Tsunami Pesisir Lampung
Update - Dampak Tsunami Selat Sunda: 43 Meninggal Dunia, 584 Orang Luka, dan 2 Orang Hilang
Dampak Tsunami Selat Sunda: 43 Meninggal Dunia, 584 Orang Luka-Luka, dan 2 Orang Hilang
Penulis: Noval Andriansyah | Editor: taryono
Laporan Reporter Tribun Lampung Noval Andriansyah
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Dampak tsunami yang menerjang pantai di Selat Sunda, khususnya di daerah Pandenglang, Lampung Selatan dan Serang terus bertambah.
Hingga Minggu 23 Desember 2018 pukul 07.00 WIB, data sementara jumlah korban dari bencana tsunami di Selat Sunda tercatat 43 orang meninggal dunia, 584 orang luka-luka dan 2 orang hilang.
Kerugian fisik meliputi 430 unit rumah rusak berat, 9 hotel rusak berat, 10 kapal rusak berat dan puluhan rusak.
Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam siaran persnya kepada Tribunlampung.co.id, Minggu 23 Desember 2018 pagi.
• 8 Orang Meninggal Dunia di Kecamatan Kalianda Akibat Terjangan Tsunami
"Untuk jumlah pengungsi, saat ini masih dalam pendataan. Pandeglang adalah daerah yang paling parah terdampak tsunami," ujar Sutopo.
Sutopo menjelaskan, di Kabupaten Pandeglang tercatat 33 orang meninggal dunia, 491 orang luka-luka, 400 unit rumah rusak berat, 9 hotel rusak berat, dan 10 kapal rusak berat.
Daerah yang terdampak, terus Sutopo, adalah permukiman dan kawasan wisata di sepanjang Pantai seperti Pantai Tanjung Lesung, Sumur, Teluk Lada, Penimbang dan Carita.
"Saat kejadian banyak wisatawan berkunjung di pantai sepanjang Pandeglang," tuturnya.
Kemudian, di Lampung Selatan, jelas Sutopo, sebanyak 7 orang meninggal dunia, 89 orang luka-luka dan 30 unit rumah rusak berat.
• BREAKING NEWS - BPBD Lampung Selatan Akan Evakuasi 12 Anak Asal Pringsewu dari Pulau Sekepel
Sedangkan di Serang tercatat 3 orang meninggal dunia, 4 orang luka-luka dan 2 orang hilang.
"Pendataan masih dilakukan. Kemungkinan data korban dan kerusakan akan bertambah. Penanganan darurat juga terus dilalukan. Status tanggap darurat dan struktur organisasi tanggap darurat, pendirian posko, dapur umum dan lainnya masih disiapkan. Alat berat juga dikerahkan untuk membantu evakuasi dan perbaikan darurat," papar Sutopo.
Sutopo juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas di sekitar pantai saat ini.
• BPBD Lampung Selatan: 7 Orang Meninggal Akibat Tsunami di Kawasan Pesisir Lampung Selatan
"BMKG dan Badan Geologi masih melakukan kajian untuk memastikan penyebab tsunami dan kemungkinan susulannya," tandas Sutopo.
Penyebab Tsunami
Gelombang pasang yang menerjang wilayah Banten dan lampung pada Sabtu (22/12/2018) malam tidak selain menyebabkan kerusakan juga memicu sejumlah pertanyaan.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sempat menyatakan dalam akun Twitter-nya bahwa gelombang itu hanya akibat purnama.
Namun, keterangan pers dari Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono kemudian menyatakan bahwa yang terjadi adalah tsunami.
BMKG lantas menghapus pernyataannya di Twitter.
Rahmat mengatakan, tsunami yang terjadi dengan ketinggian tertiggi 0,9 meter itu misterius karena belum diketahui sebabnya. Umumnya, tsunami disebabkan oleh aktivitas tektonik atau gempa.
Namun, pendataan BMKG pada Sabtu mengungkap bahwa tak ada gempa di sekitar Banten dan Lampung yang bisa memicu tsunami.
Ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko yang melakukan kaji cepat mengungkapkan, ada indikasi tsunami tersebut disebabkan oleh erupsi Anak Krakatau.
"Kemungkinan besar terjadi flank failure/collapse akibat aktivitas Anak Krakatau petang ini dan akhirnya menimbulkan tsunami," katanya. Jika benar hal itu sebabnya, maka fenomena ini masih bisa berulang.
"Aktivitas Anak Krakatu belum selesai dan flank atau collapse yang terjadi bisa memicu ketidakstabilan berikutnya," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Wawan Irawan mengatakan bahwa Anak Krakatau memang mengalami erupsi pada Sabtu pukul 18.43 WIB, terpantau dari Pos Pengamatan Gunung Api Pasauran.
Meski demikian, dia beranggapan bahwa erupsi Anak Krakatau terlalu kecil untuk menimbulkan gelombang besar.
"Saya pikir gelombang tinggi lebih karena pasang laut saja, karena kalau gelombang tinggi karena letusan gunung api perlu letusan yang sangat besar atau karena longsoran tubuh gunung api," jelasnya.
Hal yang sama diungkapkan oleh ahli geologi Surono.