Serasa Akan Mati di Lubang, 13 Pria Menyanyi, Tertawa, Terdiam, lalu Menangis: Ya Allaaah
Saya kelaparan dan kehausan. Alhamdulilah bisa selamat, kemarin saya pikir saya pasti mati terkubur. Benar-benar nggak nyangka bisa hidup.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, MINAHASA UTARA - Mata Wawan Purnawan (32) terlihat sayu, ia menikmati sepiring nasi dengan lauk ayam pedas, lahap sekali.
Pria itu baru saja dievakuasi bersama 12 pria lainnya, setelah belasan jam terjebak longsor di dalam tambang bawah tanah sedalam 45 meter, di Desa Tatelu, Dimembe, Minahasa Utara, Jumat (14/4).
"Saya kelaparan dan kehausan di bawah sana (tambang bawah tanah). Alhamdulilah bisa selamat, kemarin saya pikir saya pasti mati terkubur. Benar-benar nggak nyangka bisa hidup ," ujar pria asal Tasikmalaya, Jawa Barat, matanya berkaca-kaca. Ia kemudian melanjutkan makan, menyuap nasi ke dalam mulutnya.
Ia dan 12 temannya--masing-masing Ubri, Diki, Karno, Wawan, Dian, Asep, Nana, Nono, Ugi, Opim, Ali, Aep, dan Ali--turun ke dalam lubang tambang pada Kamis (13/4) sekitar pukul 08.00 Wita.
"Turun sampai kedalaman sekitar 90 meter, lalu kita kerja seperti biasa. Waktu itu sama sekali tak tahu kalau ternyata tanah runtuh. Kemudian orang-orang di atas kasih kode, pakai lampu tiga kali, klip klip klip. Biasanya itu tanda-tanda hujan," ujarnya Wawan.
Setelah ada tanda lampu, Wawan berhenti bekerja dan naik diikuti rekan-rekannya. Saat itu sekitar jam satu siang.
Namun alangkah terkejutnya pria itu, saat naik dan tiba di kedalaman sekitar 45 meter, ia menemui jalan buntu. Lubang menuju ke atas tertutup tanah dan material lainnya.
"Saat itu kita panik, lubang keluar tertutup. Kita berusaha gali tapi percuma. Karena longsoran tanah itu bercampur papan-papan, balok kayu, dan batu-batuan. Tahu kita terjebak longsor, kita semua panik," ujarnya.
Mengetahui terjebak longsor di dalam tambang di kedalaman sekitar 45 meter, Wawan dan rekannya mulai berdiskusi untuk mencari jalan keluar dari lubang tersebut.
"Kemudian ada teman saya yang tahu beberapa lubang lain untuk menuju ke atas. Kemudian kita turun kembali sekitar 30 meter lalu menemukan lubang lain (penambang lain). Terus kita masuk dan naik ke atas. Tapi setelah beberapa meter ke atas ternyata buntu. Lubangnya sudah tertutup dari atas," ujarnya.
Selanjutnya pria itu dan rekan-rekannya, kembali ke titik awal, sebuah ruangan datar. Tak ada yang bisa dilakukan Wawan dan rekan- rekannya selain pasrah menunggu.
"Untungnya selang blower tidak putus saat longsor, jadi udara bisa masuk. Kalau nggak ada selang blower kita pasti mati semua," ujarnya.
Apa yang dilakukan Wawan dan rekan- rekannya saat menunggu datangnya tim penyelamat?
Selain berdoa, ia dan rekan-rekannya, juga menyanyi dan saling berbagi cerita lucu untuk menghilangkan rasa takut dan panik.
"Kita berdoa, bernyanyi, saling bercanda untuk menghibur diri. Saling tertawa. Di antaranya saya menyanyi lagu Ebiet D Ade, Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan. Tapi setelah menyanyi, tertawa, kita kemudian terdiam.
Ada yang menangis. Ya Allaaah bagaimana nasib kita!," ujar pria itu.

Saat itu, banyak kelucuan dibuat Bugi Nurjaman. "Walau keadaan seperti itu, tetapi saya senang bisa melihat mereka tersenyum lagi," ujar dia.
Sementara Ali, sempat kehilangan semangat untuk hidup. Akan tetapi wajah istri dan anaknya seakan memberi harapan baru saat itu.
"Kalau sudah putus asa, saya selalu ingat wajah anak dan istri," ujar Ali.
Sesekali ia hanya mengucapkan doa bersama rekan-rekannya yang sama-sama tertimbun di dalam tambang tersebut.
"Kami sering berdoa bersama meminta pertolongan Allah untuk bisa tetap bertahan," kata dia.
Pria 31 tahun itu juga mengaku menolak menyerah dengan keadaan karena anaknya yang masih sangat kecil. "Kalau saya menyerah gimana nasib anak saya nanti," ucap dirinya.
Lagu-lagu dari tanah kelahiran pun sering dinyanyikan bersama rekan-rekannya agar suasana tak terasa bosan.
"Kalau nyanyi lagu daerah itu senang, tapi terkadang saya itu merasa seperti sudah waktunya dipanggil pulang," cetus dirinya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Asep Hidayat, korban lainnya yang dilarikan ke RS Walanda Maramis.
Menurutnya, hal yang paling ia ingat dalam kelamnya tambang adalah keluarganya.
"Dalam pikiran saya hanya ada keluarga, saya coba menyanyi beberapa lagu tapi tak menghilangkan rasa khawatir dalam pikiran saya," jelas dia.
Setelah menanti selama 18 jam akhirnya Asep Bisa melihat indahnya cahaya matahari setelah dievakuasi.
"Ketika melihat cahaya matahari, saya terus berdoa dan berterima kasih pada Allah," aku Asep.
Pertolongan datang sejak Kamis malam. Tokoh tambang, warga masyarakat, Basarnas, TNI dan Polri pun berupaya memberikan pertolongan hingga akhirnya mereka dapat dievakuasi. (roh/ven/nie)