Disebut Ilegal, Penghuni Reklamasi Sampah Ternyata Miliki Surat Keterangan Tanah
Surat tersebut diberikan oleh petugas kelurahan setelah melakukan peninjauan lapangan.
Penulis: Noval Andriansyah | Editor: Ridwan Hardiansyah
Laporan Reporter Tribun Lampung Noval Andriansyah
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Sejumlah warga yang secara ilegal melakukan reklamasi dari timbunan sampah-sampah, lalu membangun rumah di pesisir Teluk Bandar Lampung, ternyata telah memiliki surat keterangan tanah (SKT).
Surat tersebut diberikan oleh petugas kelurahan setelah melakukan peninjauan lapangan.
Ketua RT 09 Lingkungan II Teluk Jaya, Panjang Selatan, Maat Sumarko (45) menuturkan, kegiatan reklamasi berbahan utama sampah telah berlangsung sejak 1980-an.
Di RT 09, lanjut Sumarko, saat ini terdapat sekitar 60 unit rumah.
Baca: Pakai Bambu dan Jaring, Begini Cara Warga Pesisir Lakukan Reklamasi Berbahan Utama Sampah
Seluruh rumah tersebut berdiri di atas lahan reklamasi, yang terbuat dari timbunan sampah.
"Kalau bibir pantai sebenarnya dulu itu, sekitar dua kilometer (km) dari batas laut sekarang. Jadi, yang berada di dalam jarak dua km itu, ya hasil reklamasi," papar Sumarko.
Kegiatan reklamasi sampah terus berlangsung sampai sekarang.
Awal tahun ini, terdapat sembilan rumah yang baru selesai dibangun dan sudah ditempati pemiliknya.
Pantauan Tribun pada Selasa (17/4/2018) siang, kawasan yang disebut Sumarko merupakan hasil reklamasi berbahan utama sampah, adalah kawasan padat penduduk.
Rumah-rumah tampak berimpitan.
Ada jalan utama yang berukuran sekitar tiga meter.
Jalan tersebut pun telah berlapis aspal.
Di sisi kiri kanan jalan, banyak gang yang memiliki lebar sekitar satu meter.
Sebagian gang telah berlapis paving block, sisanya masih berupa tanah.
Dari batas laut hingga sekira 50 meter ke arah darat, rumah-rumah masih semipermanen, yang berbahan kayu.
Selepas 50 meter, rumah-rumah sudah dibuat permanen.
Warga RT 09 Lingkungan II Teluk Jaya, Panjang Selatan, Yusneti (50) mengaku, telah mengantongi SKT di lahan hasil reklamasi tersebut.
Ia mengatakan, SKT diberikan setelah beberapa orang dari kelurahan meninjau lokasi rumahnya.
"Sudah lama. Katanya mau dibuat sertifikat. Tapi karena masih proses, sama kelurahan dikasih SKT," ucap Yusneti.
Selain itu, Yusneti mengaku rutin membayar pajak bumi dan bangunan (PBB).
"Terakhir, tahun kemarin. Sudah lima tahun terakhir bayar (PBB)," terang Yusneti.
Serupa, Sutiyem (45), yang tinggal sekitar 100 meter dari kediaman Yusneti, mengaku juga telah memegang SKT.
Meski begitu, ia tidak terlalu memahami prosedur pemberian SKT karena suaminya yang mengurus.
Maat Sumarko menjelaskan, pemerintah memang telah melakukan peninjauan ke kawasan RT 09.
Peninjauan tersebut mendata terkait hak kepemilikan rumah dan tanah.
Berdasarkan penjelasan yang ia terima, Sumarko mengungkapkan, peninjauan tersebut terkait program nasional agraria, yang akan memberikan sertifikat tanah secara gratis buat masyarakat yang tanahnya belum bersertifikat.
"Namun karena masih proses, masyarakat dikasih SKT dulu," ucap Sumarko.
Camat Panjang, Ahmad Nurizki Erwandi menuturkan, pihaknya belum pernah melakukan peninjauan dan memberikan SKT kepada masyarakat.
Meski begitu, ia mengakui masyarakat yang tinggal berbatasan dengan laut telah membayar PBB.
"PBB itu kan kewajiban sebagai warga negara, bukan menyatakan hak kepemilikan. Selama tinggal di NKRI, maka wajib membayar PBB," ungkap Ahmad, tanpa menjelaskan dasar pengenaan PBB.
Berstatus Ilegal
Kepala Seksi Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bandar Lampung, Syamsul Irwan menegaskan, bangunan yang berada di dekat bibir pantai atau di lokasi pantai adalah berstatus ilegal.
Ia menuturkan, UU Nomor 1 Tahun 2014 dan dipertegas dengan Perpres Nomor 51 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa 100 meter dari bibir pantai harus bebas dari bangunan.
"Kalau ada bangunan di atas lahan reklamasi ilegal tentu mereka tidak ada sertifikat. Dan tidak diperkenankan ada bangunan di laut, ataupun di bibir pantai pesisir dengan jarak 100 meter. Itu kan wilayah tata ruang," kata Syamsul, Jumat (19/4/2018).
Jikapun ada bangunan yang berdiri, ia meyakinkan bangunan tersebut tidak memiliki sertifikat.
Meski begitu, ia menyebutkan BPN tidak bisa melarang masyarakat untuk melakukan garapan di sekitar pantai dan mendirikan bangunan.
"Mereka bisa saja menguasai, menggarapnya, tapi mereka tidak memiliki hak. Dan, BPN juga tidak bisa menindak ataupun melarangnya," ujarnya.
Ketua Komisi I DPRD Bandar Lampung, Nu'man Abdi mengatakan, DPRD akan meminta keterangan terlebih dahulu dari Pemkot Bandar Lampung, untuk mengambil langkah dan solusi terkait bangunan ilegal di atas lahan reklamasi tersebut.
"Kami harus tahu dulu informasi dan data jelasnya. Bagaimana sejarah bisa ada reklamasi di atas sampah dan berdiri bangunan. Apakah ada yang sengaja memperjualbelikan, atau masyarakat sendiri yang memang memanfaatkan lahan itu," jelasnya, Jumat.
Terkait soal SKT yang diberikan pihak kelurahan kepada penghuni reklamasi sampah, Nu'man menyebutkan, lahan reklamasi ilegal tidak bisa memiliki sertifikat.
"Sebenarnya secara hukum SKT yang dikeluarkan kelurahan atau kecamatan bukan bukti kepemilikan hak atas tanah. SKT hanya bukti mereka diberikan kuasa menguasai tanah, dan sebagai pembayar pajak atas tanah yang dikuasainya, bukan pemilik," tegasnya.
Nu'man meminta pemerintah bijak menyikapi persoalan tersebut.
Menurut dia, jika penghuni reklamasi ilegal nantinya diusir atau digusur, harus ada solusi dari eksekutif.
"Kalau akan ditertibkan, harus ada solusi. Pasti mereka yang tinggal di sana kebanyakan masyarakat menengah ke bawah. Walaupun mereka salah, ada solusi bijak. Kami siap fasilitasi, semua tergantung pemerintah selaku pemangku kebijakan," ujarnya.
Persoalan Kompleks
Kepala Dinas Tata Kota Bandar Lampung, Effendi Yunus mengatakan, banyaknya penduduk yang melakukan reklamasi dan tinggal di pinggir pantai secara ilegal, memang melahirkan persoalan rumit.
Namun, pihaknya belum ada solusi mengatasi warga yang tinggal di bibir pantai tersebut.
"Tinggal di sana (bibir pantai), memang berbahaya. Persoalannya mau pindah ke mana mereka, dan ada modalnya (uang) tidak. Soal legal atau tidak, tinggal dilihat ada izin atau tidak. Kalau ada izin berarti legal," ungkapnya.
Menurut dia, pemerintah tidak bisa menertibkan warga yang tinggal di atas lahan reklamasi ilegal karena tidak memiliki anggaran untuk memindahkannya.
"Ya mau menyediakan tempat tapi kalau tidak ada anggaran mau bagaimana," ucap Effendi.
Sehingga, hal itu dikembalikan lagi saja kepada kesadaran masyarakat yang masih tinggal di pinggiran pantai tersebut.
Jika mereka memang merasa bahaya, maka jangan tinggal di lokasi tersebut.
"Tapi sebenarnya mereka ini sudah tahu ukuran bahayanya seperti apa," tukasnya.
Baca: Warga Pesisir Teluk Bandar Lampung Bangun Rumah di Atas Timbunan Sampah
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Bandar Lampung, A Zainuddin enggan berkomentar banyak soal status warga yang tinggal di Teluk Jaya, Panjang Selatan, Panjang, Bandar Lampung.
"Tak bisa komentari kalau tidak lihat langsung datanya. Saya tidak hafal namun yang pasti tadinya sebelum tinggal di situ, kan warga itu penduduk di tempat lain," terang dia, Jumat. (val/rri/eka)