Citizen Journalism

Kripto: Praktik Inovasi Ekonomi Digital dan Tantangan Syariah

Perkembangan perekonomian digital telah hadirkan inovasi teknologi finansial yang maju, yaitu Mata Uang Kripto atau Cryptocurrency.

Dokumentasi
Ahmad Mufti Salim (Mahasiswa Doktoral Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung) 

Kripto: Praktik Inovasi Ekonomi Digital dan Tantangan Syariah

Oleh: Ahmad Mufti Salim

(Mahasiswa Doktoral Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung)

Dalam satu dekade terakhir, perkembangan perekonomian digital telah menghadirkan inovasi teknologi finansial yang sangat maju, yaitu Mata Uang Kripto atau Cryptocurrency.

Selama ini, uang hanya ada dalam bentuk fisik, seperti koin dan kertas. Kini ada uang digital terdesentralisasi yang tidak dikendalikan oleh bank sentral manapun.

Uang digital seperti Bitcoin, Ethereum, dan token-token lainnya telah mempengaruhi cara pandang seseorang tentang nilai mata uang, transaksi, dan pilihan investasi.

Namun, di tengah semua perkembangan digital ini, ada pertanyaan besar: bisakah kripto digunakan dalam ekonomi yang berbasis hukum Islam? Apakah teknologi blockchain itu berdampak baik atau buruk?

Kriptokurensi adalah jenis mata uang digital yang menggunakan kriptografi untuk memastikan transaksi aman dan nyata.

Semua data transaksi disimpan dalam jaringan blockchain, seperti buku besar digital publik yang tidak dapat diubah oleh satu orang.

Berbeda dengan uang konvensional, mata uang kripto tidak dikeluarkan oleh otoritas moneter (bank sentral), melainkan dibuat melalui proses penambangan digital atau dirilis dalam jumlah terbatas oleh pengembang proyek berbasis Blokchain.

Bitcoin, yang lahir pada tahun 2009 melalui ide Satoshi Nakamoto, adalah yang pertama memulai revolusi ini.

Dalam waktu singkat, nilai mata uang digital ini melonjak dari beberapa dolar menjadi puluhan ribu dolar per koin.

Kondisi ini menyebabkan tingginya minat di kalangan investor bahkan spekulator bisnis untuk menggeluti transaksi digital ini.

Dalam istilah ekonomi konvensional, mata uang kripto secara umum dianggap sebagai aset spekulatif berisiko tinggi daripada instrumen pembayaran yang sah.

Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa mata uang kripto bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Di lain pihak, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengizinkan mata uang kripto sebagai aset investasi di bawah pengawasan mereka melalui Peraturan Bappebti Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Aset Kripto Fisik di Bursa Berjangka.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan beberapa peraturan, seperti yang tertuang dalam POJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital, dengan menekankan perlunya kehati-hatian terhadap produk keuangan digital yang berisiko tinggi, termasuk aset kripto yang terus berkembang di Tengah masyarkat Indonesia.

Kripto dianggap sebagai aset berisiko tinggi yang membutuhkan pengawasan ketat agar tidak disalahgunakan.

Dalam pandangan hukum ekonomi syariah, kripto dikaji kesesuainnya berdasarkan prinsip halal, berkeadilan, menghindari gharar (ketidakpastian), maysir (spekulasi), dan unsur riba.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 123/DSN-MUI/XI/2021 tentang Mata Uang Kripto, menyatakan bahwa penggunaan kripto sebagai mata uang hukumnya haram karena tidak sesuai dengan prinsip ekonomi Islam karena  masih mengandung unsur gharar, dharar (bahaya), dan tidak memenuhi syarat untuk dianggap sebagai tsaman (alat tukar yang sah).

 Namun, DSN-MUI menyatakan bahwa mata uang kripto dapat dianggap halal jika digunakan sebagai komoditas atau investasi dengan dasar yang jelas dan mengikuti prinsip-prinsip syariah.

DSN-MUI berpendapat bahwa tidak semua mata uang kripto halal atau haram. Beberapa proyek blockchain memiliki nilai nyata, manfaat ekonomi, dan mekanisme yang jelas.

Token utilitas yang memberikan akses ke layanan tertentu atau token yang didukung oleh aset nyata seperti emas atau properti dapat dinilai sesuai dengan hukum Islam karena memenuhi kriteria transparansi, dukungan aset nyata, dan akad yang sah.

Beberapa negara Islam di Timur Tengah sudah melakukan terobosan dengan memulai membuat produk kripto halal. Kuwait adalah salah satu negara yang telah membuka ruang bagi aset digital berbasis syariah.

Kuwait Finance House (KFH) meluncurkan token kripto yang sesuai dengan prisip ekonomi  Islam yang hanya berinvestasi pada aset digital yang memiliki dukungan sektor riil dan diaudit oleh badan syariah independen.

Di Bahrain, mata uang kripto Stellar (XLM) memperoleh sertifikasi halal dari Shariyah Review Bureau (SRB) pada tahun 2018.

Lembaga SRB, yang diakui oleh Bank Sentral Bahrain sebagai otoritas penasihat syariah independen, menilai bahwa sistem dan mekanisme transaksi Stellar, khususnya dalam hal pengiriman dana lintas negara dan tokenisasi asset, tidak mengandung unsur riba, spekulasi berlebihan (gharar), ataupun keterlibatan dalam aktivitas non halal.

Menghentikan laju perkembangan teknologi untuk terus maju tidak dimungkinkan. Sementara aset digital dan blockchain telah menjadi bagian yang sangat penting dari perkembangan ekonomi global.

Tantangannya bukan sebatas apakah mata uang kripto halal, tetapi bagaimana menciptakan kerangka hukum, etika, dan  aturan syariah untuk memastikan ide baru ini baik bagi semua orang.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki banyak potensi untuk menjadi pusat keuangan Islam digital di seluruh dunia.

Perlu bagi pihak yang terkait dengan regulasi di bidang ini, seperti BI, OJK, Bappebti, DSN-MUI, akademisi, dan pelaku industri digital untuk bekerja sama dalam merumuskan standar nasional untuk aset digital syariah.

Penting juga untuk meningkatkan literasi masyarakat agar mereka dapat membedakan antara proyek kripto yang berbasis pada sektor riil dan yang hanya untuk spekulasi.

Literasi ini akan menurunkan risiko kerugian dan manipulasi pasar yang dapat merugikan prinsip-prinsip keadilan ekonomi Islam.

Kriptokurensi adalah produk baru yang dibuat dan tidak bisa diabaikan. Meskipun kripto masih banyak dianggap sebagai alat untuk spekulasi atau diversifikasi asset, dalam ekonomi Islam, setiap inovasi harus dilihat berdasarkan kegunaannya (maslahah) dan kemampuannya untuk menjaga kesejahteraan publik (maqashid al-syariah) untuk dijaga perkembangannya.

Jika mata uang kripto dapat diatur, diaudit, dan dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah seperti  yang ada di negara Kuwait, maka Indonesia memiliki peluang signifikan untuk menjadi pemain utama dalam ekonomi digital halal.  

Kuncinya ada pada aturan yang cerdas, literasi yang kuat, dan inovasi yang etis. Dengan itu, mata uang kripto tidak lagi menjadi masalah, khusunya dalam pandangan hukum Islam, bahkan akan menjadi cara baru untuk memasukkan keuangan Islam ke dalam era digital yang terus berkembang.

(TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/*)

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved