Melihat dari Dekat Sentra Produksi Tempe di Gunung Sulah
Wanita berusia 39 tahun ini awalnya adalah buruh yang bekerja di tempat pembuatan tempe dan tahu.
Penulis: Jelita Dini Kinanti | Editor: Daniel Tri Hardanto
Laporan Reporter Tribun Lampung Jelita Kinanti
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Tempe dan tahu adalah makanan yang sudah akrab di lidah masyarakat Indonesia. Di Lampung, ada beberapa tempat yang khusus memproduksi tempe dan tahu.
Namun, tempat yang paling lama sekaligus terkenal adalah Gunung Sulah. Di sini, ada 400 orang yang membuat tempe dan tahu setiap harinya.
Baca: Salah Prediksi, Akhirnya Petani Kedelai di Lampung Selatan Alami Gagal Panen
Salah satunya adalah Sutini. Wanita berusia 39 tahun ini awalnya adalah buruh yang bekerja di tempat pembuatan tempe dan tahu. Namun setelah menikah dengan Margono (44), Sutini memutuskan untuk berhenti menjadi buruh. Ia pun ikut suami membantu kedua orangtuanya membuat tempe dan tahu di Gunung Sulah.
"Saya lupa berapa tahun membantu orangtua suami saya. Tapi yang saya ingat tidak begitu lama. Di tahun 2000 saya dan suami memutuskan untuk membuat tahu sendiri dengan sedikit modal yang kami punya," kata Sutini, Kamis (4/1/2018).
Baca: Harga Kedelai Impor Meroket, Perajin Tempe Terancam Gulung Tikar
Dikarenakan modalnya sedikit, Sutini dan suaminya hanya mampu memproduksi tahu 5 kg per hari. Adapun cara pembuatan tahu itu, kedelai direndam 3 jam, selanjutnya digiling, direbus sampai mendidih. disaring, diberi laru, dan didiamkan selama 15 menit. Kemudian diaduk pelan-pelan sampai jadi dan air sisanya dibuat. Setelah itu baru dicetak.
Di tahun 2006 Sutini dan suaminya memutuskan untuk berhenti membuat tahu dan beralih membuat tempe. Sebab saat itu mereka baru saja memiliki anak. Kalau tetap membuat tahu, mereka khawatir tidak bisa mengurus dan menjaga anak. Sebab, pembuatan tahu tidak bisa ditinggal.
Cara pembuatan tempe adalah kedelai direndam dan direbus selama 3 jam. Selanjutnya dibiarkan semalaman dan diinjak. Kemudian sore harinya baru dibungkus dengan plastik. Setelah dibungkus dibiarkan selama dua hari dan barulah jadi tempe.
Tempe yang sudah jadi kemudian dijual oleh suaminya ke Teknokrat, UBL, Kota Sepang, dan Rajabasa dengan harga Rp 1.000 untuk ukuran kecil dan Rp 1.500 untuk ukuran besar. Dalam satu hari Sutini dan suaminya bisa menjual 40 kg tempe.
Menurut Sutini, selama menjalani usaha tempe, hanya satu penghalangnya yaitu harga kedelai yang tidak menentu. Kalau sudah naik, ia terpaksa ikut menaikkan harga tempe atau mengecilkan ukurannya. Kalau untuk sekarang harga kedelai stabil di kisaran Rp 6.500 per kg. (*)