Sebagai seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa), Kopda Bazarsah seharusnya menjadi panutan, mata, dan telinga terdepan TNI di lingkungan masyarakat.
Tugasnya adalah membina warga, menjadi contoh disiplin, dan menciptakan rasa aman. Kenyataannya, ia melakukan hal yang sebaliknya.
Majelis hakim menyoroti bagaimana Bazarsah secara aktif dan terang-terangan menyuburkan praktik perjudian.
Ia tidak hanya terlibat, tetapi juga mempromosikannya melalui media sosial. Ironisnya, keberadaannya sebagai anggota TNI aktif justru menjadi "jaminan keamanan" bagi para penjudi.
Mereka merasa terlindungi oleh seragam yang seharusnya memberantas penyakit masyarakat tersebut.
Catatan kriminalnya pun tak bersih. Bazarsah sebelumnya pernah terjerat dalam perkara jual beli senjata api rakitan ilegal dan telah dijatuhi sanksi oleh pengadilan militer.
Ini menunjukkan adanya pola pelanggaran hukum yang berulang, sebuah tanda bahwa pembinaan dan sanksi sebelumnya gagal menyadarkannya.
Dosa Ketiga: Aksi Brutal
Aspek perbuatan menjadi pamungkas dari daftar dosanya. Penembakan tiga polisi bukan terjadi dalam kevakuman.
Itu adalah puncak dari serangkaian pelanggaran lain. Amunisi tajam yang ia gunakan untuk menghabisi nyawa para korban tidak hanya berasal dari rekannya, Kopda Zeni Erwanta, tetapi juga diperoleh dengan cara licik.
Fakta di persidangan mengungkap bahwa Bazarsah tega mengambil amunisi sisa latihan menembak di kesatuannya sebuah tindakan pencurian aset negara yang sangat berbahaya.
Tak berhenti di situ, saat rumahnya digeledah oleh penyidik Denpom II/3 Lampung, ditemukan lebih banyak lagi munisi tajam ilegal yang ia simpan.
"Perbuatan terdakwa mengakibatkan hilangnya nyawa tiga orang anggota Polri dan membuat keluarga merasakan kepedihan mendalam," tegas majelis hakim.
Pada akhirnya, di hadapan sifat, motivasi, dan akibat perbuatannya yang fatal, majelis hakim tidak memiliki ruang untuk belas kasihan dengan menjatuhkan vonis mati terhadap terdakwa.
Ajukan Banding