Atlet Ramai-ramai Hengkang, Tudingan Pelatih Jual Atlet pun Mencuat
Atlet Ramai-ramai hengkang, tudingan pelatih jual atlet pun mencuat. Porprov tinggal hitungan hari lagi.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Atlet Ramai-ramai hengkang, tudingan pelatih jual atlet pun mencuat.
Baca: Kabar Duka dari Meisya Siregar - Bayi Adam Fabumi Meninggal Dunia, Al Fatihah
Baca: Pria Ini Tak Menduga Satu Sel Dengan Setya Novanto di Rutan KPK. Begini Reaksinya
Tinggal hitungan hari lagi Pekan Olahraga Provinsi VII Lampung akan dimulai.
Di balik kemeriahan pesta olahraga tertinggi di tingkat provinsi, ternyata ada sejarah kelam sejumlah atlet yang justru memilih hengkang dari Bumi Ruwa Jurai, dan membela provinsi lain.
Kondisi ini telah terjadi sejak era 1970-an. Sejumlah alasan pun mengemuka, mulai dari fasilitas latihan yang tak memadai hingga rendahnya kesejahteraan bagi atlet.
Bahkan, ada atlet yang berprestasi secara internasional sama sekali tidak pernah diminta pemprov untuk mewakili Lampung.
Atlet angkat besi yang lahir dan melewati masa kecil di Metro, Eko Yuli Irawan (28) misalnya ia mulai tertarik dan berlatih angkat besi pada usia 11 tahun.
Hampir setiap hari sepulang sekolah, selalu berlatih di sebuah klub di Metro.
Hingga pada 2002, Eko berhasil meraih medali emas pada sebuah kejuaraan antarklub berskala nasional, dalam kategori remaja U-16.

Ia kemudian diboyong Persatuan Angkat Besi dan Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI) Kalimantan Selatan (Kalsel), untuk mengikuti pemusatan latihan angkat besi ke Bogor pada 2003
"Sejak awal, saya sudah mendapat pembinaan dan pelatih asal Kalsel. Tidak pernah ada perwakilan dari pemerintah daerah Lampung yang mencoba menahan saya," katanya.
"Jadi sebenarnya, saya tidak pindah atau kabur dari Lampung. Karena, tidak pernah sekalipun ditawarkan untuk jadi atlet mewakili Lampung," kata Eko, Kamis, 16 November 2017.
Pada kejuaraan tingkat nasional, Eko mengatakan, ia kemudian mewakili Kalsel.
Sampai pada Pekan Olahraga Nasional (PON) Jawa Barat 2016, Eko berpindah provinsi mewakili Jawa Timur (Jatim).
"Tidak bisa dimungkiri, alasannya (pindah provinsi) karena tawaran penghasilan yang tinggi," kata Eko.
Baca: Tega ! Ibu Ini Tenggelamkan Empat Bayi dalam Ember Berisi Beton dan Simpan Jasad selama Dua Dekade
Berbeda dengan Eko, mantan atlet karate, Ade Bagus memutuskan pindah ke Kalimantan Timur (Kaltim), saat masih aktif menjadi atlet mewakili Lampung. Ade pindah ke Kaltim pada 2005.
"Saya tidak munafik. Jaminan kesejahteraan dan iming-iming hari tua yang layak, jadi alasan saya pindah ke Kalimantan," terang Ade.
Ketika pindah, Ade mengatakan, Pemprov Kaltim langsung mengangkat dirinya sebagai PNS di dinas pemuda dan olahraga.
Sehingga, ia merasa memiliki jaminan masa tua ketika kemudian ia pensiun sebagai atlet.
"Saya sekarang sudah pensiun tetapi tetap menjadi melatih," tutur Ade.
Sebelum Ade, kepindahan ke Kaltim lebih dulu dilakukan Samsul Effendi, saat masih membela Lampung di cabang olahraga (cabor) panjat dinding pada medio 1990-an.
Samsul mengaku pindah karena keterbatasan fasilitas berlatih di Lampung.
"Kadang atletnya ada berapa, fasilitasnya dikasih berapa. Misalnya, ada atlet 10, dapat jatah sepatu hanya 5 pasang. Akhirnya, pakai gantian," jelas Samsul.
Selain itu, Samsul menuturkan, dana yang diberikan pun tidak transparan, antara lain uang transportasi dan bonus bagi atlet berprestasi.
"Rata-rata itu masalahnya. Saat itu, cukup banyak atlet panjang dinding yang pergi dari Lampung," ujar Samsul, yang kini telah pensiun sebagai atlet.
Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Lampung, Hanibal mengungkapkan, persoalan yang terjadi pada Eko sebenarnya kembali kepada pribadi atlet.
Sebab, jika memang memiliki keinginan untuk membela Lampung, Hanibal mengatakan, Eko seharusnya mau proaktif menemui pemerintah daerah atau KONI Lampung.
"Tapi sejauh ini tidak pernah juga. Kalau kami, ketika si atlet sudah memutuskan untuk membela daerah lain, meskipun asalnya dari Lampung, kami bisa apa? Karena, itu kan sudah menjadi keputusan dia," papar Hanibal, Selasa (21/11).
Persoalan yang terjadi pada Eko, Hanibal menuding, tak terlepas dari jual beli atlet yang dilakukan sejumlah pelatih.
"Sebenarnya ada permasalahan lain yang terjadi. Jadi, dia (Eko) ini masuk dalam lingkaran pelatih-pelatih yang suka menjual atlet, khususnya dari Lampung," ujarnya.
"Ketika dia (pelatih) sudah melihat ada potensi dari si atlet, dalam hal ini si Eko, si pelatih ini menawarkan ke banyak daerah. Tinggal mana yang berani membayar tinggi, itu yang diambil," tambah Hanibal.
Baca: Pencuri Ini Tertipu, Aksinya Bobol Rumah Asli Bikin Ngakak
Meski begitu, Hanibal mengatakan, pihaknya tidak bisa bertindak banyak. Hal itu karena status atlet dalam mewakili provinsi, pada akhirnya tergantung dari atlet tersebut.
"Saat itu, Eko sudah telanjur membela daerah lain. Kalau mau membela Lampung, Eko harus mengajukan surat kepindahan, dua tahun sebelum event nasional berlangsung," ujarnya.
"Karena, kami tidak bisa asal menarik. Dari sisi aturan juga memang harus atletnya yang mengusulkan untuk pindah," tambah Hanibal.
Fenomena atlet pindah ke provinsi lain, menurut Hanibal, telah terjadi saat dirinya masih menjadi atlet karate pada 1970-an.
Meskipun, mereka sudah mengharumkan nama Lampung di pentas nasional.
"Iming-iming bonus dan kesejahteraan (dari provinsi lain), tentu akan sangat menggiurkan bagi para atlet. Apalagi, keterbatasan anggaran menjadi masalah untuk Lampung bisa menahan atlet yang berpotensi," kata Hanibal. (rri/val)