Buat Miniatur Gajah, Dre Harap Bisa Jadi Usaha Lanjutan

Kalau kerajinan tangan ini, memang saya benar-benar mau belajar. Siapa tahu, setelah saya keluar dari sini (LPKA), bisa meneruskan jadi usaha

Penulis: Noval Andriansyah | Editor: Reny Fitriani
Tribunlampung/Perdi
Miniatur gajah hasil warga binaan LPKA Klas II Lampung. 

Laporan Reporter Tribun Lampung Noval Andriansyah

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Usai beristirahat siang, Selasa (6/2), Dre (16, bukan nama sebenarnya) bersama beberapa rekannya langsung memasuki salah satu ruangan yang ada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Klas II Lampung.

Sedikit suara yang terdengar dari mulut para remaja itu dan beberapa diantaranya langsung berinisiatif mengeluarkan peralatan kerja.

Baca: VIDEO - Melihat Indahnya Matahari Terbenam di Pantai Kedu Kalianda

Dre merupakan satu dari 243 warga binaan LPKA Klas II Lampung. Sejak “tergabung” sebagai warga binaan 8 bulan lalu, Dre mengikuti program pembinaan yang diadakan oleh LPKA mulai setahun terakhir.

Baca: Pendaftaran SNMPTN Segera Dibuka, Sudah Isi dan Verifikasi PDSS Belum? Terakhir 10 Februari Lho!

Salah satu program pembinaan yang ada di LPKA adalah kerajinan tangan yakni membuat souvenir miniatur gajah.

Program lainnya seperti kegiatan kerohanian, bengkel las, pangkas rambut, musik, dan olahraga, juga ada di LPKA. Namun, Dre lebih tertarik untuk mengikuti program kerajinan tangan. Meski terkadang tak jarang Dre juga mengikuti program-program lainnya.

“Kalau kerajinan tangan ini, memang saya benar-benar mau belajar. Siapa tahu, setelah saya keluar dari sini (LPKA), di rumah saya bisa meneruskan jadi usaha,” kata Dre yang berasal dari Bandar Lampung tersebut.

Rekan Dre, Iar (16, bukan nama sebenarnya) juga tertarik mengikuti program kerajinan tangan membuat souvenir miniatur gajah tersebut agar lebih bisa mengasah keterampilannya. Iar yang tersangkut kasus asusila dan harus menerima hukuman 5 tahun 6 bulan tersebut, mengaku bersyukur bisa menerima pelajaran keterampilan di LPKA.

“Saya pikir di sini (LPKA) seperti penjara kebanyakan. Ngga tahunya ya sama saja, seperti sekolah. Ada kegiatan keterampilan dan yang lainnya. Ini bisa jadi bekal saya nanti saat saya sudah tidak lagi di sini,” ucap Iar.

Kasi Pembinaan LPKA Klas II Lampung, Auda mengatakan, program kegiatan yang digelar untuk warga binaan sudah setahun terakhir berlangsung. Menurut Auda, latar belakang program-program tersebut diadakan adalah memang sudah tertuang dalam aturan.

“Sebenarnya kan di sini sama saja dengan sekolah. Ada aturan-aturannya. Namanya saja pembinaan, jadi ya memang harus ada program yang dibuat untuk mengasah keterampilan anak-anak. Jangan sampai di luar mereka nakal, tetapi di dalam sini nakal juga. Makanya ada kegiatan yang harus mereka ikuti agar mereka lebih berpikir positif,” kata Auda.

Menurut Auda, ide untuk membuat souvenir miniatur gajah tersebut karena melihat ikon Provinsi Lampung yang identik dengan gajah.

“Sebenarnya ada masukan juga dari Badan Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Lampung, pas beberapa waktu lalu mereka datang ke sini, untuk membuat souvenir siger Lampung. Ya untuk sementara ini masih gajah dulu. Ke depan mungkin ada ke sana (membuat siger Lampung),” jelas Auda.

Modal Rp 300 Ribu

Auda memaparkan, untuk membuat 8 sampai 10 buah souvenir miniatur gajah, membutuhkan satu 1 balok kayu dengan panjang sekitar 1 meter. Bahan yang digunakan, terus Auda, adalah kayu jati belanda.

“Kami beli dari Lampung juga. Sekali beli, kami habis Rp 300 ribu untuk 10 balok kayu. Paling cepat habisnya 1 bulan lah. Tapi tidak semua balok kayu yang didapat mulus. Tetapi memang rata-rata bisa menghasilkan sampai 10 buah souvenir,” jelas Auda seraya mengatakan pengajar yang didatangkan dari Bandar Lampung. 

Sejauh ini, kata Auda, memang souvenir miniatur tersebut belum dipasarkan secara luas. Baru sebatas kepada karyawan dan pengunjung yang datang ke LPKA. “Memang belum kami pasarkan luas. Kesulitan kami memang dipemasarannya. Oleh karena itu, kami berharap ada pihak-pihak yang bisa membantu terkait pemasarannya,” tutur Auda.

“Tetapi, namanya anak-anak ya. Kalau mereka hanya sekadar bekerja saja, kan kasihan. Anggap saja mereka anak kita. Makanya untuk menambah motivasi mereka, saya dan teman-teman yang lain bilang, ke anak-anak. Kami beli satu souvenir itu seharga Rp 10 ribu. Nanti duitnya sebagian dimasukkan ke kas mereka dan sisanya untuk mereka jajan di kantin,” imbuh Auda.

40 Persen Kasus Susila

Kasi Registrasi dan Klasifikasi, Irwadi menambahkan, LPKA Klas II Lampung sebelumnya bernama Lapas Anak Klas III Bandar Lampung. Sejak 2015 lalu, menurut Irwadi, perubahan nomenklatur membuat nama lapas anak juga berubah menjadi LPKA.

“Warga binaan di sini sekitar 40 persennya tersangkut kasus susila. Di sini (LPKA) menerima tahanan baru dan operan dari UPT luar Bandar Lampung. Rata-rata hukuman anak-anak ini 5 tahun ke atas. Bahkan banyak juga yang sampai hukuman maksimal, yakni 10 tahun,” kata Irwadi.

Kepala LPKA Klas II Lampung, Sugandi juga berharap karya anak LPKA dapat mewakili Lampung menembus pasar-pasar domestik di Lampung.

“Ya harapannya juga bisa masuk pasar besar di luar Lampung. Tentunya, pemasarannya tidak akan mungkin berhasil tanpa bantuan pihak ketiga baik itu instansi pemerintah ataupun swasta. Agar dikenal masyarakat, karya anak-anak ini perlu dipamerkan dan dipromosikan. Untuk itu kami sangat mengharapkan dukungan dari pihak ketiga,” tandas Sugandi.

(noval andriansyah)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved