Zainudin Hasan Belum Jadi Bupati Lampung Selatan, KPK Ungkap Uang Gratifikasi Tambang Rp 7 Miliar

Zainudin Hasan Belum Jadi Bupati Lampung Selatan, KPK Ungkap Uang Gratifikasi Tambang Rp 7 Miliar

Facebook
Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan (berpeci putih) dan kakaknya, Ketua MPR Zulkifli Hasan 

Zainudin Hasan Belum Jadi Bupati Lampung Selatan, KPK Ungkap Uang Gratifikasi Tambang Rp 7 Miliar

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Bupati nonaktif Lampung Selatan, Zainudin Hasan, ternyata juga didakwa menerima uang gratifikasi sebesar Rp 7 miliar atas pinjam pakai ekploitasi hutan untuk tambang di Kalimantan.

Eksploitasi hutan ini diajukan Zainudin ke Kementerian Kehutanan ketika masih dijabat kakak kandungnya, Zulkifli Hasan.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Subari Kurniawan mengatakan, Zainudin menerima gratifikasi uang sebesar Rp 3 miliar dari PT Bara Mega Perdana dan Rp 4 miliar dari PT Jonding Pratama.

KPK Ungkap Nilai Uang Korupsi Zainudin Hasan Rp 106 Miliar: Saya Seperti Mau Dirampok Siang Bolong

"Perbuatan terdakwa telah berlawanan dengan statusnya," kata JPU Subari saat membacakan surat dakwaan terhadap Zainudin di Pengadilan Tipikor Tanjungkarang, Senin (17/12).

Subari mengungkapkan, gratifikasi yang dilakukan Zainudin berawal pada Oktober hingga November 2010.

Zainudin meminta Sudarman dan Sudjono untuk melakukan penandatanganan berkas dan KTP untuk mengurus dua perusahaan.

Kedua perusahaan tersebut adalah PT Ariatama Sukses Mandiri dan PT Borneo Lintas Khatulistiwa.

Pada akhir 2010, PT Bara Mega Cipta Mulia yang bergerak pada pertambangan batubara mengajukan berkas pinjam pakai hutan untuk eksploitasi hutan seluas 156 hektare di Kota Baru, Kalimantan.

"Pinjam pakai tersebut (diajukan Zainudin) di Kementerian Kehutanan yang saat itu dipimpin Zuklifli Hasan, kakak dari terdakwa," paparnya.

Setelah mendapatkan izin pada Januari 2011, terdakwa membeli saham pada pertambangan batubara tersebut melalui PT Borneo Lintas Khatulistiwa.

"Hingga tahun 2018, terdakwa mendapatkan uang Rp 107 juta per bulan melalui tabungan rekening. Uang tersebut disamarkan sebagai komisaris di perusahaan PT Jonding Pratama," ujarnya.

Pembayaran dilakukan tiga kali, yakni 10 Februari 2017 sebesar Rp 2 miliar, akhir 2017 sebesar Rp 1 miliar, dan 14 Juni 2018 sebesar Rp 1 miliar

Selain itu, atas keberhasilan mendapat hak pinjam hutan, Zainudin juga mendapatkan Rp 3 miliar dari PT Bara Mega Perdana.

Menurut JPU Subari, total yang diterima Zainudin sebesar Rp 7 miliar.

Menurut JPU, Zainudin tidak ada niat untuk melaporkan penerimaan uang tersebut kepada KPK.

"Dengan kata lain terdakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 7 m dan dianggap sebagai suap karena berlawanan dengan tugas terdakwa," tegasnya.

Subari menambahkan bahwa perbuatan Zainudin diatur dan diancam pidana menurut Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Keberatan

Usai JPU membacakan dakwaan, Zaiunidin sempat protes. Ia tak terima harta kekayaan sebelum dirinya menjabat sebagai Bupati Lamsel turut dimasukkan dimasukkan menjadi bagian korupsi.

"Tidak semua isi surat dakwaan itu benar. Ada yang perlu saya luruskan.

Saya sebelum jadi bupati adalah pengusaha, jadi tidak wajar dan elok menyambungkan seluruh aktivitas saya sebelum menjadi Bupati Lampung Selatan," kata Zainudin di persidangan.

Zainudin kemudian mengeluarkan kertas dari saku bajunya dan membacakan beberapa poin keberatan tersebut.(nif/rri)

Gerogoti DAK Rp 27 miliar

Sidang perdana Bupati nonaktif Lampung Selatan, Zainudin Hasan, memunculkan kejutan. Adik kandung Ketua MPR Zulkifli Hasan itu, disebut turut menggerogoti Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dikucurkan pemerintah pusat. Nilai uang yang diraup berkisar Rp 27 miliar.

Total nilai dugaan korupsi Zainudin mencapai Rp 106 miliar.

Terdiri dari fee proyek Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Lamsel senilai Rp 72 miliar, gratifikasi Rp 7 miliar terkait eksploitasi hutan untuk tambang batubara di Kalimantan, dan meraup untung dari proyek DAK senilai 27 miliar.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Subari Kurniawan, mengungkapkan, Zainudin turut menggarap proyek yang bersumber dari DAK Lamsel tahun 2017 dan 2018.

Modusnya, perusahaan Zainudin Hasan, yang dikelola oleh orang kepercayaan, turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan proyek pekerjaan.

"Setelah menjabat sebagai Bupati Lamsel tahun 2016, terdakwa (Zainudin) memerintahkan Boby Zulhaidir dan Tajrian Noor untuk mendirikan perusahaan PT Krakatau Karya Indonesia (PT KKI) yang bergerak di bidang usaha Asphalt Mixing Plant (AMP)," kata Subari dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Tanjungkarang, Senin (17/12).

Pada Maret-April 2017, Zainudin memerintahkan Boby untuk berkoordinasi dengan Hermasyah Hamidi, saat itu Kepala Dinas PUPR Lamsel, untuk melakukan lelang.

"Kemudian Herman digantikan Anjar Asmara, maka terdakwa pun meminta Anjar agar sisa proyek yang berasal dari DAK Tahun Anggaran 2017 sekitar Rp 38 miliar dikerjakan Boby," ucap Subari.

Anjar pun mengatur 12 pekerjaan proyek untuk dikerjakan Boby. "Boby meminjam 12 nama perusahaan untuk melaksanakan proyek ini dengan komitmen pinjaman 1 persen," paparnya.

Usai pengerjaan proyek DAK 2017, Zainudin kembali meminta jatah pekerjaan di lingkungan Kabupaten Lamsel yang dibiayai DAK pada 2018 kepada Anjar Asmara.

"Terdakwa mendapat 15 proyek pekerjaan dengan nilai anggaran Rp 78 miliar. Kemudian proyek ini dikerjakan Boby dengan meminjam 15 bendera perusahaan," sebutnya.

Menurut Subari, perbuatan Zainudin mengikutkan PT KKI yang dikelola Boby Zulhaidir maka secara tidak langsung memperoleh pekerjaan yang bersumber dari biaya DAK.

Keuntungan dari proyek DAK tersebut sebesar Rp 27 miliar.

"Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 12 huruf i UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP," kata Subari.
Fee Proyek

Sementara JPU Wawan Yulianto mengatakan, Zainudin telah memperkaya diri sebesar Rp 72 miliar terkait fee proyek di Dinas PUPR Lamsel.

Hal itu dilakukan Zainudin bersama-sama dengan mantan Kepala Dinas PUPR Anjar Asmara dan anggota DPRD Lampung Agus Bhakti Nugro.

"Mulai Desember 2017 sampai Juni 2018 telah melakukan kejahatan dengan memperkaya diri sebesar Rp 72 miliar," kata Wawan membacakan surat dakwaan dalam persidangan.

Wawan merincikan aliran dana Rp 72 miliar didapat dari pengerjaan proyek tahun 2016 hingga 2018. "Dari 2016 hingga 2017 terdakwa meminta komitmen fee kepada Hermansyah Hamidi (mantan Kadis PUPR) melalui Agus BN. Kemudian Hermansyah membuat tim untuk mengatur proyek tersebut," katanya.

Pada akhir 2017, jabatan Kepala Dinas PUPR diisi oleh Anjar Asmara. Zainudin pun mengarahkan Anjar bahwa rekanan yang mau proyek harus menyetorkan komitmen fee 21 persen.

Sebesar 15 persen untuk Zainudin yang diserahkan kepada Agus BN, dan sisanya untuk operasional.

Adapun hasil komitmen fee tahun 2016, Zainudin mendapat Rp 26 miliar dari Kabid Pengairan Dinas PUPR Lamsel Syahroni, dan Rp 9 miliar dari Ahmad Bastian.

Tahun 2017 dapat Rp 23 miliar dari Syahroni, dan Rp 5 miliar dari Rusman Effendi. Tahun 2018 mendapat Rp 8 miliar dari Anjar Asmara.

"Perbuatan diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 Huruf a, Pasal 12 huruf i dan Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved