Menelisik Praktik "Bacha Posh" di Afghanistan: Anak Perempuan Dibesarkan sebagai Anak Laki-laki

Praktik "bacha posh" mendorong para orangtua mendandani anak perempuan sebagai anak laki-laki untuk masa depan yang lebih baik.

Editor: Yoso Muliawan
Loulou D'aki/National Geographic
Ali, 14 tahun, dibesarkan sebagai anak laki-laki dalam sebuah praktik yang dikenal di Afghanistan sebagai "bacha posh". Tampak dua saudari Ali berdiri di belakangnya, di dalam kamar mereka. 

Nordberg adalah orang pertama yang mendokumentasikannya. Dan, d'Aki terpesona oleh identitas ganda gadis-gadis ini.

Melalui penerjemah lokal, d'Aki bertemu sebuah keluarga yang dua dari enam anak perempuannya dibesarkan sebagai anak laki-laki.

Suatu hari, setelah Setareh lahir-anak perempuan ketiga-orangtuanya memutuskan untuk membesarkannya sebagai Setar, anak laki-laki.

Dua tahun kemudian, Ali lahir, dan dia juga dibesarkan sebagai anak laki-laki.

Saat saudara laki-laki mereka yang pertama dan satu-satunya lahir dari kehamilan sang ibu berikutnya, Setar dan Ali tetap melanjutkan hidup sebagai anak laki-laki.

Kini, Setar berusia 16 tahun. Ia kerap bermain sepakbola dan memiliki pacar yang tidak peduli dengan gendernya.

Saudaranya, Ali, 14 tahun, memiliki sekotak surat cinta yang ditulis oleh para pengagum wanitanya.

"Anak laki-laki memiliki status lebih tinggi. Semua orang menginginkan anak laki-laki," ujar d'Aki.

Terutama, di tengah keluarga berpenghasilan rendah, d'Aki menambahkan, "Jika Anda memiliki banyak anak perempuan dan tidak ada anak laki-laki, itu ('bacha posh') hal yang biasa dilakukan."

Namun, seiring bertambahnya usia hingga pubertas mengungkap jenis kelamin mereka, hidup justru menjadi lebih sulit dan berbahaya.

Keluarga tersebut telah berkali-kali pindah untuk menghindari gangguan dan intimidasi.

Di jalanan, orang-orang berteriak dan menyebut mereka transeksual.

Ayah mereka mengantar Ali ke sekolah, sehingga Ali sampai dengan selamat.

Kedua orangtua Setar dan Ali sekarang ingin mereka mulai berpakaian dan berperilaku seperti anak perempuan. Namun, Ali maupun Setar tak menginginkannya.

"Sangat sulit menjadi perempuan di Afghanistan, dan Anda tidak memiliki banyak pilihan. Bahkan dalam kasus ini, ketika Anda belum memutuskan sesuatu untuk diri sendiri, orang lain telah memutuskannya untuk Anda," ungkap d'Aki.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved