Waspada, Candu Game Online pada Anak Lebih Berbahaya dari Narkoba
Awalnya, saya biarkan pakai tablet punya saya. Lalu, dibelikan oleh ayahnya. Tujuannya buat belajar.
Penulis: Noval Andriansyah | Editor: soni
Laporan Reporter Tribun Lampung Noval Andriansyah
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID BANDAR LAMPUNG - Tuti (45) mulai bingung dengan perilaku anaknya yang masih SD. Sejak tahu cara menggunakan gawai (gadget), hampir setiap hari, anaknya selalu memainkan gawainya. Padahal, kecanduan permainan online lebih berbahaya dibandingkan kecanduan narkoba.
“Awalnya, saya biarkan pakai tablet punya saya. Lalu, dibelikan oleh ayahnya. Tujuannya buat belajar. Ketika iseng saya tanya-tanya, ternyata ia lebih jago memainkan dibandingkan saya,” terang Tuti, akhir pekan lalu.
Anaknya, menurut Tuti, senang memainkan permainan yang diunduh langsung dari aplikasi Android. Permainan tersebut biasanya terhubung secara online. Biasanya, permainan tersebut dilakoni sepulang sekolah.
“Terkadang, ia buka media sosial. Karena, ayahnya sudah membuatkan. Kalau untuk media sosial, saya mengawasi, siapa teman-temannya, lalu apa yang dipercakapkan,” ungkap Tuti.
Menurut Tuti, ia hanya mengetahui bahaya kecanduan permainan online sebatas tidak baik. Sebab, waktu anak untuk belajar menjadi berkurang. Selain itu, waktu tersebut sebenarnya bisa digunakan anak untuk bersosialisasi dengan sesamanya.
Penilaian berbeda disampaikan Oda (52). Dengan bermain permainan online di rumah, Oda menilai dirinya lebih mudah untuk memantau anak. Dibandingkan, anaknya bermain di luar dengan pergaulan yang tidak jelas.
“Pergaulan anak-anak sekarang kan menakutkan. Kalau anak bermain di rumah, saya lebih bisa mengawasi. Anak bungsu saya yang suka bermain permainan online. Sepulang sekolah, ia pasti membuka laptop di kamar,” kata Oda.
Humas Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kurungan Nyawa, David menerangkan, kecanduan permainan online bisa menurunkan kemampuan otak dan merusak perilaku. Kecanduan permainan online pun termasuk dalam gangguan kejiwaan.
“Ada diagnosisnya dan harus diobati. Kecanduan permainan online bahkan lebih berbahaya dibandingkan kecanduan narkoba. Sekarang, banyak kan game centre yang pemainnya bahkan menginap berhari-hari,” papar David.
Meskipun begitu, David menerangkan, persepsi orangtua yang menganggap akan lebih mudah mengawasi anak apabila bermain permainan online, merupakan persepsi yang keliru. Hal itu karena tidak banyak orangtua yang tahu kalau kecanduan permainan online justru lebih berbahaya
“Persepsi keliru orangtua yang membuat perilaku anak yang bermain permainan online semakin banyak. Persepsi keliru tersebut harus segera diubah. Peran orangtua dalam mendidik dan mengawasi si anak sangat penting,” tutur David.
Dokter Psikiater dari RSJ Kurungan Nyawa dr Tendri Septa mengatakan, kebanyakan orangtua yang datang untuk konsultasi kepadanya terkait dengan adiksi game online, ketika si anak sudah berat, misalnya seperti tidak mau sekolah. Pada beberapa kasus, lanjut Tendri, ada yang sampai merusak dan bahkan menyerang orangtuanya sendiri.
“Memang kalau untuk bahayanya, lebih ke psikologis. Kalau (bahaya) dari sisi kesehatan atau fisiknya, ya itu, ada yang sampai bunuh diri. Tapi kalau kasus di Lampung, saya belum pernah menemukan ada yang sampai bunuh diri,” ungkap Tendri.
Tendri mengungkapkan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orangtua jika sudah muncul gejala kecanduan games online pada anak.
“Jangan langsung melarang anak total berhenti main game. Karena anak banyak akal. Kalau mereka dilarang bermain (games online) di rumah, maka dia akan lari ke warnet atau rumah teman atau tetangga sehingga berakibat orangtua tidak bisa mengawasi apa yang dilakukannya,” jelas Tendri.
Penguatan Peran Orangtua
Kecanduan permainan (games) online mungkin tidak akan terjadi pada anak-anak, jika orangtua lebih banyak meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan anak-anaknya. Sejauh ini, kebanyakan anak-anak yang keranjingan games online dikarenakan orangtuanya sibuk dengan urusannya masing-masing.
Psikolog Universitas Lampung Shinta Mayasari mengatakan, banyak kasus yang ditemukan olehnya terkait dengan kecanduan games online adalah karena interaksi di rumah dengan keluarga yang lain tidak harmonis.
“Jadi mungkin di rumah juga orangtuanya tidak meluangkan waktu untuk misalnya bermain menemani anak, atau misalnya melakukan kegiatan bersama. Kadang-kadang ada orangtua yang ketika pulang ke rumah juga sibuk dengan urusannya sendiri, misalnya menonton televisi atau meneruskan pekerjaan kantornya, atau melakukan kegiatan lainnya yang sifatnya tidak interaksi dengan anak-anak,” ungkap Shinta.
Jadi, lanjut Shinta, karena anak-anak tidak diajak berinteraksi dan sosialisasi dengan anggota keluarga yang lain ketika di rumah, akhirnya memilih untuk mengisi waktu luangnya dengan bermain games. Menurut sepengetahuan Shinta, kebanyakan anak-anak bermain games online itu pergi ke luar rumah atau ke warung internet (warnet).
“Perilaku ini terjadi karena di rumah tidak diciptakan komunikasi yang harmonis. Orangtua disatu sisi tidak meluangkan waktu untuk bergaul dengan anak-anaknya, tetapi disisi lain orangtua memarahi anaknya ketika banyak bermain games. Oleh karena itu, perlu penguatan peran orangtua terhadap perilaku dan pendidikan si anak,” kata Shinta.
Sebenarnya, terus Shinta, harus dikaitkan usia anak dengan perilaku bermain games online. Shinta mengimbau, jika orangtua menginginkan anak-anaknya lebih betah di rumah, perbaiki komunikasi antara anak dan orangtua. Kemudian, sambung Shinta, ciptakan kegiatan menyenangkan yang bisa dilakukan antara anak dengan anak atau anak dengan orangtua.
“Tidak ada tugas-tugas perkembangan si anak itu salah satunya pintar bermain games. Selama orangtua membuka diri untuk berteman dengan anak dan menghabiskan waktu dengan anak, kecenderungan anak dalam bermain game online akan berkurang. Tidak salah permainan online-nya, tetapi berlebihan waktunya yang menjadi salah,” jelas Shinta. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/lampung/foto/bank/originals/game-online_20160522_234243.jpg)