Skala Bom Rakitan Napiter di Rusuh Mako Brimob, Mantan Dedengkot Jamaah Islamiyah Buka Suara

Kerusuhan di Mako Brimob beberapa waktu lalu memang meninggalkan luka yang dalam bagi bangsa Indonesia.

Editor: soni
Tribun Jatim.com
Ali Fauzi, mantan kombatan dan pentolan JI bersama Ahmad Azhar Basyir, matan napiter 8 tahun warga Karanggeneng yang baru sepekan bebas, Sabtu (12/5/2018) 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, LAMONGAN - Kerusuhan di Mako Brimob beberapa waktu lalu memang meninggalkan luka yang dalam bagi bangsa Indonesia.

Khususnya, bagi keluarga besar Polri.

Sebab, dalam kejadian itu sebanyak 5 orang polisi menjadi korban dari para napi teroris yang ada di Mako Brimob.

Baca: Ini Trik Mudak Ajari Anak Belajar Tanggung Jawab

Insiden Mako Brimob antara polisi dengan para napiter semata dipicu ketidakpahaman para napi terkait standar operasi prosedur (SOP) yang harus dilakukan aparat, termasuk kepolisian.

"Kerusuhan di Mako Brimob harus tahu faktor-faktor yang memicu," ungkap Ali Fauzi, mantan kombantan, instruktur perakit bom dan pentolan Jamaah Islamiyah (JI) saat ditemui Tribunjatim.com, Sabtu (12/5).

Baca: Sebelum Gunakan Bleaching Cream Perhatikan Kandungan Ini Agar Aman di Kulit

Kabarnya hanya dominan soal makanan. Tentu, menurut Ali Fauzi tidak seremeh ini.Informasi yang didapatkan adik trio bomber Bali ini, yakni karena ada informasi dari dalam yakni adanya berita yang menguap bahwa ada akhwat atau saudara napiter yang disekap.

"Menurut istilah saya, bukan disekap tapi diamankan," katanya.

Ali memamahi mereka para napiter ini tipikal sumbu pendek.

Kalau dalam rangkaian bom ada fuse atau sumbunya, dan mereka para napiter tergolong kecepatan merembet ficenya itu sumbu pendek.Begtu mendapat informasi langsung direspon tanpa dilakukan proses cek dan riceck.

Tentu ini sesuatu yang kurang baik dan cukup disayangkan hingga meletus kerusuhan dan akhirnya memakan korbaan anggota polisi dan napi teroris.

Baca: Bajindul Akhirnya Melepas Masa Lanjang, Prosesi Ijab Kabulnya Bikin Ngakak

Kalau andaikata yang dipermaslahakan itu hanya karena makanan, tandas Ali Fauzi, temtu haru difahami oleh napi teroris.

Sebab segala proses memasukkan sesuatu atau apapun ke dalam rutan, petugas berpegang pada SOP.

Ini tang tidak difahami oleh para napiter. Polisi atau semua petugas punya tanggungjawab. Anggota mempunyai rasa takut kalau mereka melakukan kesalahan dan khawatir dapat teguran dari atasanya."Jadi harus sesuai dengan SOP yang ada," ungkapnya.

Tapi yang penting bagaimana pendekatan lunak itu harus tetap berjalan.

Karena aksi terorisame maka penanganannya harus ekstra ordinary. Jika kejahatannya ekstra ordinary, maka penananganan juga harus sesuai SOP.

Mulai dari penangkapan,BAP sampai pembinaan di Lapas harus ekstra ordinari.Kelompok yang muncul 2010 2018 ini tidak pernah ikut konflik seperti, di Ambon dan Poso.

Tapi kelompok ini muncul pasca Jamaah Islamiyah (JI) off tidak melakukan aksi. Napiter ini kemudian meneruskan aksi-aksi sporadis. Yang diawali pelatihan militer di pegunungan di Jantu Aceh pada 2011. Yang kemudian ada beberapa diantara mereka yang masuk bidikan polri.

Mereka ini yang masih patuh dengan sosok Aman Abdurrahman yang sudah dua kali masuk penjara dan sekarang sedang menjalani proses hukum lagi terkait penyerangan di jalan Tamrin Jakarta.

Bagaimana para napiter ini masih bisa merangkak bom meski dalam rutan ?

Ali Fauzi mengungkapkan, bahwa kemampuan mereka dalam perakitan bom bersekala besar masih diragukan.

Bom yang mereka buat dan diledakkan, bombnya kecil -kecil dengan ukuran dua atatatiga kilogram.

"Belum ada bom yang menyamai bom Bali 1, Meriot 1 dan 2. Bom Kedubes Austalia dan Philipin," ungkapnya.

Kelompok ini belum pernah terlatih di luar negero. Jadi pelatihannya hanya kecil.

Mereka hanya mendapat kursus singkat yang kemudian mereka coba-coba.

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved