Tribun Lampung Barat

Kisah ABK di Lambar Terpaksa Belajar di Sekolah Umum, Kesulitan Mencerna Pelajar dari Guru

Penulis: Ade Irawan
Editor: Reny Fitriani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ahmad Shaviq

Laporan Reporter Tribun Lampung Ade Irawan

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, AIR HITAM - Setiap anak dianggap unik, memiliki kebutuhan, kemampuan, dan potensi yang berbeda-beda.

Karenanya, sistem pendidikan usang yang masih memukul rata kemampuan setiap anak disebut sebagai pembelajaran klasikal.

Dalam pembelajaran klasikal, setiap anak dalam satu kelas dianggap memiliki kemampuan yang seragam. Maka, tujuan, materi, metode, dan penilaian hasil belajar yang diberikan pada setiap anak adalah sama.

Lawan dari pembelajaran klasikal adalah pembelajaran individual. Dalam sistem ini, anak menjadi pusat proses belajar.

Artinya, apabila memang dibutuhkan, setiap anak dapat memiliki tujuan, materi, metode, dan penilaian hasil belajarnya tersendiri.

Anak-anak dapat belajar dalam satu ruang kelas yang sama, dalam kegiatan belajar yang sama, tetapi setiap anak memiliki kebutuhan belajar yang berbeda dan khas. Gagasan pembelajaran individual ini menjadi ide awal lahirnya pendidikan inklusi.

Saat ini, di Lampung Barat (Lambar) belum ada Sekolah Luar Biasa (SLB).

Sehingga anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) di Lambar harus mengikuti pendidikan di sekolah reguler atau pendidikan inklusi.

Namun dalam praktiknya, pendidikan disekolah reguler belum bisa melaksanakan pendidikan inklusi karena beberapa kendala yang dihadapi, salah satunya sistem pembelajaran yang klasikal yaitu memukul ratakan dan beberapa kendala lainnya. Hal itu terjadi pada siswa bernama Ahmad Shaviq.

Parosil Buka Pekan Olahraga Prestasi di Gor Aji Saka

Lampung Masuk 12 Besar Lomba Menari FL2SN Jenjang SMPLB/SMALB

Ahmad Shaviq, siswa SDN Semarang Jaya merupakan salah satu siswa berkebutuhan Khusus di Pekon Semarang Jaya Kecamatan Air Hitam Kabupaten Lampung Barat. Ia dapat dikatakan masuk dalam kategori tunawicara, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan anak dengan gangguan kesehatan.

Selain sistem klasikal yang diterapkan, kendala lain untuk menerapkan pendidikan inklusi di Lambar adalah kurangnya tenaga pengajar atau guru khusus berkemampuan dalam mendidik ABK.

Para guru dan sekolah mesti terlatih dan mempunyai keterampilan khusus dalam menghadapi tantangan yang menghambat pendidikan inklusi, seperti hambatan fisik, komunikasi, sosial, dan kurikulum.

Salah satu keterampilan khusus yang dimaksud seperti menguasai tulisan Braille untuk tunanetra dan menguasai bahasa isyarat untuk tunarungu, dan lain-lain.

Shaviq sendiri sudah berumur 13 tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas tiga. Seharusnya bocah berumur 13 tahun telah mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Halaman
12

Berita Terkini