Padahal harga singkong saat ini dipatok Rp 1.350 per kilogram.
"Kami hitung-hitung, potongan itu hanya untuk memurahkan harga, jatuhnya harga jadi hanya Rp 600 per kilogram," beber Maradoni.
"Jadi kalau kami dipotong 30 persen, dengan panen 27 ton, saya rugi. Apalagi kalau potongan 35 persen," imbuhnya.
Persoalan lain yang disorot adalah soal dugaan alat pengukur kadar aci yang kurang akurat, sehingga perlu ditera ulang.
"Alat ukur kadar aci itu menurut kami hanya akal-akalan, karena itu tidak jelas dan tidak ada sertifikasinya, sehingga kami menilai itu hanya untuk menurunkan harga saja," imbuhnya.
Maradoni juga mempertanyakan keberadaan Satgas Pangan yang dinilai belum memberikan tindak lanjut berarti terhadap keluhan pihaknya.
Dia mengungkapkan bahwa solusi utama yang ditawarkan pihaknya hanya dua, yakni hentikan impor tapioka dan kejelasan regulasi terkait tata niaga singkong.
"Satu-satunya jalan solusi menurut kami adalah impor harus dihentikan, jadi bukan sekadar ratas (impor terbatas). Karena mereka (industri) tidak mau terbuka," tegas Maradoni.
"Kedua, harus ada undang-undang atau regulasi yang pasti yang dapat memberi kejelasan dan dasar hukum bagi petani singkong," imbuhnya.
(Tribunlampung.co.id/Hurri Agusto)