Semangat Penjual Kemplang Tuna Netra Ini Mengalahkan Panasnya Sinar Matahari dan Derasnya Hujan
Keterbatasan fisik,tak membuat Darman (40) pasrah menjalani hidup. Sebaliknya, warga Jalan Nangka, Gang Mangga RT 10
Penulis: Romi Rinando | Editor: soni
Laporan Reporter Tribun Lampung Romi Rinando
TRIBUN LAMPUNG.CO.ID BANDARLAMPUNG – Keterbatasan fisik tak membuat Darman (40) pasrah menjalani hidup. Sebaliknya, warga Jalan Nangka, Gang Mangga RT 10 Sepang Jaya ini tetap memiliki semangat tinggi guna menghidupi istri dan tiga anaknya.
Kini pria tuna netra ini berjualan kemplang, di Jalan Sultan Haji, Gang Harapan Kedaton, tepat di belakang kantor Telkom.
Darman tak sendiri, ia ditemani Tata Afdila, putri sulungnya, yang selalu setia menemaninya berjualan kemplang. Setiap hari keduanya berjalan kaki yang ditempuh sekitar 20 menit dari rumahnya.
Lapak Darman bukan seperti lapak pedagang kaki lima yang memiliki atap atau gubuk, dan bisa menjadi sebagai tempat berteduh menahan sinar matahari atau hujan. Lapaknya hanya sebuah batu besar beratap payung.
Darman menggunakan dua tongkat stainles, satu sebagai alat bantu berjalan, satunya digunakan menggantung kemplang. Darman setiap hari berjualan mengais rupiah sejak pukul 16.00 Wib hingga menjelang magrhib.
Penghasilan Darman sehari tidaklah besar, hanya berkisar Rp 10 ribu-Rp 30 ribu per hari. Namun suami Misna dan ayah dari Tata, Muiz Aznan dan Asni Sofiana ini selalu bersykur. Dengan berjualan kemplang ia bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, termasuk membuat senang putrinya, Tata, yang kini duduk di kelas 5 SDN 1 Sepang Jaya senang.
“Sehari bawa 50 bungkus, per bungkus saya jual Rp 5 000. Dari satu bungkus saya dapat Rp 1.500, paling banyak sehari laku 20 bungkus. Kalau dapat untung saya kasih Tata uang jajan, makanya Tata senang kalau ikut jualan,” kata Darman.
Darman mengaku berjualan kemplang telah Ia lakoni sejak Agustus lalu. Pasalnya penghasilan sebagai tukang pijat tak lagi menjanjikan. Pelanggan semakin hari semakin menurun, apalagi kini banyak tukang urut dan tempat pijat yang lebih modern, sehingga berimbas kepada pelanggannya yang makin sepi.
“Dulu sehari bisa dua tiga orang saya pijit, sekarang jarang. Satu orang aja susah, makanya saya cari alternatif jualan kemplang ini. Kalau enggak gitu dari mana kami kami makan, istri hanya jualan koran,” tutur Darman, yang mengaku mengalami kebutaan sejak balita. (*)