Sosok Ini tak Heran Dita Ajak Istri dan 4 Anaknya Bom Bunuh Diri, Ini Perilakunya saat SMA
Sosok Ini tak Heran Dita Ajak Istri dan 4 Anaknya Bom Bunuh Diri, Ini Perilakunya saat SMA
Penulis: wakos reza gautama | Editor: wakos reza gautama
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Dita Supriyanto diduga menjadi pelaku bom bunuh diri yang menyerang tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018).
Tidak sendiri, Dita yang merupakan warga Rungkut, Surabaya, juga mengajak anggota keluarganya terdiri istri dan empat anaknya.
Baca: Teror Bom Surabaya, Atiqah Hasiholan: Mari Kita Hentikan Permainan Ini
Dikuti TribunSolo.com dari Kompas.com, kepastian identitas pelaku diungkap oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Terkait sosok Dita, seorang netter dengan akun Facebook, Ahmad Faiz Zainuddin, yang mengaku sebagai adik kelas Dita semasa sekolah SMA mengungkap masa lalu Dita semasa sekolah.
Menurut Ahmad, Dita sudah terpapar paham radikal sejak SMA.
Berikut pengakuannya sebagaimana dikutip TribunSolo.com dari akun facebooknya, Senin (14/5/2018).
"Dari Islam Muram dan Seram, Menuju Islam Cinta nan Ramah
Dita Oepriarto adalah Kakak kelas saya di SMA 5 Surabaya Lulusan ‘91
Dia bersama-sama istri dan 4 orang anaknya berbagi tugas meledakkan diri di 3 gereja di surabaya. Keluarga yg nampak baik2 dan normal seperti keluarga muslim yg lain, seperti juga keluarga saya dan anda ini ternyata dibenaknya telah tertanam paham radikal ekstrim.
Dan akhirnya kekhawatiran saya sejak 25 tahun lalu benar2 terjadi saat ini.
Baca: Ini Tampang Aktor Tampan yang Dikabarkan Dekat dengan Jessica Iskandar, Sudah Jadian?
Saat saya SMA dulu, saya suka belajar dari satu pengajian ke pengajian, mencoba menyelami pemikiran dan suasana batin dari satu kelompok aktivis islam ke kelompok aktivis islam yg lain. Beberapa menentramkan saya, seperti pengajian “Cinta dan Tauhid” Alhikam, beberapa menggerakkan rasa kepedulian sosial seperti pengajian Padhang Mbulan Cak Nun. Yg lain menambah wawasan saya tentang warna warni pola pemahaman Islam dan pergerakannya.
Diantaranya ada juga pengajian yg isinya menyemai benih2 ekstrimisme radikalisme. Acara rihlah (rekreasinya) saja ada simulasi game perang2an. Acara renungan malamnya diisi indoktrinasi islam garis keras.
Pernah di satu pengajian saat saya kuliah di UNAIR, saya harus ditutup matanya untuk menuju lokasi. Sesampai disana ternyata peserta pengajian di-brainwash tentang pentingnya menegakkan Negara Islam Indonesia. Dan unt menegakkan ini kita perlu dana besar. Dan untuk itu kalau perlu kita ambil uang (mencuri) dari orang tua kita unt disetor ke mereka.
Bahkan ketua Rohis saya di buku Agendanya menyebut profesi dirinya bukan pelajar SMA, tapi Mujahid. Karena memang saat itu majalah Sabili sangat laris di sekolah kami. Isinya banyak menampilkan secara Vulgar pembantaian etnis muslim Bosnia oleh Serbia. Dan ini dijadikan pembakar semangat anak2 muda jaman saya waktu itu untuk menjadi “mujahid2 pembela islam”, beberapa akhirnya berangkat beneran ke medan perang.
Dari pengalaman menjelajah berbagai versi pemikiran dan aktivis islam dari yg paling radikal sampai liberal itu, dari sunni, sufi, wahabi, syiah, NII, dll itu, saya menyadari walaupun Islam ini mestinya satu, tapi ada banyak versi cara orang memahaminya, sehingga melahirkan banyak versi ekspresi keislaman dan pola tindakan.