Aksi Kamisan Lampung, Organisasi Sipil Desak Cabut Rancangan KUHP dan UU MD3

Aksi Kamisan kali ini mengangkat isu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU MD3.

Penulis: Yoso Muliawan | Editor: Yoso Muliawan
Istimewa
Gabungan organisasi sipil di Lampung menggelar Aksi Kamisan di Tugu Adipura, Bandar Lampung, Kamis (22/2/2018). 

LAPORAN REPORTER TRIBUN LAMPUNG YOSO MULIAWAN

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Gabungan organisasi masyarakat sipil di Lampung kembali menggelar Aksi Kamisan. Kali ini, civil society mengangkat isu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Organisasi yang tergabung dalam rangkaian Aksi Kamisan ini di antaranya LBH Bandar Lampung, Walhi Lampung, AJI Bandar Lampung, LMND Lampung, SP Sebai Lampung, SMI Lampung, Woman Smart, HMI Bandar Lampung, dan BEM Malahayati.

Aksi Kamisan berlangsung di Tugu Adipura, Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung, Kamis (22/2/2018).

"Kami menuntut pemerintah mencabut Rancangan KUHP dan UU MD3 yang membatasi ruang demokrasi dan bersifat diskriminatif bagi rakyat Indonesia," kata Direktur LBH Bandar Lampung Alian Setiadi.

RUU MD3 kini dalam pembahasan DPR RI. Parlemen telah mengesahkan RUU MD3 dalam Sidang Paripurna DPR pada 12 Februari 2018. Pengesahan itu kemudian menuai polemik.

Alian menjelaskan, RUU MD3 memuat pasal-pasal yang berpotensi mengganggu iklim demokrasi dan penegakan hukum yang semestinya tidak pandang bulu di Indonesia.

Pasal-pasal itu, papar Alian, antara lain pasal 122 huruf k yang berbunyi, "Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR."

Klausul "merendahkan" itu, menurut Alian, bagai "pisau bermata dua".

"Ketika rakyat menuangkan aspirasi atas kinerja wakilnya di DPR, rakyat bisa terjerat dengan pasal tersebut jika DPR berasumsi kritikan itu mengganggu kepentingan mereka," ujar Alian.

Selain itu, ada pasal 245 ayat 1 yang berbunyi, "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada Anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana pasal 224, harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan."

Menurut Alian, terjadi pelanggaran atas prinsip equality before the law sebagai prinsip penegakan hukum terkait pasal tersebut.

"Seharusnya semua sama di muka hukum tanpa ada pembeda. Tapi, pasal ini bisa merusak tatanan penegakan hukum di negeri ini," jelas Alian.

"Subjek hukum akan diistimewakan apabila subjek hukum tersebut menjadi anggota DPR. Ketika anggota DPR melakukan tindakan yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas, maka tidak bisa dikenai penindakan hukum ketika belum ada persetujuan tertulis dari presiden dan Mahkamah Dewan Kehormatan. Dengan begitu, menjadikan anggota DPR semakin kebal terhadap hukum," papar Alian.

Sumber: Tribun Lampung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved