Tribun Bandar Lampung

Kontroversi Dana Komite Sekolah di Lampung, Jumlah Uang dan Waktu Setor Ditentukan

Ombudsman tegas menyatakan penarikan uang komite sekolah-sekolah di Lampung yang ditetapkan jumlah dan waktu pengumpulannya adalah melanggar aturan.

Tribun Lampung/Anung Bayuardi
Kepala Ombudsman Perwakilan Provinsi Lampung Nur Rakhman Yusuf (kedua kanan) menyatakan, penarikan uang komite sekolah-sekolah di Lampung yang ditetapkan jumlah dan waktu pengumpulannya adalah melanggar aturan. 

Kontroversi Dana Komite Sekolah di Lampung, Jumlah Uang dan Waktu Setor Ditentukan

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Penarikan uang sumbangan oleh komite-komite sekolah di Lampung menjadi kontroversi.

Ombudsman menyebut sumbangan tersebut menyalahi aturan.

Sebab, jumlah uang dan waktu pengumpulan sumbangan ditentukan sedemikian rupa.

Orangtua siswa pun mau tidak mau harus menyetor sumbangan yang biasa disebut uang komite tersebut.

Hasil penelusuran dan wawancara wartawan Tribunlampung.co.id dengan beberapa pihak menunjukkan adanya pelanggaran aturan tersebut.

Adapun aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

Ombudsman RI Perwakilan Lampung pun sedang menangani persoalan tersebut.

Lembaga pengawasan pelayanan publik ini mengklarifikasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung dan pihak sekolah pada pekan lalu.

Komite Sekolah Minta Uang ke Wali Murid, Legalkah?

2 PNS Inspektorat Lampung Jadi Tersangka Pungli, Polda Sita Uang Rp 11 Juta Dalam Amplop

Dalam waktu dekat, klarifikasi akan dilakukan lagi kepada disdikbud dan satu sekolah.

Ombudsman tegas menyatakan penarikan uang komite sekolah-sekolah di Lampung yang ditetapkan jumlah dan waktu pengumpulannya adalah melanggar aturan.

Penarikan uang sumbangan dengan cara seperti itu, menurut Ombudsman, masuk kategori ilegal.

"Dalam Permendikbud, ada yang namanya sumbangan pendidikan. Tapi, jumlahnya tidak boleh ditentukan dan waktu penarikannya juga tidak boleh ditentukan. Karena, sifatnya sukarela. Namanya saja sumbangan," jelas Kepala Ombudsman RI Perwakilan Lampung Nur Rakhman Yusuf kepada Tribunlampung.co.id, Selasa (29/10/2019).

"Nah, kalau jumlah ditentukan, misalnya sekian ratus ribu, sekian juta, waktu penarikan atau pengumpulannya juga ditentukan, maka menurut Permendikbud, itu artinya pungutan. Yang terjadi di Lampung saat ini, begitu. Jumlah dan waktunya ditentukan. Orangtua siswa pun mau tidak mau membayar. Padahal, sekarang sudah ada aturan dalam Permendikbud. Jadi, itu tidak benar, ilegal," tegasnya.

Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Perwakilan Lampung Upi Fitriyanti mengungkapkan, pihaknya sedang menangani persoalan ini berdasarkan laporan masyarakat.

"Ombudsman sedang menangani beberapa laporan masyarakat terkait sumbangan dan pungutan di sekolah. Saat ini masih dalam proses pemeriksaan. Untuk satu case yang pekan lalu, sudah sampai tahap klarifikasi kepala Disdikbud Lampung sebagai terlapor terkait. Kami sedang menunggu evaluasi internal oleh kepala Disdikbud Lampung. Untuk case yang satu lagi, masih tahap pembahasan internal dan akan dilakukan klarifikasi lagi dalam waktu dekat," paparnya, Sabtu (2/11/2019).

Jumlah Ditentukan

Merujuk pasal 10 ayat 2 Permendikbud 75/2016, bentuk penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya adalah bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.

Adapun yang disebut pungutan, merujuk pasal 1 ayat 4 Permendikbud, adalah penarikan uang kepada peserta didik atau orangtua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan.

Dari wawancara Tribunlampung.co.id dengan sejumlah orangtua siswa, mereka mengakui membayar uang sekian juta sebagai sumbangan atau uang komite sekolah.

Uang tersebut ditransfer melalui rekening komite sekolah.

Nu, orangtua siswa salah satu SMA negeri di Bandar Lampung, mengungkap nilai sumbangan untuk sekolah anaknya sebesar Rp 2,7 juta selama tiga tahun.

"Awalnya Rp 5 jutaan. Tapi setelah dilakukan musyawarah, hasilnya selama tiga tahun sebesar Rp 2,7 juta," katanya beberapa hari lalu.

Menurut Nu, para orangtua siswa bersama komite sekolah dan pihak sekolah menyepakati nilai uang sumbangan tersebut.

Para ortu, termasuk dirinya, memberikan sumbangan itu dengan cara mentransfer ke rekening komite sekolah pada awal masuk sekolah.

"Semua orangtua sepakat uang itu untuk sumbangan operasional sekolah. Semuanya dibayarkan dengan cara ditransfer ke rekening komite sekolah," ujarnya.

In, ortu siswa salah satu SMP negeri, mengaku setiap bulan wajib menyetor uang Rp 350 ribu.

Jika dikalikan 36 bulan atau tiga tahun selama anaknya bersekolah, beber In, maka nilainya mencapai Rp 14 juta.

"Biaya itu disetorkan ke bendahara sekolah. Itu sudah include uang pembangunan yang dulu disebut SPP (sumbangan pembinaan pendidikan)," katanya.

MF, ortu siswa lainnya, mengaku harus membayar Rp 500 ribu per bulan untuk uang komite.

"Itu sudah (hasil) musyawarah orangtua siswa di komite sekolah. Pembayarannya ditentukan," ujarnya.

Lantas untuk apa uang sumbangan atau uang komite itu digunakan?

Ortu siswa menjawab beragam.

In menyebut uang itu dipakai antara lain untuk pengadaan air conditioner (AC) alias pendingin ruangan dan Wi-Fi atau koneksi internet jaringan lokal.

"Fasilitasnya jadi lumayanlah. AC di setiap kelas ada dua unit. Ada Wi-Fi. Termasuk buku-buku pelajaran anak saya dipinjamkan," kata In.

Senada, Nu menyebut sekolah anaknya memiliki fasilitas AC yang pengadaannya melalui uang sumbangan atau uang komite.

"Ruangan ada AC. Buku-buku juga nggak beli lagi, kecuali LKS (lembar kerja siswa)," ujar Nu.

Bikin Malu! Ketua Komite Sekolah Cabuli 9 Pelajar

Bersifat Wajib

Wartawan Tribunlampung.co.id lantas mengonfirmasi ke komite sekolah.

Edi Waluyo, ketua Komite SMPN 7 Bandar Lampung, mengungkapkan uang komite di sekolahnya senilai Rp 275 ribu per bulan.

Ia menyebut uang komite tersebut wajib disetor oleh orangtua siswa.

"Di sekolah kami, uang komitenya dikelola dan disesuaikan dengan RAB (rencana anggaran biaya). Uang sumbangan setiap bulannya Rp 275 ribu. Sifatnya wajib dibayar," jelas Edi beberapa hari lalu.

Edi memastikan jumlah uang sumbangan atau uang komite tersebut telah disepakati di antara ortu siswa.

"Semua disesuaikan dengan keputusan dalam rapat bersama orangtua siswa. Kalau tidak ada rapat bersama orangtua siswa, sekolah, dan komite, kami tidak berani memutuskan angka," paparnya.

Terkait adanya aturan dalam Permendikbud 75/2016 bahwa sumbangan bersifat sukarela, Edi mengakui komite sekolah tidak boleh memaksa ortu siswa.

"Kalaupun tidak mampu, boleh mengajukan (keberatan). Sifatnya tidak mengikat," katanya.

Sementara seorang kepala SMA negeri menyebut peran komite sekolah tercantum dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016.

"Di sekolah, komite itu punya fungsi pengontrol, kemitraan untuk meningkatkan mutu pendidikan," ujar kepsek yang meminta Tribun tidak menyebutkan namanya.

Komite sekolah, jelas kepsek, juga berperan terkait penerapan uang sumbangan dan pengelolaannya.

"Ada rapat untuk RAB dalam setahun. Mereka menyepakati apa saja yang dijalankan dalam setahun. Dalam Permendikbud, pengelolaan sumbangan itu ada di komite sekolah," katanya.

Terkait fakta uang komite sekolah ditetapkan jumlahnya serta waktu pengumpulannya, kepsek menyatakan hal itu sebenarnya tidak dipaksakan.

Sebelum diambil kesepakatan, ungkap dia, terlebih dahulu ditanyakan kepada ortu siswa.

"Sebenarnya bisa ganda penafsiran dari aturan itu (sumbangan sukarela uang komite). Sebelumnya sudah ditanyakan kepada orangtua siswa. Itu sukarela dan tidak dipaksakan hingga akhirnya diambil kesepakatan," ujarnya.

Kepsek ini menjelaskan jumlah dan waktu penarikan uang komite ditetapkan di komite sekolah.

"Sekolah juga butuh keuangan yang sehat. Di sekolah kami ada sekitar 75 guru honorer. Setiap bulan harus dapat gaji yang totanya sampai Rp 80 juta," katanya.

Bikin Pergub

Menanggapi persoalan tersebut, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung Sulpakar menyatakan sekolah diperkenankan meminta sumbangan berdasarkan kesepakatan bersama orangtua siswa dan komite.

"Sekolah yang bermutu itu perlu pembiayaan. Maka, sekolah menerapkan Permendikbud Nomor 75 (Tahun 2016). Diperkenankan ada sumbangan yang menjadi kesepakatan bersama orangtua murid dan komite," jelasnya, Selasa (29/10/2019).

Ditetapkannya nilai sumbangan dan waktu pengumpulan, menurut Sulpakar, sudah menjadi kehendak komite sekolah dan orangtua siswa.

"Kalau tidak menetapkan, maka siapa yang akan membayar? Sekolah tidak menetapkan (nilai dan waktu pengumpulan) sumbangan itu. Komite dan orangtua yang menetapkannya," ujarnya.

Sulpakar menjelaskan pihaknya sedang menggarap peraturan daerah (perda) dan peraturan gubernur (pergub) terkait pendanaan pendidikan.

"Adanya pergub ini untuk meningkatkan mutu pendidikan. Saat ini kami juga menggodok perda pendanaan pendidikan," katanya.

Pihaknya saat tengah membentuk tim dari unsur Musyawarah Kerja Kepala Sekolah dan pihak sekolah.

"Lalu nanti disusun (perda dan pergub) untuk diuji publik kepada berbagai pihak," ujar Sulpakar.

Ancaman Pidana

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Lampung Nur Rakhman Yusuf mengungkap adanya ancaman hukuman pidana terkait penarikan pungutan pada uang komite sekolah.

Di antaranya hukuman administratif dalam hal pelanggaran maladministrasi.

"Bisa dikenakan pasal 54 hingga 58 dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sanksi administratifnya berupa teguran lisan, teguran tertulis, penurunan pangkat, penurunan gaji berkala, sampai pelepasan dari jabatan," jelas Nur.

Selain itu, sambung Nur, pelaku pungli juga bisa dijerat dengan pasal 368 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan penjara.

"Untuk pelaku pungli berstatus PNS (pegawai negeri sipil/aparatur sipil negara) bisa dijerat dengan pasal 423 KUHP dengan ancaman maksimal enam tahun penjara," kata Nur.

Apa Sih Fungsi dan Peranan Komite Sekolah?

Sementara Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Perwakilan Lampung Upi Fitriyanti berharap, dengan adanya evaluasi internal oleh Disdikbud Lampung, bisa diketahui kendala dan hambatan terkait pencarian dan pengelolaan dana pendidikan.

"Serta bisa diproyeksikan mekanisme yang benar-benar akuntabel dan transparan, sehingga tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku," ujar Upi.

"Ombudsman mengimbau para satuan pendidikan, termasuk komite sekolah, untuk berhati-hati dalam pengelolaan dana pendidikan," imbuhnya. (Tribunlampung.co.id/Bayu Saputra/Kiki Adipratama)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved