Nilai Rupiah Anjlok, Kondisi Ekonomi 2018 Lebih Buruk Dibanding 1998? Jokowi Beri Penjelasan

Nilai tukar rupiah masih terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan, sejumlah bank telah menjual

KOMPAS.com/FITRI R
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memberikan keterangan pers selepas meninjau kondisi perbaikan RSUD Kota Mataram, Senin (3/9/2018). 

TRIBUNLAMPUG.CO.ID, JAKARTA - Nilai tukar rupiah masih terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Bahkan, sejumlah bank telah menjual mata uang tersebut di level Rp 15.000 per dolar AS.

Kondisi itu kemudian menimbulkan anggapan bahwa fundamental ekonomi dalam negeri saat itu, lebih buruk dari 1998.

Lantas, bagaimana faktanya?

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memastikan, depresiasi rupiah yang terjadi saat ini berbeda dengan depresiasi rupiah ketika 1998 silam.

Baca: Rupiah Melemah, Pengamat Indef Minta Pemerintah Jangan Selalu Klaim Aman

"Pelemahan rupiah tahun ini dibandingkan 1998 yang anjloknya 80 persen dari Rp 2.500, secara tiba-tiba ya, sangat jauh ya. Selain itu, waktu itu juga tidak ada kenaikan gaji, sehingga daya beli masyarakat menurun dan harga-harga melonjak tinggi," kata David saat dihubungi Kompas.com, Selasa (4/9/2018).

David menambahkan, meski ada pelemahan sepanjang lebih dari satu semester, tahun ini juga diiringi dengan kenaikan gaji, dan harga-harga yang cukup terjaga.

Sementara, ekonom Bank Permata, Josua Pardede menyatakan bahwa kondisi fundamental perekonomian Indonesia saat ini sangat berbeda, dengan fundamental perekonomian Indonesia 20 tahun lalu.

Pada periode tersebut, krisis di Indonesia diawali krisis mata uang Thailand, bath, dan ditambah buruk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak hati-hati.

Lantaran, sebagian utang tersebut tidak mendapatkan lindung nilai.

Selain itu, penggunaan utang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang, dan penggunaan utang luar negeri untuk pembiayaan usaha domestik, juga turut memperparah kondisi fundamental ekonomi dalam negeri terpuruk.

"Krisis utang swasta tersebut yang kemudian mendorong tekanan pada rupiah di mana tingkat depresiasinya mencapai sekitar 600 persen dalam kurun waktu kurang dari setahun, dari Rp 2.350 per dolar AS menjadi Rp 16.000 per dolar AS," ujar Josua.

Josua menambahkan, kondisi itu sangat berbeda dengan saat ini.

Menurut dia, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati.

Bank Indonesia (BI) juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi, dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved