Rupiah Melemah, Pengusaha Elektronik Mulai Ancang-ancang Naikan Harga
Kondisi mata uang rupiah yang terus merosot terhadap dolar Amerika Serikat, membuat pengusaha elektronik ambil ancang-ancang.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Kondisi mata uang rupiah yang terus merosot terhadap dolar Amerika Serikat (AS), membuat pengusaha elektronik ambil ancang-ancang.
Para pengusaha barang elektronik di Lampung sudah memastikan kenaikan harga produk
Ketua Asosiasi Pengusaha Teknologi Informatika Lampung, yang juga owner Alam Prima Komputer, Djojo Herwanta, mengatakan, kenaikan barang-barang elektronik suatu keniscayaan.
Sebab, komponen barang-barang elektronik seperti laptop, merupakan produk impor.
"Komponen laptop itu impor dari beberapa negara, di antaranya Amerika. Kalau dolar naik sudah pasti harga komponen juga naik. Sehingga mau tidak mau harga laptop dinaikkan," kata Djojo, Rabu (5/9).
Djojo menyebut harga laptop akan naik Rp 200 ribu mulai 10 September nanti.
Baca: Rupiah Melemah, Eksportir Kopi dan Lada Lampung Juga Terpuruk, Ini Penyebabnya
Kenaikan harga ini untuk semua merek laptop yang dijual Alam Prima Komputer.
Djojo tidak memungkiri kenaikan harga itu bisa berdampak terhadap penjualan laptop yang semakin sepi.
Menurut dia, daya beli masyarakat terhadap laptop dan barang elektronik tahun ini cenderung turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Sekarang masyarakat lebih mengutamakan beli sembako dan kebutuhan pokok lain dibanding barang elektronik," ujarnya.
Namun, ia mengakui langkah menaikkan harga produk itu harus dilakukan jika tak ingin merugi.
Pimpinan PT Sharp Electronics Indonesia Cabang Lampung, Evan Sediana, juga memastikan adanya kenaikan harga sekitar 2-3 persen.
Kenaikan harga ini berlaku untuk semua barang elektronik seperti kulkas, TV, AC, dan sebagainya.
"Kalau ditahan tidak naik (harga), itu tidak mungkin. Komponen elektronik Sharp kebanyakan impor. Harga komponen itu naik akibat dolar nai
Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) makin terpuruk.
Bahkan, pada perdagangan sejumlah bank besar, Rabu (5/9) kemarin, dolar sudah menembus batas psikologis di level Rp 15.000.
Terpuruknya rupiah terhadap dolar AS ternyata tidak berpengaruh positif terhadap para ekspotir Lampung, yang dikenal sebagai penyuplai kopi dan lada.
Alih-alih mereguk keuntungan besar, eksportir Lampung justru mengeluhkan turunnya jumlah produk yang diekspor.
Baca: Nilai Rupiah Anjlok, Kondisi Ekonomi 2018 Lebih Buruk Dibanding 1998? Jokowi Beri Penjelasan
Ketua Asosiasi Eksportir Lada Indonesia (AELI) Lampung, Sumita, mengatakan, menguatnya kurs dolar terhadap rupiah, tidak berpengaruh apa-apa terhadap para eksportir.
Hal tersebut karena negara pesaing juga mengalami penurunan nilai mata uang.
"Sebenarnya justru malah turun. Karena negara-negara pesaing kita, dengan komoditas yang sama, itu juga mengalami penurunan (kurs).
Terutama Brasil, sekarang sudah drop sampai 18 persen (nilai mata uang). Kita baru 8 persen. Artinya penjualan (harga lada) Brasil jauh lebih murah daripada kita. Makanya, penjualan kita malah menurun," kata Sumita, Rabu (5/9).
Sumita mengamini anggapan bahwa menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar sejatinya menguntungkan para eksportir, khususnya di Lampung.
Tetapi, kondisi saat ini berbeda, di mana terjadi perang dagang di dunia global.
"Dengan perang dagang seperti sekarang ini, semua pengusaha atau trader di luar negeri juga mengambil posisi. (Beli) secukupnya saja.
Makanya (penjualan) kita sedikit melambat sebetulnya. Siapa sih orang yang mau ambil risiko dengan kondisi seperti sekarang ini. Apalagi komoditas pertanian ini kan cukup melimpah," jelas Sumita.
Ke depan, lanjut Sumita, Lampung harus bisa lebih kompetitif dengan negara pesaing. Petani lada di Bumi Ruwa Jurai, terus Sumita, harus kerja keras.
"Produksinya juga harus benar. Produktivitasnya jangan rendah lagi. Jangan karena (harga) turun, kita ikut turun, ya habis jadinya," papar Sumita.
Baca: Jokowi Komentari Rupiah yang Hampir Sentuh Rp 15.000 per Dolar AS
Sumita berharap ada intervensi pemerintah untuk menstabilkan harga.
Jika harga tidak stabil, dan nilai mata uang negara pesaing terpuruk lebih dalam dari Indonesia, maka ekspor Indonesia, khususnya Lampung juga akan ikut turun.
"Sekarang masalahnya adalah dunia. Artinya, negara-negara pesaing juga kena imbasnya. Karena pondasi mereka lemah, sehingga jatuhnya jauh dari kita.
Kalau mereka jual dengan harga mata uang mereka, jelas kita akan kalah jauh. Itu yang mengakibatkan harga komoditas kita tidak naik, walaupun kurs (dolar) naik," ucap Sumita. (*)