Ramadan 1439 H
2 Akademisi UBL Jalankan Puasa di Negeri Sakura: dari Puasa 16 Jam Hingga Tarawih di Kampus
"Ya puasa di Jepang kurang lebih 16 jam sehari karena saat ini bertepatan dengan musim semi menjelang musim panas"
Penulis: Eka Ahmad Sholichin | Editor: Reny Fitriani
Laporan Reporter Tribun Lampung Eka Ahmad Solichin
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Bagi muslim di Indonesia tentunya suasana puasa Ramadan sangatlah berkesan mendalam sebab banyak sekali tradisi-tradisi ataupun kebiasaan khas yang dilakukan saat menjalankannya bila dibandingkan bulan-bulan lainnya.
Kebiasaan khas tersebut mulai dari kegiatan salat tarawih berjamaah yang dilaksanakan di seluruh masjid-masjid sesudah menjalankan salat isya, kegiatan sahur dan berbuka puasa.
Baca: Kamu Termasuk Nggak? Ini 5 Zodiak yang Disebut Punya Kecantikan Luar Dalam
Lalu, ada juga tradisi "ngabuburit"/jalan-jalan sore yang dilaksanakan masyarakat sambil menunggu waktu berbuka puasa ditambah lagi dengan beragaman menu khas hidangan berbuka seperti kolek pisang, takjil, dan lainnya.
Baca: 7 Pasangan Jadi Bukti Cinta Tak Pandang Bulu Itu Masih Ada. Mana yang Paling Bikin Baper?
Namun, bagaimana jika kegiatan puasa ramadan tersebut dilaksanakan tidak di Indonesia melainkan di negara orang seperti yang dirasakan dua dosen akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL) asal Lampung yaitu IB Ilham Malik dan Fritz Ahmad Nuzir yang tahun ini melaksanakan ibadah puasa di negara Jepang.
Baca: H-7 Jelang Larangan Masuk Israel, Biro Travel Ini Tetap Nekat Buka Paket Wisata Rohani
Fritz menuturkan beribadah sebagai seorang muslim di Jepang sebenarnya merupakan kesempatan yang istimewa walaupun memang pelaksanaannya susah-susah gampang.
"Disebut kesempatan istimewa karena di Jepang ini sebenarnya kita bisa meningkatkan kualitas ibadah kita tidak hanya secara lahiriah namun juga batiniah," tuturnya, Jumat (1/6).
Belajar tentang moral dan adab tingkah laku, sambung Fritz, merupakan hal-hal yang bisa ditemui di keseharian orang Jepang.
"Sedangkan untuk ibadah lahiriah seperti salat dan puasa, penerimaan dan pengertian dari orang Jepang secara umum lebih mudah didapat ketimbang saat berada di Jerman (saya pernah tinggal dua tahun di sana)," paparnya.
Menurutnya, kondisi yang tidak akan pernah ditemui di Indonesia saat menjalankan puasa di Jepang adalah durasi lamanya waktu menjalankan puasa sebab di Jepang kurang lebih 16 jam dalam sehari.
"Ya puasa di Jepang kurang lebih 16 jam sehari karena saat ini bertepatan dengan musim semi menjelang musim panas, dimana matahari lebih lama munculnya. Berbeda kalau di Indonesia, yang rata-rata 12 jam lamanya," tuturnya.
Pria dua orang anak tersebut tinggal di Kitakyushu dan di kota tersebut sampai saat ini belum ada masjid. Masjid terdekat ada di kota Fukuoka kurang lebih dua jam perjalanan naik mobil.
Sehingga untuk keperluan salat Jumat atau salat Tarawih pada bulan Ramadan ini biasanya mahasiswa-mahasiswa muslim meminjam ruangan di lingkungan kampus untuk keperluan salat.
"Dan saya sebagai orang luar boleh ikut bergabung. Jadi, suasana puasa biasa saja tidak ada yang spesial kecuali saat salat Tarawih dan kegiatan berbuka puasa bersama komunitas muslim," tuturnya.
"Alhamdulillah saya berkesempatan tinggal dua tahun di Jerman, satu tahun di Dubai, dan hampir empat tahun di Jepang dan seingat saya sebagian besar saya menghabiskan Ramadan di negara-negara tersebut, tidak mudik. Hanya sesekali mudik untuk lebaran kalau tidak salah," sambungnya.
Keseharianya tinggal di Kota Kitakyushu yang lokasinya berada di Provinsi Fukuoka. Kota tersebut merupakan salah satu kota industri tapi terkenal sangat ramah lingkungan.
Dirinya tinggal di sebuah apartment dua lantai dimana sekitarnya juga banyak apartment dan ada satu rumah sakit besar. Kebetulan juga dekat dengan kampus dimana cukup banyak mahasiswa muslim yang tinggal disana. Selain itu, tentunya masyarakat non muslim semua.
"Mereka tidak semuanya tahu tentang ibadah puasa ini sehingga ya perlakuan mereka terhadap saya dan keluarga biasa saja. Hanya di sekolah dasar (SD) tempat anak saya sekolah saja yang tahu dan membolehkan anak saya yang saat ini kelas 3 SD untuk puasa," katanya.
Akan tetapi syaratnya, anaknya tidak boleh mengikut kegiatan olahraga dan saat istirahat siang harus tetap berada di kelas untuk baca buku dan lain-lain.
"Dan Alhamdulillah pihak sekolah mengizinkan satu ruangan untuk dipakai salat zuhur oleh anak saya, bahkan di luar bulan puasa. Itulah bentuk toleransi yang saya rasakan," ucapnya.
Ia mengungkapkan, secara umum mencari makanan halal cukup sulit. Selain tentunya masakan rumah, hampir tidak ada restoran atau toko yang menjual makanan berlabel halal.
"Yang kami lakukan biasanya membaca daftar isi atau kandungan makanan tersebut dengan menghindari bahan-bahan daging, alkohol, emulsifier, dsb.
Untuk sahur dan berbuka biasanya selalu diutamakan di rumah atau bersama teman-teman muslim yang lain saat pengajian rutin," paparnya.
Kalau untuk salat tarawih di bulan puasa ini ia terkadang pergi ke kampus yang berada di daerah Kitakyushu Science and Research Park untuk salat di tempat yang telah dipinjam.
Biasanya sekitar lima menit dengan mobil dari rumah dan juga adakan salat subuh berjamaah rutin tidak di bulan puasa saja yang tempatnya bergantian di rumah masing-masing warga muslim asal Indonesia di sini.
"Nah, untuk mengetahui waktu salat biasanya kami semua mengandalkan aplikasi di smartphone atau handphone (hp)," paparnya.
Suasana ramadan di Indonesia tentu sangat dirindukan yakni suasana malam hari karena bisa mendengar lantunan suara orang mengaji dan bertadarus di masjid juga suasana saat berbuka puasa bersama keluarga besar dan tarawih beramai-ramai di masjid.
"Ya tentunya sangat kangen. Namun sekarang mungkin sudah terbiasa. Nah, apalagi itu tuh makanan-makanan takjil untuk berbuka puasa di Indonesia yang sangat bervariasi dan berbagai macam rasa dan gak bakal ditemukan di sini," tandasnya.
Sementara, IB Ilham Malik menuturkan puasa di negeri orang tentu memiliki suasana yang berbeda dengan suasana di negara sendiri. Meskipun sama-sama bukan negara Islam, tetapi di Indonesia akan benar-benar merasakan kedatangan bulan ramadan.
"Sementara di Jepang, semua hari terasa sama, tidak ada suasana ramadan yang kita lihat dimana-mana seperti di Indonesia. Puasa di sini kami mulai pada pukul 03.15 menit dan waktu berbuka jam 19.25 menit. Sebab, bulan ramadan kali ini bertepatan dengan datangnya musim panas sehingga siang hari akan lebih panjang dari pada malam hari," paparnya.
Saat ini di setiap kota sudah ada masjid, meskipun sebagian masih bersifat masjid sementara. Namun, di sini tidak ada toa (pengeras suara) dan lambang bahwa bangunan ini adalah masjid.
"Di sini bangunannya sama seperti bangunan lain tetapi fungsinya yang digunakan sebagai masjid. Tidak ada pengeras suara toa seperti di masjid-masjid di Indonesia yang melantunkan suara mengaji dan adzan, ceramah, dan bahkan bacaan salat," tuturnya.
Sehingga, semua dilakukan tanpa ada pengeras suara. Tetapi setiap akhir pekan akan ada buka puasa bersama yang diadakan di masjid-masjid di Jepang.
"Termasuk di masjid sementara di kampus-kampus atau kota lain yang belum ada masjid. Di situlah di akhir pekan itu kita bisa bertemu dan bersilaturahmi dengan sesama muslim dari berbagai negara," terangnya.
Pada saat berbuka puasa seperti ini, ia bisa menikmati berbagai jenis makanan dari berbagai negara yang diolah dengan makanan yang halal. Karena di Jepang, hampir semua makanannya mengandung makanan yang tidak halal.

"Sehingga ketika kita mendapatkan makanan halal dalam jenis yang banyak, tentu ini sangat menyenanngkan bagi semua rekan yang sedang merantau di negeri orang. Dan ini adalah pengalaman ramadan saya yang ketiga selama berada di Jepang," ungkapnya.
Tentu yang Ilham rindukan adalah suasana aktivitas selama ramadan di Indoensia yang tidak bisa ditemukan di negeri Jepang. Meskipun di sini selalu ada taraweh berjamaah yang dihadiri oleh 20-40 orang.
"Tetapi tetap saja suasana ramadan dalam artian luas sangat berkesan di Indonesia. Dan itu yang tidak bisa kita temukan di Jepang," ungkapnya.
Ilham sendiri tinggal di Kota Kitakyushu, Jepang, sebagai sebuah kota yang didesain sebagai salah satu kota dengan kondisi lingkungan perkotaan terbaik di Jepang bahkan dunia.
Banyak kota dari negara lain yang menjadikan kota ini sebagai rujukan dalam penataan kota dan lingkungan. Dan tentu saja disini hampir semuanya non muslim, kecuali kita pendatang dari negara-negara lain yang beragama muslim.
"Aktivitas kita selama disini biasa saja. Bahkan rekan-rekan di kampus dari berbagai negara, terutama China dan Jepang, sangat memahami bahwa kita sedang berpuasa," kata Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) wilayah Lampung tersebut.
Sehingga mereka bersembunyi jika mau makan untuk menghormati muslim yang berpuasa. mereka juga tidak merasa terganggu ketika melaksanakan salat. "Oleh karenanya, semua kegiatan di sini biasa saja, tanpa ada gangguan apapun," tuturnya.
Kalau dibilang kesulitan, sebenarnya tidak terlalu sulit mencari makanan yang halal. Sebab di sini banyak makanan yang berbahan seafood dan sayuran.
Tetapi karena sehari-hari jenis makanannya selalu sama, walaupun ada puluhan jenis makanan yang bisa kita makan hasil olahan khas Jepang, tetapi kadang juga merasa bosan dengan jenis makanan itu.
"Tapi selain itu juga ada rekan kita sesama muslim yang membuka katering makanan selama bulan puasa. Mereka menjual ketoprak, mie aceh, nasi uduk, dan lain-lain sehingga bisa membantu menjaga selera makan selama di Jepang," paparnya.
Kemudian, juga banyak yang memasak sendiri makanan di Jepang, dengan membawa berbagai bumbu racikan dari Indonesia.
"Untuk waktu salat kita semua berpatokan dengan aplikasi online yang menunjukkan waktu salat, kiblat, waktu berbuka puasa dan waktu sahur. Jadi semua warga di sini mengandalkan aplikasi itu. Untuk tempat salat jamaah, bisa dilaksanakan di kampus atau di rumah salah satu warga," paparnya.
Tetapi khusus untuk salat Jumat dan taraweh diadakan di kampus dengan menggunakan ruangan di Klub Olahraga atau di ruang pertemuan Asrama Mahasiswa. "Dan pihak kampus sangat wellcome dengan kegiatan ibadah kita selama ini," katanya.
Hal paling dirindukan berpuasa di Indonesia adalalah makanan khas berbuka seperti kolak pisang, cincau, es campur, dan macam-macam makanan lainnya. Pindang patin, seruit, sam-sam, sambal terasi, tempoyak, dan semacamnya.
"Jelas kalau makanan khas Lampung tidak ada di sini ya. Jadi ini makanan yang paling saya rindukan. Saat lebaran nanti ketika libur untuk pulang berkumpul dengan keluarga, ini adalah menu yang selalu disediakan oleh istri saya, dan akan saya makan sampai habis," tandasnya. (eka)