Tribun Bandar Lampung

Ada yang demi Pesugihan, Pelaku Kekerasan Seksual Anak di Lampung Mayoritas Orang-orang Terdekat

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - Pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan remaja di Lampung mayoritas orang-orang terdekat.

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Kasus kekerasan terhadap anak dan remaja di Lampung seakan tak ada habisnya.

Angkanya meningkat setiap tahun.

Celakanya, pelaku kekerasan itu kebanyakan orang di lingkaran dekat korban. Mulai dari anggota keluarga, pacar, atau teman.

Bentuk kekerasan terhadap anak dan remaja itu mayoritas berupa pemerkosaan dan pelecehan seksual, selain penelantaran, penganiayaan, dan lainnya.

Sejumlah kasus yang mencuat beberapa waktu terakhir di antaranya pemerkosaan remaja perempuan usia 15 tahun oleh seorang pemuda di Kabupaten Tulangbawang pada 1 November.

Ada juga pelecehan seksual 11 anak perempuan dan laki-laki oleh seorang pria di Kota Bandar Lampung pada 3 November.

Baca juga: Diduga Ada 11 Korban, Kasus Pencabulan Diselidiki Polresta Bandar Lampung

Baca juga: LPA Lampung Tengah Catat 70 Kasus Kekerasan Seksual Anak di Bawah Umur hingga September 2020

Ilustrasi - Kasus kekerasan terhadap anak dan remaja di Lampung seakan tak ada habisnya. (Grafis Tribunlampung.co.id/Dodi Kurniawan)

Di Kabupaten Way Kanan, seorang pria mencabuli remaja perempuan yang tak lain adik iparnya demi pesugihan.

Kasus ini terungkap pada 15 Oktober lalu.

Di Kabupaten Pringsewu, polisi membekuk seorang pemuda yang tiga kali mencabuli remaja perempuan usia 14 tahun.

Ini belum menghitung kasus yang meledak pada Juli lalu, yakni pelecehan seksual remaja perempuan di Kabupaten Lampung Timur oleh petugas Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) setempat.

Mirisnya, remaja perempuan itu merupakan korban pemerkosaan yang sedang dalam pendampingan si petugas P2TP2A.

Wartawan Tribunlampung.co.id menelusuri data kasus kekerasan terhadap anak dan remaja dari sejumlah instansi dan lembaga.

Hasilnya, angka kasus cenderung meningkat setidaknya tiga tahun terakhir.

Pelakunya mayoritas orang-orang dekat korban, seperti anggota keluarga mulai dari ayah kandung, ayah tiri, kakek, paman, dan kakak.

Lalu teman atau pacar korban.

Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) P2TP2A Provinsi Lampung mencatat 127 laporan kasus kekerasan terhadap anak sepanjang Januari hingga Oktober 2020.

Angka ini masih bisa bertambah hingga Desember.

"Pada 2019, ada 135 laporan masuk. Jumlah ini meningkat dari 2018 yang tercatat ada 90-an laporan masuk. Kasusnya dominan kekerasan seksual," kata Kepala UPTD P2TP2A Provinsi Lampung Amsir, Sabtu (7/11/2020).

Dari sekian banyak kasus, korban khususnya kekerasan seksual mayoritas usia 13 tahun ke bawah dengan perkiraan 65 persen.

Sementara pelaku dominan orang terdekat.

"Ada yang inses, orang dekat, atau orang luar. Tapi dominan inses, seperti ayah kandung, kakek, paman," ujarnya.

Ilustrasi. Kasus kekerasan terhadap anak dan remaja di Lampung seakan tak ada habisnya. (tribunlampung.co.id/dodi kurniawan)

Di Bandar Lampung

Di Kota Bandar Lampung, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) setempat mencatat ada 14 kasus kekerasan terhadap anak dan remaja sepanjang Januari hingga awal November 2020.

Rinciannya, tiga kasus pada Februari satu kasus (Maret), dua kasus (Juli), lima kasus (September), dua kasus (Oktober), dan satu kasus (awal November).

Angka kasus 2020 tersebut masih bisa bertambah sampai Desember.

Perbandingan dengan tahun sebelumnya, 2019, terdapat 14 kasus kekerasan terhadap anak dan remaja hingga akhir tahun.

"Masih sama seperti tahun lalu (2019), dominan (kasus 2020) KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dan kekerasan seksual," ujar Kepala DPPA Bandar Lampung Sri Asiyah, tengah pekan lalu.

Sementara Polresta Bandar Lampung mencatat ada 10 perkara kekerasan seksual terhadap anak dan remaja per awal November.

Pada 2019, jumlahnya mencapai 17 perkara. Naik dari tahun sebelumnya, 2018, sebanyak 11 perkara.

"Jumlah perkara 2020 bisa saja bertambah," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung Komisaris Polisi Rezky Maulana.

Dari data tiga tahun terakhir, Rezky mengungkap mayoritas yang menjadi korban adalah anak dan remaja perempuan.

Adapun pelaku merupakan orang terdekat.

"Mayoritas pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah orang dekat, seperti tetangga," ujarnya.

Daerah Lain

Di Kabupaten Pringsewu, tercatat 26 anak dan remaja menjadi korban kekerasan yang mayoritas adalah kekerasan seksual dari Januari hingga Oktober 2020.

Ini merujuk data Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Dinas Sosial (Dissos) Pringsewu.

Angka umlah kasus tersebut meningkat dari tahun 2019 yang berjumlah 25 kasus.

Sementara pada tahun sebelumnya, 2018, tercatat ada 33 kasus yang mayoritas juga pelecehan seksual.

"Untuk 2020 (per Oktober), kasus yang mendominasi adalah persetubuhan dan pencabulan sebanyak 25 kasus. Satu kasus lainnya adalah penganiayaan," ujar Sekretaris LK3 Dissos Pringsewu Ruly Puji Prasnawam, Sabtu.

Sementara di Kabupaten Tanggamus, Dinas PPPA setempat mencatat kasus kekerasan terhadap anak mencapai 20 kasus per Oktober 2020.

Perbandingan dengan tahun lalu, 2019, ada 24 kasus.

"Dari 20 kasus, 15 kasus di antaranya adalah pelecehan seksual, sisanya penelantaran. Untuk tahun 2019, cenderung pelecehan seksual juga," kata Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DPPA Tanggamus Parsiam, tengah pekan lalu.

Parsiam menyebut pelaku mayoritas orang terdekat yang masih satu keluarga.

Selain itu, orang dekat seperti teman atau pacar dengan modus bujuk rayu.

"Ada juga yang korbannya disabilitas. Pelaku memanfaatkan kondisi korban," ujarnya.

Adapun data dari Satuan Reskrim Polres Tanggamus serta jajaran polsek mencatat pada 2020 ini ada empat kasus kekerasan seksual.

Jumlah itu masih memungkinkan bertambah.

Perbandingan dengan 2019, terdapat lima kasus kekerasan seksual.

"Usia korban beragam, dari tujuh tahun sampai 17 tahun. Terbanyak usia remaja," kata Kasatreskrim Polres Tanggamus Ajun Komisaris Polisi Edi Qorinas.

Di Kabupaten Lampung Utara, DPPA setempat mencatat ada 18 kasus kekerasan terhadap anak dari Januari hingga Oktober 2020.

Perbandingan dengan tiga tahun sebelumnya, terdapat 23 kasus pada 2017, kemudian bertambah menjadi 26 kasus pada 2019 dan 2018.

"Semua korbannya anak perempuan. Usianya di atas 13 tahun," kata Kepala Dinas DPPA Lampura Maya Natalia Manan.

"Sedangkan pelaku merupakan teman dekat atau pacar korban. Biasanya pelaku mengiming-iming akan bertanggung jawab. Karena korban masih di bawah umur, umumnya takut," sambungnya.

Ilustrasi - Kasus kekerasan terhadap anak dan remaja di Lampung seakan tak ada habisnya. (grafis tribunlampung.co.id/dodi kurniawan)

Faktor Ekonomi

Kepala UPTD P2TP2A Provinsi Lampung Amsir menyebut kekerasan terhadap anak dan remaja mayoritas terjadi karena faktor ekonomi.

Selain itu, adanya relasi kuasa, yakni pelaku dalam posisi lebih kuat sehingga menekan korban yang dalam posisi lemah.

"Terkait faktor ekonomi, tidak sedikit kasus di mana ibunya menjadi TKW (tenaga kerja wanita). Si ibu punya anak perempuan, tinggal dengan ayah kandung atau ayah tiri. Peluangnya sangat mudah terjadi kekerasan seksual maupun fisik," bebernya.

Kondisi tempat tinggal, jelas Amsir, juga berpengaruh. Misalnya, ada keluarga besar yang berkumpul dalam satu rumah.

"Di rumah tersebut tinggal kakek, paman, dan lainnya, sementara fasilitas kamar terbatas. Itu juga akan memudahkan terjadinya kekerasan terhadap anak. Tidak ada pekerjaan dari orangtua dalam hal ini ayah, bahkan bisa jadi pemicu juga," paparnya.

Senada, Kepala DPPA Bandar Lampung Sri Asiyah menyebut faktor ekonomi dominan menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak dan remaja.

"Apa pun jenis kasusnya, hampir bisa kami simpulkan, faktor ekonomi yang berada di tingkat menengah ke bawah.

Upaya Pencegahan

Lantas bagaimana solusi untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap anak dan remaja?

Fasilitator Kota Layak Anak (KLA) Lampung Toni Fisher menyebut peran masyarakat penting untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan terhadap anak dan remaja.

Ia merujuk pasal 72 ayat 3 Undang-undang 35 Tahun 2014 terkait peran masyarakat dalam perlindungan anak.

"Yakni, memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai hak anak dan peraturan perundang-undangan tentang anak. Dalam UU Perlindungan Anak, apabila masyarakat mengetahui, melihat, mendengar terjadinya peristiwa kekerasan terhadap anak, jika tidak melaporkan, bisa kena hukuman," kata Tony.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Bandar Lampung Ahmad Apriliandi Passa menyatakan maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak harus menjadi perhatian serius semua pihak. Tidak hanya polisi, tetapi juga orangtua.

"Orang tua juga harus memperketat pengawasan terhadap anak," ujarnya.

Sementara Kasatreskrim Polresta Bandar Lampung Komisaris Polisi Rezky Maulana mengimbau agar semua pihak memperhatikan ruang lingkup pergaulan anak.

"Jangan sampai terlalu sering bergaul dengan orang yang jauh lebih tinggi usianya. Rata-rata yang menjadi korban adalah anak usia SD, kisaran 8 sampai 14 tahun," katanya. (Tribunlampung.co.id/Sulis Setia M/V Soma Ferrer/Robertus Didik B/Tri Yulianto/Anung Bayuardi)

Berita Terkini