'PKI dan Hantu Politik' Jadi Tema Acara Mata Najwa Malam Ini di Trans 7 Mulai Pukul 20.00 WIB

'PKI dan Hantu Politik' Jadi Tema Acara Mata Najwa Malam Ini di Trans 7 Mulai Pukul 20.00 WIB

Penulis: taryono | Editor: taryono
twitter
PKI dan Hantu Politik Jadi Tema Acara Mata Najwa Malam Ini di Trans 7 Mulai Pukul 20.00 WIB 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Acara Mata Najwa yang tayang Rabu 16 Januari 2019 pukul 20.00 WIB di Trans 7 mengusung tema PKI dan Hantu Politik.

Demikian informasi yang diberikan akun resmi Mata Najwa, 16 Januari 2019.

Klik di Sini untuk Nonton Live Streaming

Isu "hantu" kebangkitan PKI kerap direproduksi jelang Pemilu & kini kembali mengisi perdebatan-perdebatan elit politik.

Kampanye hitam kerap membuat gaduh politik. Apa yang harus dilakukan untuk menghindari konflik?

Presiden Jokowi Dituding Berbohong Terkait Ijazah, Kepala Sekolah SMAN 6 Surakarta Beri Jawaban Ini

#MataNajwa malam ini, di @TRANS7

#MataNajwaPKIdanHantuPolitik

Tak hanya soal isu hantu kebangkitan PKI, acara Mata Najwa bakal mengulas rencana kembalinya Obor Rakyat?

"Hantu" PKI kembali bergentayangan. Politisasi jelang pemilukah ini? Bagaimana pula dengan rencana

Tanggapi Pidato Prabowo, Menhan Sebut Militer Indonesia Mampu Berperang Selama Seribu Tahun

kembalinya Obor Rakyat?

#MataNajwa juga akan menelisik lebih dalam fenomena kampanye hitam yang menghantui kontestasi politik jelang Pemilu.

Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali mencuat.

Presiden Joko Widodo lagi-lagi terkena imbasnya.

Di sela pembagian sertifikat tanah di Sentul, Selasa 6 Maret 2018, Jokowi mengaku bingung menyikapi fitnah yang terus disebarkan tersebut.

Mantan Gubernur DKI itu heran isu keberadaan kader PKI masih dipakai hingga saat ini.

Pasalnya PKI dibubarkan pada tahun 1965, sementara ia lahir pada tahun 1961.

Artinya, ia merasakan era PKI saat berusia di bawah lima tahun (balita).

Driver Go Car Segel Kantor PT Gojek Pontianak, Manajemen Gojek Beri Penjelasan

Di hari yang sama, diskusi dengan tema 'Isu Kebangkitan PKI: Antara Realita atau Propaganda' yang diselenggarakan Kaukus Muda Indonesia (KMI) berakhir ricuh. Kericuhan dimulai ketika pembawa acara mengatakan akan segera memulai pembacaan deklarasi 'Stop Eksploitasi Isu Kebangkitan PKI'.

Sejumlah peserta diskusi pun protes. Alasannya, tidak ada agenda deklarasi dalam undangan yang mereka terima.

Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito menilai, isu kebangkitan PKI terlalu mengada-ada. Menurut Arie, isu itu sengaja dimunculkan kembali untuk menciptakan keresahan di masyarakat.

"Isu ini memang sengaja ditiupkan, ya tentu karena tahun politik, ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melemparkan isu ini," ujar Arie kepada CNNIndonesia.com, Rabu (7/3).

Arie mengatakan isu kebangkitan PKI sebenarnya tak relevan lagi dimunculkan. Saat ini permasalahan yang lebih penting untuk dihadapi, kata dia, adalah kemiskinan, korupsi, ketimpangan sosial, hingga percepatan pembangunan.

Arie memprediksi isu ini akan terus 'digoreng' hingga pemilihan presiden 2019.

Namun ia meyakini masyarakat sudah lebih cerdas dengan tak terjebak lebih jauh pada isu kebangkitan PKI.

Ia pun menyarankan Jokowi tak perlu menanggapi lebih lanjut isu tersebut.

"Pak Jokowi sebaiknya tidak usah menanggapi. Kalau bereaksi berlebihan yang mancing itu justru senang. Padahal sudah enggak ada (PKI)," kata Arie. 

Obor Rakyat Kembali Terbit

PEMIMPIN Redaksi Obor Rakyat Setiyardi Budiono, memastikan akan menerbitkan kembali tabloid tersebut dalam waktu dekat.

Hal itu disampaikan Setiyardi Budiono seusai mendapat cuti bersyarat dan menghirup udara bebas dari Lapas Cipinang Jakarta, karena kasus pidana penistaan melalui tulisan di Obor Rakyat terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2014.

Bahkan, saat ini Setiyardi Budiono tengah sibuk melakukan persiapan untuk merealisasikan rencananya itu. Di antaranya, mencari peralatan kantor dan mulai melakukan perekrutan wartawan.

"Kami ingin wartawan yang bagus, jadi beritanya juga bagus. Sekarang ini saya memang lagi sibuk untuk cari alat kantor, meja dan juga kantornya. Saya maunya nanti ada di Jakarta dan Solo," ujar Setiyardi Budiono saat berbincang dengan Tribun, Jumat (11/1/2019).

Mengenai platform yang dipilih, mantan jurnalis di media ternama itu masih belum mau mengungkapkan.

"Kalau online atau cetak, masih dirapatkan dulu. Tunggu saja tanggal mainnya," ucapnya.

Setiyardi Budiono mengaku sudah banyak permintaan dari masyarakat baik melalui surat elektronik, telepon, dan lainnya, agar dia tetap menerbitkan Obor Rakyat saat Pilpres 2019.

"Ini menjadi salah satu solusi bagi mereka yang menginginkan sebuah pemberitaan di luar dari media mainstream," katanya.

Berpisah Setelah 10 Tahun Bersama Persib Bandung, Atep: Berat Rasanya untuk Berpisah

Setiyardi Budiono menjamin produk media yang akan diterbitkannya untuk kali ini akan independen. Dia memastikan konten informasi yang disajikan nantinya berbeda dengan sebelumnya. Dia mengatakan kali ini akan memberikan pemberitaan yang faktual, sama halnya dengan media lain.

"Kontennya kami jamin independen. Saya kan wartawan juga, tidak mungkin tidak independen," cetusnya.

Dirinya menegaskan, tidak akan berpihak ke kubu capres-cawapres mana pun pada PIlpres 2019. Ia akan menyajikan berita yang sesuai fakta yang ditemukan di lapangan. Terlebih, tidak ada sponsor dari pihak mana pun untuk kembali menerbitkan Obor Rakyat. Dengan begitiu, pemberitaan dipastikan akan tetap terjaga independensinya.

"Sebagai media, kami tidak akan ke kanan maupun ke kiri. Kami berada di tengah-tengah," tegasnya.

Menurutnya, produk tabloid Obor Rakyat saat Pilpres 2014 lalu hingga membuat dipidanakan adalah hal yang biasa. Sebab, adalah hak narasumber memperkarakan pihak media jika merasa ada produk yang tidak tepat.

Dia menegaskan, dirinya mendekam di penjara bukan berarti dunia jurnalistik yang digelutinya harus selesai.

"Saya sama seperti teman-teman yang lain, jadi petani, saya tidak punya lahan. Apa yang saya bisa ya layaknya seorang wartawan. Membuat berita dan menginformasikan kepada masyarakat," paparnya.

Dua pimpinan Obor Rakyat, Darmawan Sepriyosa dan Setyardi Budiono, yang terjerat kasus karena pemberitaan di tabloid Obor Rakyat pada Pilpres 2014, divonis 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada November 2016.

Keduanya terbukti melakukan pidana penistaan dengan tulisan terhadap Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2014.

Keduanya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, justru Pengadilan Tinggi memperberat hukuman keduanya menjadi setahun penjara. Selanjutnya, pengajuan kasasi keduanya ditolak oleh MA.

Keduanya baru diesekusi dan ditangkap oleh pihak kejaksaan pada 8 Mei 2018. Keduanya ditahan di Lapas Cipinang, Jakarta Timur. Keduanya ditangkap berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

Pada 3 Januari 2019, keduanya dibebaskan dari penjara karena mendapat cuti bersyarat terhitung 3 Januari 2019 sampai 8 Mei 2019.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sempat mengancam cuti bersyarat Setiyardi Budiono dan Darmawan bisa dicabut, jika kembali melakukan pelanggaran hukum atau melakukan pidana yang sama, seperti kembali melakukan fitnah.

"Jadi saya sudah minta secara khusus Dirjen Pas dan Direktur Bina Kamtib mengenai surat itu untuk memanggil. Kemarin saya dengar sudah dipanggil, diingatkan," kata Yasonna.

Setiyardi Budiono tidak ambil pusing dengan ancaman Menkumham tersebut. Menurutnya, Menkumham tidak dapat serta merta mencabut hak tersebut, kecuali ada tindak pidana yang kembali dilakukan. Sementara, dia saat ini berencana hanya ingin membuat media massa dengan tampilan berbeda dari sebelumnya.

"Harus ada tindak pidana yang saya lakukan lagi. Apa dengan membuat media, saya melakukan tindak pidana? Kan tidak. Saya sebagai wartawan, mau dong buat media. Masa tidak boleh? Itu malah bisa melanggar hak asasi dan Undang-undang Pers," papar Setiyardi Buidono.

Sementara, Dewan Pers mengaku tidak memiliki wewenang untuk mencegah seseorang mempublikasikan media massa.

"Dewan Pers tidak punya kewenangan untuk mencegah seseorang menerbitkan media. Sejauh dia nanti bekerja sesuai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Namun, nama itu kan sudah tercemar, jadi dari sisi publik kurang baik," beber anggota Dewan Pers Hendry.

Oleh karena itu, Hendry mempersilakan Obor Rakyat kembali terbit. Namun, ia memberi catatan bahwa Obor Rakyat perlu mematuhi Undang-undang Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan hukum positif yang ada.

"Kalau mau terbit sebagai perusahaan pers, silakan ikuti UU Pers, KEJ, dan semua peraturan DP yang ada. Semua media diharapkan menjalankan fungsi sesuai UU," urainya

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved