Namun, harga yang ditetapkan lapak jauh dari standar dan rafaksi sebesar 30-32 persen.
"Kalau nekat jual di lapak sebenarnya rugi juga. Harga cuman Rp 1.000 lebih dikit, potongannya 32 persen," kata dia.
Di sisi lain, tutupnya sejumlah pabrik juga berdampak ke buruh jasa cabut singkong dan angkut panen.
Sebab, banyak petani yang menunda panen singkongnya.
Situasi itu dirasakan pria bernama Gunawan.
Ia bersama 17 rekannya sesama buruh cabut singkong terpaksa kehilangan penghasilan.
"Kami nggak dapat penghasilan karena nggak ada yang panen karena banyak pabrik tutup. Mobil nganggur, pekerja juga nganggur," kata Gunawan.
Gunawan mengatakan, untuk mencari penghasilan lain, ia terpaksa bekerja serabutan, misalnya dengan mencari rumput untuk pakan ternak.
Namun, hasil dari pekerjaan tersebut tidak menentu.
"Saya nggak tahu kapan bisa kerja cabut dan muat singkong lagi. Soalnya udah berhari-hari nggak ada yang mau panen singkong," tutur dia.
Solusi dari akademisi
Untuk mengatasi polemik harga singkong di Lampung, ada sejumlah solusi yang bisa ditempuh.
Salah satunya adalah dengan menjalankan pola kemitraan.
Hal itu disampaikan Ketua Harian Ikatan Alumni Fakultas Pertanian (Ika Faperta) Unila Fahuri Wherlian Ali.
Menurut dia, harus ada pola kemitraan antara petani, pengusaha, dan pemerintah.