Setelah Lengser sebagai Presiden, Soeharto Pernah Bilang Biar Merah Saja
Maliki Mift mengungkap kehidupan Soeharto setelah lengser dari jabatannya sebagai Presiden kedua RI pada 21 Mei 1998.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Maliki Mift mengungkap kehidupan Soeharto setelah lengser dari jabatannya sebagai Presiden kedua RI pada 21 Mei 1998.
Maliki Mift mempunyai kenangan khusus selama mendampingi Soeharto, setelah orang nomor satu di Indonesia itu menanggalkan jabatannya.
Maliki mendapat perintah dari Kepala Staf Angkatan Darat saat itu, untuk menjadi pengawal khusus Soeharto.
Baca: Berapa Banyak Kekayaan Presiden Soeharto? Pengakuan Soegiono Sosok Penyimpan Uang
Dilansir Kompas.com, kenangan Maliki Mift tertulis dalam salah satu bab di buku berjudul Soeharto: The Untold Stories (2011).
Satu di antaranya soal pengawalan.

Setelah melepas jabatannya sebagai presiden, Soeharto selalu menolak untuk dikawal.
Padahal, hak mendapat pengawalan dari polisi masih melekat kepada mantan presiden.
"Tetapi, begitu satgas polisi datang dan mengawal di depan mobil kami, Pak Harto mengatakan, 'Saya tidak usah dikawal. Saya sekarang masyarakat biasa. Jadi, kasih tahu polisinya'," tulis Maliki Mift dalam buku tersebut, menirukan ucapan Soeharto waktu itu.
Maliki mencoba memahami keinginan Soeharto.
Tetapi, ia tetap merasa pengawalan harus tetap ada.
Ia pun berpikir keras untuk mencari cara, agar Soeharto tetap dikawal, tanpa terlihat.
Baca: Ibu Tien Larang Soeharto Kawin Lagi, Bicara Soal Pemberontakan hingga Dibuat UU
Akhirnya, Maliki meminta agar polisi mengawal di belakang.
Jika jalanan macet, petugas pengawal baru maju ke depan.
"Namun tetap saja, Pak Harto mengetahui siasat itu. Beliau pun bertanya, 'Itu polisi kenapa ikut di belakang? Tidak usah'," kata Maliki Mift.
Hari berikutnya, Maliki menggunakan siasat baru.

Ia meminta pihak kepolisian agar tidak lagi mengawal mobil Soeharto.
Sebagai gantinya, Maliki akan berkoordinasi dengan petugas lewat radio.
Setiap kali mobil Soeharto melewati lampu lalu lintas, petugas harus memastikan lampu hijau menyala.
Kalau lampunya sedang merah, petugas harus mengubahnya menjadi hijau.
Akhirnya, Soeharto berangkat tanpa pengawalan polisi.
Setiap kali melewati lampu lalu lintas di persimpangan, lampu hijau selalu menyala, agar mobil yang ditumpangi Soeharto tidak berhenti menunggu rambu berganti.
Namun lagi-lagi, Soeharto merasakan keanehan.
Ia mempertanyakan mengapa setiap persimpangan yang ia lewati tidak pernah ada lampu merah.
Soeharto pun menegur Maliki, agar jangan memberi tahu polisi untuk mengatur lalu lintas.
"Sudah, saya rakyat biasa. Kalau lampu merah, ya, biar merah saja," ujar Soeharto sebagaimana ditulis Maliki Mift.
Maliki saat itu hanya terdiam dengan perasaan malu.
Cara Berpakaian
Kesederhanaan kehidupan Soeharto setelah lengser, menurut Maliki, juga terlihat dari cara berpakaian.
Sewaktu pertama kali menjadi pengawal khusus Soeharto, Maliki berpikir bahwa ia harus punya baju bagus untuk mendampingi Soeharto, paling tidak batik berbahan sutra.
Pada hari pertama bertugas, Maliki mengenakan pakaian terbaiknya untuk mendampingi Soeharto keluar rumah.
Namun, pakaian yang dikenakan Soeharto sama sekali berbeda dengan bayangannya.
Soeharto hanya mengenakan baju batik sederhana, yang biasa dia pakai sehari-hari di rumah.
"Diam-diam, saya langsung balik ke kamar ajudan untuk mengganti batik sutra yang saya kenakan, dengan batik yang sederhana pula," kata Maliki Mift.
Perjalanan Rahasia
Kesederhanaan kehidupan Soeharto setelah lengser yang disampaikan Maliki, sebenarnya juga terlihat saat ia masih menjabat sebagai presiden.
Kala itu, Soeharto tengah melakukan blusukan, untuk memantau jalannya program pemerintah.
Hanya saja, cara blusukan sosok yang kerap disapa Pak Harto itu dilakukan dengan sangat rahasia.
Sangking rahasianya, Panglima ABRI sekali pun tidak tahu.
Dilansir Intisari, Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno menceritakan pengalaman blusukan Soeharto.
Saat itu tahun 1974, Try Sutrisno masih menjadi ajudan Soeharto.
Suatu ketika, Soeharto tiba-tiba meminta Try untuk secepatnya menyiapkan mobil dan pengamanan seperlunya.
"Siapkan kendaraan, sangat terbatas. Alat radio dan pengamanan seperlunya saja, dan tidak perlu memberitahu siapa pun," perintah Soeharto, sebagaimana tercantum dalam buku Soeharto: The Untold Story.
Blusukan rahasia itu berlangsung selama dua pekan.
Orang yang turut serta dalam blusukan itu hanya Try, Komandan Paspampres Kolonel Munawar, komandan pengawal, satu ajudan, dokter Mardjono, dan mekanik Biyanto yang mengurus kendaraan.
Di luar rombongan itu, hanya Ketua G-I/S Intel Hankam Mayjen TNI Benny Moerdani yang mengetahuinya.
Panglima ABRI ketika itu bahkan tidak tahu bahwa presiden sedang berkeliling dengan pengamanan seadanya ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Saat itu, Indonesia memasuki tahap Pelita II.
Soeharto merasa harus turun langsung memantau pelaksanaan program-program pemerintah.
Dengan melakukan perjalanan rahasia, Soeharto bisa melihat kondisi desa apa adanya, dan mendapat masukan langsung dari masyarakat.
“Kami tidak pernah makan di restoran, menginap di rumah kepala desa atau rumah-rumah penduduk. Untuk urusan logistik, selain membawa beras dari Jakarta, Ibu Tien membekali sambal teri dan kering tempe. Benar-benar prihatin saat itu,” tutur Try.
Meski perjalanan itu berusaha ditutup rapat, kedatangan presiden ke suatu desa akhirnya bocor ke telinga pejabat setempat.
Para pejabat daerah pun geger dan memarahi Try Sutrisno karena merasa tidak diberi kesempatan untuk menyambut presiden.
Try tidak bisa berbuat banyak karena perjalanan itu adalah kemauan Soeharto.
Try yang kemudian menjadi Wakil Presiden pun melihat Soeharto begitu menikmati perjalanan keluar masuk desa.
Semua hal yang ditemui di lapangan dicatat sosok itu, untuk jadi bahan dalam rapat kabinet.
Sangking menikmatinya perjalanan itu, Soeharto tidak protes ataupun marah saat ajudannya salah mengambil jalan, hingga akhirnya tersasar.
Padahal, Soeharto mengetahui betul seluk beluk wilayah itu.
Dalam ingatan Try, Soeharto ketika itu hanya tersenyum.
Perjalanan rahasia itu pun berakhir di Istana Cipanas, dengan kondisi rombongan yang kelelahan.
Try mengungkapkan, Soeharto mempersilakan para pembantunya untuk makan terlebih dulu daripada dirinya. (tribunjogja)
--> Jangan lupa subscribe Channel YouTube Tribun Lampung News Video