Harga Singkong Anjlok di Lampung

Pabrik Tapioka di Lampung Tutup, Alumni Pertanian Unila: Harus Dilakukan Kemitraan

Penulis: Riyo Pratama
Editor: Noval Andriansyah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto ilustrasi, petani singkong di Lampung Tengah. | Kisruh mengenai harga singkong yang terjadi di Lampung, turut memantik alumni Fakultas Pertanian Universitas Lampung atau Unila. Ketua harian Ikatan Alumni Pertanian Unila, Fahuri Wherlian Ali menyampaikan, harus dilakukan kemitraan antara, petani, pengusaha dan pemerintah. Hal itu guna mengurai persoalan antara petani dan pabrik dalam jangka panjang.

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Kisruh mengenai harga singkong yang terjadi di Lampung, turut memantik alumni Fakultas Pertanian Universitas Lampung atau Unila.

Diketahui, sejumlah pabrik tapioka yang ada di Lampung mendadak menutup operasional dan pembelian singkong dari petani lokal. Satu di antara alasannya yakni lantaran para pengusaha tidak sanggup membeli singkong berdasarkan ketetapan Pemprov Lampung yang telah disepakati yakni Rp 1.400 per kilogram.

Ketua harian Ikatan Alumni Pertanian Unila, Fahuri Wherlian Ali menyampaikan, harus dilakukan kemitraan antara, petani, pengusaha dan pemerintah. Hal itu guna mengurai persoalan antara petani dan pabrik dalam jangka panjang.

"Pemerintah, pengusaha dan petani wajib melakukan kemitraan untuk mengonsep pembibitan, masa panenen hingga penjualan dari ubi kayu ini."

"Untuk melakukan kemitraan, petani pun wajib membuat lembaga, semacam koperasi sehingga meminimalisir petani nakal," kata Wherli, Senin (27/1/2025).

Kemitraan yang akan dibangun, lanjutnya, bisa berupa contract farming. Seperti kemitraan yang dilakukan oleh PT GGP dengan petani pisang di Kabupaten Tanggamus.

"Pemerintah bisa saja mengundang investor untuk membuat pabrik singkong di Lampung dengan syarat perusahaan tersebut wajib melakukan mitra dengan petani. Hal ini telah dilakukan oleh perusahaan tebu di Lampung," ujarnya.

"Selain itu, membuat produk turunan selain tapioka, semisal mocaf. Tetapi, sebelum membangun pabrik mocaf, harus dicari pasar terlebih dahulu agar produksi mocaf terukur," kata dia.

"Yang tak kalah penting perlu membentuk tim penilai kadar aci yang berisi pemerintah, akademis, dan perusahaan," jelasnya.

"Jadi petani sebelum panen meminta tim tersebut untuk menilai kadar aci tanaman sehingga terjadi kesepakatan antara petani dan pengguna," tambahnya.

Terkait polemik harga Singkong di Lampung menurutnya perlu dikembangkan pemanfaat ubi kayu.

"Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari berbagai subsektor. Antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Salah satu diversifikasi pangan sebagai sumber karbohidrat non beras adalah ubi kayu atau singkong," ucapnya.

Lanjut Wherli, Singkong merupakan komoditas yang mempunyai potensi besar. Karena selain sebagai sumber karbohidrat, singkong dapat dimanfaatkan untuk bahan baku industri dan produk antara ( intermediate product ).

"Hampir seluruh bagian tanaman singkong dapat digunakan. Daun dan umbi dapat diolah menjadi aneka makanan. Umbi juga dapat diolah menjadi gula cair ( fruktosa tinggi ) dan untuk bahan bakar bioetanol. Selain itu daun, umbi, dan batang bisa dijadikan pakan ternak," jelasnya.

Dia menilai, perdagangan singkong saat ini semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan meningkatnya permintaan konsumen negara-negara dan kian banyaknya negara pengekspor singkong di dunia.

"Indonesia sebenarnya mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar internasional. Tentunya harus diikuti dengan adanya mutu dan kualitas singkong yang baik. Sehingga dapat berperan penting dalam perdagangan internasional," bebernya.

Menurut data FAO, Indonesia menempati urutan kelima sebagai produsen singkong terbesar di dunia, dengan produksi singkong sebanyak 18,3 juta ton

Urutan teratas sebagai negara produsen adalah Nigeria dengan 60 juta ton, disusul Kongo (41,01 juta ton), serta Thailand dan Ghana masing-masing 28,9 juta ton dan 21,8 juta ton.

Sementara itu, konsumsi tapioka Indonesia saat ini sebanyak 5 juta ton dengan produksi nasional baru mencapai 4 juta ton. Kurangnya 1 juta ton diimpor dari Thailand dan Vietnam.

Di Indonesia sentra produksi singkong tersebar di 13 provinsi. Lima besar di antaranya adalah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan DI Yogyakarta.

Lampung sebagai pemasok 35 persen produksi nasional, terus menunjukkan peningkatan produksi dalam beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2023 produksi singkong Lampung mencapai 7,1 juta ton dari lahan seluas 243 ribu hektare (ha).

Pada tahun 2024 ini diprediksi produksi singkong di Lampung meningkat menjadi 7,5 juta ton dengan luas lahan panen 254 ribu ha.

Sebagai informasi di Lampung, harga singkong di tingkat petani cenderung berfluktuatif mengikuti pola panen. Ketika luas panen menurun, harga cenderung lebih tinggi dibandingkan saat luas panen meningkat.

Biasanya harga singkong mengalami kenaikan pada bulan Februari-Juli, di mana pada bulan tersebut luas panen lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya.

Puncak panen terjadi mulai September hingga Desember dengan harga singkong yang terus menurun dari bulan sebelumnya.

Saat ini harga singkong di Provinsi Lampung sangat rendah. Hal itu terungkap saat Rapat Dengar Pendapat antara DPRD Lampung dengan pengusaha singkong di Lampung.

Yaitu, produksi berlebih dan rendahnya mutu singkong, varietas singkong yang tidak disukai pabrikan, banyak tanah tertinggal di umbi, bonggol umbi masih banyak, dan lama pengangkutan ke pabrik.

"Menanam singkong di Lampung dalam 1 ha membutuhkan dana Rp8-10 juta sampai siap panen selama hampir 10 bulan dengan produksi rata-rata 25 ton per ha. Kemudian biaya panen dan angkut Rp150 x 25 ton sebesar Rp3.750.000.

Harga singkong saat ini berkisar Rp1000 dengan potongan 25 persen. Artinya, hasil yang didapat petani 18,75 ton x Rp1000 sebesar Rp18,75 juta.

"Hasil ini bila dikurangi dengan biaya pengeluaran, maka petani hanya akan mendapatkan Rp5 juta. Dan tentunya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar selama 1 tahun.

"Jadi wajar saja bila anggota DPRD Lampung meminta pengusaha untuk menaikkan harga singkong mencapai Rp1500 dengan potongan 15 persen," jelas dia.

"Dengan begitu, petani akan mendapatkan sekitar Rp18 juta setelah dikurangi pengeluaran. Meski begitu, harga tersebut masih rendah," tuturnya.

Maka dia menilai penting dilakukan kemitraan dafi stagholeder terkait untuk mengurai persoalan singkong di Lampung.

"Selain itu tata kelola Impor mesti dibenahi jangan sampai bocor. Terjadinya kebocoran keran impor, karena Indonesia saat ini masih kekurangan 1 juta ton tapioka untuk memenuhi kebutuhan nasional," pungkasnya.

( Tribunlampung.co.id / Riyo Pratama )

Berita Terkini