Kisah Cinta Perawat Militer Amerika dengan Tahanan Perang Nazi

"Kamu harus tahu namaku. Aku adalah pria yang akan menikahimu." Kata-kata itu terlontar Friedrich Albert.

Editor: Yoso Muliawan
New York Post
Friedrich, Elinor, bersama dua anak mereka, Stephen dan Chris. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - "Kamu harus tahu namaku. Aku adalah pria yang akan menikahimu."

Kata-kata itulah yang terlontar dari seorang tawanan perang bernama Friedrich Albert saat pertemuan perdananya dengan Elinor Powell, perawat militer Amerika Serikat.

Friedrich sedang berjalan di aula ruang makan tatkala matanya terpaku pada seorang perempuan berkulit hitam dengan seragam perawat.

Hanya dengan satu tatapan, Friedrich langsung terpesona dengan Elinor.

Mendengar kata-kata "Kamu harus tahu namaku. Aku adalah pria yang akan menikahimu" dari seorang tawanan perang, Elinor pun tertawa.

Bagi Elinor, mana mungkin seorang tawanan perang menjalin cinta dengan tim militer AS di tengah berkecamuknya Perang Dunia II? Yang benar saja.

Namun, bagai bertuah, ucapan Friedrich itu akhirnya menjadi kenyataan. Elinor berhasil menjadi miliknya.

Alexis Clark, seorang jurnalis, mengisahkan cerita pasangan tersebut dalam bukunya "Enemies in Love".

Menurut Clark, kisah cinta rahasia mereka merupakan awal dari pemberontakan Elinor untuk melawan rasisme.

Kisah mereka lalu semakin berkembang hingga mendalam di tengah-tengah perang yang penuh prasangka buruk.

Di Tengah Perang

Semua bermula pada 1944, saat Friedrich dan Elinor tiba di kamp Florence di pedalaman Arizona Selatan.

Friedrich, dokter Angkatan Udara Jerman (Luftwaffe) yang tertangkap di Italia, merupakan satu di antara 370 ribu orang yang tersebar di 600 kamp pekerja di AS, saat perang berkecamuk di Eropa.

Sementara itu, Elinor yang berdarah Afrika-Amerika, bertugas merawat para tahanan asing.

Kebijakan militer melarang semua perawat berkulit hitam untuk melaksanakan pekerjaan bergengsi di luar negeri. Oleh sebab itu, mereka hanya bertugas di kamp-kamp tahanan.

Friedrich yang berasal dari Wina merupakan anak tunggal dari keluarga berada. Orangtua Friedrich memberi pendidikan yang baik untuknya, tetapi tidak dengan perhatian dan kasih sayang.

Friedrich pun mencari kenyamanan dari musik jazz. Ia mengidolakan Billie Holiday serta Ella Fitzgerald.

Bagi Friedrich, Elinor adalah semua yang ia bayangkan dari seorang perempuan Amerika. Friedrich merayu Elinor dengan camilan dari dapur tahanan dalam tugasnya sebagai juru masak.

Friedrich membuat strudel apel spesial untuk Elinor dan memberikannya bersama kedipan genit.

Saat ia membuka kelas memasak sebagai bagian dari program rekreasi tahanan, Elinor adalah orang pertama yang mendaftar. Mereka saling menatap sambil mengaduk adonan bauernbrot dan brötchen.

Mencuri Waktu untuk Bersama

Tak bisa menahan rasa cintanya, Friedrich lantas mendaftarkan diri sebagai relawan penerjemah di rumah sakit kamp agar bisa lebih dekat dengan Elinor.

Keduanya kemudian sering mencuri waktu untuk bertemu secara diam-diam.

"Saya bisa mengatakan bahwa Elinor benar-benar sedang jatuh cinta. Cara dia melihat Friedrich, kami langsung mengetahuinya," kenang Gwyneth Blessit Moore, perawat lain di kamp.

Sebenarnya, berhubungan dengan tahanan perang bisa membuat Elinor menuai sanksi militer. Namun, rekan-rekan sesama perawat berusaha mengamankan rahasia hubungan mereka.

Meskipun berisiko, kisah cinta rahasia Friedrich dan Elinor bertahan lebih dari setahun. Selama itu, hubungan mereka tak pernah terdengar oleh para petinggi.

Suatu hari, Friedrich tertangkap saat menyelinap dari tahanan untuk menemui Elinor pada malam hari. Petugas lalu memangkas rambut dan memukulinya. Meskipun demikian, petugas tidak tahu Friedrich ingin pergi ke mana.

Friedrich dan Elinor tetap bersama hingga Jerman menyerah, bom atom jatuh, dan para diplomat menyusun rencana perdamaian.

Friedrich Albert dan Elinor Powel
Friedrich Albert dan Elinor Powel (New York Post)

Sembunyikan Kehamilan

Tidak ada tahanan Jerman yang bisa memperoleh visa dan tinggal di AS setelah perang. Satu-satunya cara adalah Friedrich harus menjadi ayah dari anak Amerika Elinor.

Tepat sebelum kembali ke Eropa pada 1946, Elinor hamil. Elinor menyembunyikan kehamilannya hingga masa-masa terakhir pelayanan militer, sebelum akhirnya kembali ke Massachussetts untuk melahirkan.

"Kamu adalah bagian dari hidupku. Aku sangat membutuhkanmu," tulis Friedrich dalam suratnya semasa perpisahan sementara dengan Elinor.

Saat bayi mereka, Stephen, lahir, rencananya berhasil. Dengan sertifikat kelahiran Stephen, Friedrich akhirnya mendapat visa tinggal di AS.

Pada 26 Juni 1947, beberapa hari setelah Friedrich sampai di AS, pasangan ini menikah di New York. Friedrich lalu mengubah namanya menjadi "Frederick" sebagai penanda untuk memulai hidup baru di AS.

Melintasi 2 Benua

Namun, memiliki rumah di lingkungan masyarakat yang fanatik ternyata lebih sulit dari menjalani hubungan terlarang pada zaman perang.

Selama satu dekade berikutnya, Frederick dan Elinor harus melintasi dua benua untuk mencari komunitas yang bisa menerima keluarga ras campuran mereka.

Di Boston, seorang tuan tanah mengusir mereka setelah beberapa tetangga merasa keberatan tinggal di dekat mantan tentara Nazi. Sementara yang lainnya, tidak mau ada wanita kulit hitam di lingkungannya.

Di Pennsylvania, Stephen terpaksa masuk sekolah dasar terpisah, meskipun hukum negara melarangnya.

Saat tinggal di Göttingen, Jerman, Frederick bekerja di perusahaan batu bata milik ayahnya. Namun, perilaku rasis dari ibu Frederick, memaksa mereka pergi dari sana. Sang ibu sering mencemooh Elinor dengan mengatakan, "Mengapa anakku tidak bisa menikahi wanita berkulit putih?"

Pada akhirnya, keluarga kecil mereka menemukan rumah di Village Creek, Norwalk, Connecticut, dan menetap selamanya di sana.

Frederick mengubah pengalamannya di tahanan menjadi karier. Ia menjabat sebagai wakil presiden di Pepperridge Farm dan bertanggung jawab untuk eksperimen resep di dapur.

Satu di antara beberapa produk unggulannya adalah pai apel. Itu terinspirasi dari strudel spesial yang ia bikin untuk Elinor bertahun-tahun sebelumnya.

Frederick meninggal pada usia 75 tahun pada 2001. Sementara Elinor menyerah pada kanker saat umurnya 84 tahun pada 2005.

"Mereka saling mencintai sampai ajal menjemput," tutur Chris, anak kedua Frederick dan Elinor.

Sumber: Mary Kay Linge/New York Post

(Gita Laras Widyaningrum)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved