Petani Lampung Buang Tomat Berton-ton ke Dalam Jurang, Terlilit Utang hingga Rp 70 Juta
Sebuah video memperlihatkan petani buang tomat berton-ton ke dalam jurang di Lampung Barat.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BALIK BUKIT - Sebuah video memperlihatkan petani buang tomat berton-ton ke dalam jurang di Lampung Barat.
Video tersebut menjadi viral setelah beredar di aplikasi pesan WhatsApp.
Harga tomat yang anjlok hingga Rp 500 per kilogram (kg) membuat para petani merugi puluhan juta rupiah.
Dalam dua bulan terakhir, harga tomat terus mengalami penurunan.
• Polisi Jalan Kaki 5 Jam Tangkap 3 Pembantu Asal Lampung, Terkait Kasus Istri Bakar Suami dan Anak
• Bocah 8 Tahun Menjerit-jerit Dibakar Teman Sekolah, Para Pelaku Menonton Sambil Tertawa
Hal tersebut termasuk di Lampung Barat.
Kondisi itu membuat seorang petani terlilit utang hingga Rp 70 juta.
Mirisnya, ia menggadaikan tanahnya untuk modal menanam tomat.
Karena frustrasi, sejumlah petani buang tomat berton-ton ke dalam jurang.
Peristiwa itu terlihat dalam sebuah video viral yang beredar di WhatsApp.
Dalam video itu, mereka meminta pemerintah segera menyikapi anjloknya harga tomat.
Hal tersebut agar petani tidak merugi.
Usut punya usut, video viral tersebut dibuat di Pekon Sedampah, Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat beberapa hari lalu.
Simak, videonya di bawah ini.
Tidak Laku
Dari informasi yang dihimpun Tribunlampung.co.id, video itu dibuat seorang warga Dusun Sampot, Desa Padang Cahya, Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat bernama Fredi.
Saat hendak ditemui, Fredi tidak berada di tempat.
Alhasil, Tribunlampung.co.id bertemu dengan sepupunya, Siti Kotimah.
Siti Kotimah juga bertani tomat di Desa Padang Cahya.
Siti mengaku juga ikut dalam aksi buang tomat berton-ton ke dalam jurang.
Siti dan Fredi membuang tomat-tomat tersebut karena kecewa harganya yang anjlok.
Sementara, persediaan sangat melimpah.
"Kita buang karena tidak laku."
"Biasanya ngirim tomat ke Bandar Lampung, Palembang, dan Jakarta," jelas Siti, Rabu (4/9/2019).
Siti menyebutkan, setiap peti berisi tomat hanya bernilai Rp 10 ribu.
"Satu peti 50 kilogram."
"Dengan harga cuma Rp 500 per kilogramnya, artinya dari satu peti hanya mendapat Rp 25 ribu."
"Sedangkan, harga petinya aja Rp 10 ribu dan biaya ojek Rp 10 ribu," ungkapnya.
Itu belum termasuk ongkos petik Rp 50 ribu per orang per hari.
"Dari 500 peti, baru dapet Rp 5 juta. Sedangkan modal Rp 35 juta."
"Paling dari 1 kilo kita dapat Rp 100," beber Siti.
Menurut Siti, tidak sedikit petani tomat yang terlilit utang.
Mereka terpaksa meminjam modal dengan nominal minimal Rp 15 juta.
"Karena modal untuk satu gulung atau tiga rantai (1 rantai setara 400 meter persegi) hanya menghasilkan 100 peti."
"Saya modalnya tiga gulung atau sembilan rantai, hasilnya sampai 500 peti atau 25 ton dengan modal Rp 35 juta," ungkap Siti.
Siti menjelaskan, harga tomat tertinggi pernah mencapai Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per kg.
Tapi, itu sekitar tiga bulan lalu.
Selama dua bulan terakhir, kata dia, harga tomat terus mengalami penurunan hingga hanya Rp 500 per kg.
"Kami petani tomat berharap, walaupun murah tapi jangan terlalu."
"Jadi walaupun rugi, tidak terlalu banyak. Paling tidak modal kita balik.
• Tak Puas Layanan PL di Tempat Karaoke, 4 Oknum Polisi Dit Narkoba Ngamuk Sampai Borgol Karyawan
• 181 Warga Indonesia Terjaring Razia Petugas Arab Saudi Saat Ibadah Haji, Dubes RI Ungkap Penyebabnya
"Ya paling murah minimal Rp 1.500," tuturnya.
"Kalo agen tidak akan susah. Karena mereka dapat menyesuaikan harga."
"Jadi naik atau turun, mereka nggak masalah. Tapi kalo petani pasti susah," pungkasnya.
Akibat harga yang terjun bebas tersebut, para petani melakukan aksi buang tomat berton-ton ke dalam jurang di Lampung Barat. (tribunlampung.co.id/ade irawan)