovasi sehingga belum dapat difungsikan.

Informasi dari penyedia jasa penyeberangan, proses renovasi terus berlanjut.

Warga Serbu Pantai Sari Ringgung di Hari Kedua Lebaran, Pengunjung Melonjak

Merusak Lingkungan

Kabid Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Lampung, Heri Munzaili mengatakan, penumpukan sampah di area hutan mangrove tidak diperbolehkan. Kegiatan itu merusak ekosistem yang ada.

"Seharusnya menyediakan lahan TPS atau langsung ke TPA. Sari Ringgung harus menyediakan lahan-lahan TPS di luar hutan mangrove atau buang langsung ke TPA," tegasnya.

Sedangkan terkait bangunan yang dibuat di lahan yang diduga hasil reklamasi, serta bangunan di atas pasir timbul, hasil penelusuran Tribun, pengelola belum memiliki izin yang dipersyaratkan, terutama izin tata ruang dan izin lingkungan.

Lahan yang diduga hasil reklamasi itu sendiri sejauh penelusuran Tribun, diduga tidak memiliki izin reklamasi.

Ini sama kasusnya dengan reklamasi di Pantai Marita Sari yang dihentikan aktivitasnya oleh tim gabungan bersama dengan KPK karena tidak memiliki izin.

Karena diduga merupakan perbuatan melawan hukum, seharusnya kegiatan ini juga dihentikan dan pengelola diproses secara hukum jika memang tidak memiliki izin reklamasi.

Berbagai pelanggaran yang dilakukan pengelola tempat wisata, khususnya wisata pantai di Lampung, memantik komentar dari Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Mursi.

Dia mengatakan, jika diistilahkan, kondisi di mana pengelola melakukan perbuatan namun belum memperoleh izin, seperti seorang anak yang lahir di luar pernikahan.

“Belum resmi, tetapi sudah melakukan (hubungan suami istri),” ujar Irfan.

Irfan meminta pemerintah dan aparat hukum tegas menindak dan memproses para pelaku pelanggaran, serta melakukan pengawasan secara ketat terhadap aktivitas reklamasi.

"Harus diproses secara hukum setiap kegiatan yang melanggar peraturan. Merusak lingkungan dengan menjadikan hutan mangrove sebagai tempat pembuangan sampah jelas melanggar peraturan dan merusak lingkungan," katanya.

Kemudian, lanjut Irfan, jika ada pihak yang sudah melakukan reklamasi padahal belum memiliki izin reklamasi, dan masih terus melakukan aktivitas di atasnya, maka itu merupakan perbuatan pidana yang harus diproses secara hukum.

Bahkan, tak hanya itu, karena masuk kategori perusakan lingkungan, juga harus diproses sesuai UU yang berlaku.

Peserta Hash House Harierrs Berjibaku dengan Rumput Genit di Pantai Sari Ringgung

Pengeloa Siapkan MoU

Sementara itu, General Manager Pantai Sari Ringgung, Andri Surya Praja, yang dikonfirmasi Tribun, Selasa, menjelaskan, terkait sampah di hutan mangrove, saat ini pihaknya sedang mengurus kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pesawaran untuk pengangkutan sampah itu.

"Kemarin dari Lingkungan (Dinas) sudah survei dan lihat langsung, jadi nanti kita akan lakukan MoU," ungkapnya.

Menurut dia, lokasi pembuangan sampah yang dilihat Tribun hanya tempat pembuangan sementara.

Saat sampah sudah banyak, kata dia, maka akan diteruskan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). 

"Sampah itu kita karung-karungin, kita kumpulin, setelah itu baru kita bawa ke TPA," ucapnya.

Saat ini, lanjut dia, kami sedang menunggu proses draf MoU dari Dinas Lingkungan Hidup Pesawaran untuk melakukan kerja sama.

Terkait izin tata ruang dan lingkungan, Andri Surya Praja menegaskan,telah mengurusizin tata ruang kepada pemerintah.

"Izin-izinnya kami semua lengkap. Sari Ringgung tidak pernah ada masalah. Kami dari awal pun sudah bayar pajak ke Pemkab," jelas Andri.

Ia menegaskan, pihak Sari Ringgung tidak pernah melakukan kegiatan melanggar hukum.

Namun, hal berbeda disampaikan Kepala Bidang Pengelolaan Laut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Candra Murni. Dia mengatakan, perizinan untuk Pantai Sari Ringgung belum tuntas.

Misalnya, izin pendirian kafe di Pantai Sari Ringgung belum keluar. Izin masih dalam proses, meski sudah dirapatkan.

Untuk izin lingkungan, terus dia, akan diproses setelah keluarnya izin tata ruang. Sebab, proses perizinan lingkungan dapat dilakukan setelah selesai izin tata ruang.

Ia menjelaskan, sebelum peraturan soal izin tata ruang ini keluar, pengelola Pantai Sari Ringgung sudah membayar pajak ke pemerintah.

"Sebelum terbit (Perda) dulu itu mereka bayar pajaknya ke pemkab. Sekarang dengan adanya perda, mereka baru mengurus perizinan ke sini," bebernya.

Syahdunya Masjid Terapung di Tengah Laut Berpadu dengan Indahnya Pantai Sari Ringgung Pesawaran

Pemerintah Harus Tegas

Masih banyaknya pengusaha, terutama tempat wisata yang melakukan aktivitas reklamasi kawasan tanpa mengurus izin terlebih dahulu, mendapat tanggapan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung.

Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Mursi mengatakan, jika diistilahkan kondisi tersebut seperti seorang anak yang lahir di luar pernikahan.

“Ya karena kan belum ada izin, tetapi sudah melakukan aktivitas, apapun itu aktivitasnya. Artinya kan sama saja dengan hamil di luar nikah? Belum resmi tetapi sudah melakukan (hubungan suami istri),” ujar Irfan, Selasa (3/9/2019).

Seharusnya, lanjut Irfan, pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah, ketat melakukan pengawasan terhadap izin-izin aktivitas reklamasi.

“Ya pemerintah harus tegas! Karena (pemerintah) kita ini terlalu latah dengan kondisi seperti itu. Izin-izin yang diterbitkan pasca-aktivitas dilakukan selalu dimaklumi. Karena sering dimaklumi, seolah hal tersebut menjadi hal yang lazim,” tutur Irfan.

Proses perizinan, terutama aktivitas reklamasi, terus Irfan, harus ditegakkan sejak awal sebelum ada aktivitas apapun.

“Jangan lagi memberi celah kepada para pengusaha-pengusaha itu untuk melewati proses perizinan itu. Seharusnya sebelum semua aktivitas berjalan, perizinan sudah selesai semua, mulai dari (perizinan) yang kecil sampai yang besar,” tegas Irfan.

Irfan menjelaskan, tidak hanya kasus-kasus tempat wisata yang diberikan ketegasan, tetapi juga semua aktivitas pembangunan yang mengharuskan adanya izin lingkungan.

“Kalau kasus terbaru kan yang Pantai Marita Sari itu, kemudian juga seperti pembangunan sebuah perumahan yang memulai aktivitas tanpa izin terlebih dahulu, kemudian ada tambak di daerah Bengkunat yang memulai pembangunan tanpa memiliki izin dan masih ada yang lainnya,” papar Irfan.

Bahkan, jika dilihat sanksi tegasnya, kata Irfan, masuk ke ranah pidana.

“Karena di Undang-undang Nomor 32 (Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) itu sudah diatur dengan jelas, setiap usaha dan atau kegiatan yang berdampak pada lingkungan hidup harus memiliki izin lingkungan,” jelas Irfan.

“Apabila dia tidak memiliki izin lingkungan dan melakukan aktivitas maka ada pasal pidananya, saya lupa pastinya di pasal seratus berapa, (pasal) 109 kalau tidak salah,” imbuh Irfan.

(FOTO) Suasana Pantai Sari Ringgung Pesawaran Hari Kedua Idul Fitri 2019

Penelusuran Tribun, dalam Pasal 109 UU 32 Tahun 2009 menyebutkan, setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 3 miliar.

“Jadi semua izin harus diselesaikan dulu baru aktivitas itu bias berjalan. Kalau tidak ada izin, maka aktivitas itu illegal dan bisa terkena sanksi pidana,” tegas Irfan.

Walhi, kata Irfan, termasuk juga dalam komisi penilai amdal sebagai anggota.

“Dalam sidang komisi penilai amdal, misalnya ada yang mengajukan izin lingkungan, kami diundang. Kalau di Bandar Lampung, misalnya, kami pantau dulu objeknya, apakah sudah melakukan aktivitas atau belum,” terang Irfan.

“Kalau belum melakukan kegiatan, ya dalam sidang kami bahas, kami sampaikan juga, jangan lakukan aktivitas kalau semua izin belum selesai,” imbuh Irfan.

Tetapi, lanjut Irfan, jika sudah melakukan kegiatan tetapi proses izin masih dilakukan, maka Walhi merekomendasikan agar sidang amdal ditunda dan izin lingkungan ditahan.

(tribunlampung.co.id/kiki adipratama/noval andriansyah)

Berita Terkini