PTUN Tolak Gugatan GKR Hemas Terkait Pengambilan Sumpah Oesman Sapta
Sebab, dia mengharapkan, melalui putusan PTUN, menjadi momentum perbaikan pengadilan untuk menyampaikan kepada masyarakat, supaya menghormati
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta menolak gugatan perkara pengambilan sumpah pimpinan DPD yang diketuai Oesman Sapta Odang (OSO), oleh Wakil Ketua Bidang Nonyudisial Mahkamah Agung, Suwardi.
Kuasa Hukum GKR Hemas, Andi Irman Putra Sidin mengaku kecewa atas putusan itu.
Sebab, dia mengharapkan, melalui putusan PTUN, menjadi momentum perbaikan pengadilan untuk menyampaikan kepada masyarakat, supaya menghormati keputusan MA.
Dia menilai, permohonan itu bukan gugatan karena dianggap bukan sengketa pribadi antara pimpinan DPD.
Tetapi, itu persoalan bangsa, di mana putusan MA yang dilakukan dengan pemanduan pengambilan sumpah dan namanya pemanduan pengambilan sumpah itu menentukan.
"Perkara ini sebenarnya 1000 tahun lagi tidak ada, MA membatalkan keputusan presiden sudah biasa, tetapi hakim membatalkan tindakan ketua, wakil ketua itu memang 1000 tahun lagi tidak ada, dan 1000 tahun sebelumnya belum ada," kata dia ditemui di gedung PTUN DKI Jakarta, Kamis (8/6/2017).
Semula, dia berharap, melalui putusan itu, diharapkan PTUN menorehkan sejarah siapapun tunduk atas nama hukum.
Memperingatkan siapapun itu, tunduk pada putusan MA.
Namun tampaknya, putusan pengadilan memproteksi MA bahwa pemanduan pengambilan sumpah itu tidak boleh jadi objek gugatan.
"Jadi, arah putusan ini datang dari permohonan mau diarahkan menjadi konflik pengadilan yang kemudian menjadi perlebar spektrumnya. Sebenarnya, di mana-mana negara hukum, spektrum konfliknya itu harus diminimalisasi agar tidak menimbulkan dampak ke mana-mana. Namun nampaknya, putusan PTUN hari ini belum mengarah ke sana," ujarnya.
Dia tetap menghormati putusan pengadilan dengan segala integritas dan kapabilitas para hakim.
Walaupun, ia menyayangkan putusan MA yang menjadi pertaruhan.
"Orang suatu saat berpikir, tidak perlu patuhi putusan MA, toh kita bisa langgar, toh ketua MA, Wakil MA pernah langgar. Dan, kami minta permohonan pembatalannya, PTUN juga tidak mengabulkan ini ancaman berikutnya adalah kudeta. Yang nanti bisa menginspirasi kekuatan politik kudeta terhadap kekuasaan itu bisa dilakukan karena bisa jadi kekuasaan hukum tidak mampu," ujarnya.
Polemik kursi pimpinan DPD berawal dari digantinya masa jabatan pimpinan, yang awalnya 5 tahun jadi 2,5 tahun lewat tata tertib (tatib).
Tatib sempat digugat ke MA, dan dibatalkan, sehingga masa jabatan pimpinan DPD kembali jadi 5 tahun.