Jual Batu Bukit Kunyit
Terus Digerus, Bukit Kunyit Dianggap Sudah Tidak Ada
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bandar Lampung Sahriwansah mengatakan, Bukit Kunyit sudah dihapus dari daftar aset bukit di Kota Tapis Berseri.
Penulis: sulis setia markhamah | Editor: Daniel Tri Hardanto
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Ternyata Pemkot Bandar Lampung sudah menganggap Bukit Kunyit tidak ada.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bandar Lampung Sahriwansah mengatakan, Bukit Kunyit sudah dihapus dari daftar aset bukit di Kota Tapis Berseri.
Sesuai perda, kata dia, Bukit Kunyit sudah dihapus atau dianggap tidak ada.
"Bahkan kalau tidak salah, sudah ada perdanya dihapuskan Bukit Kunyit itu. Saya lihat juga pas ada acara di sana. Longsornya Bukit Kunyit ini tidak membahayakan sama sekali karena jauh dari permukiman," jelas Sahriwansah saat ditemui di halaman kantor Pemkot Bandar Lampung, Rabu (4/12/2019).
Soal jumlah gunung atau bukit di Bandar Lampung yang masih terjaga, Sahriwansah mengaku tidak tahu.
"Waduh, saya kurang paham jumlah bukit ini. Mohon maaf ya, saya tidak bisa komentari lebih jauh," ucap Sahriwansah.
• BREAKING NEWS - Kuli Batu Panen Rezeki Pasca Longsornya Bukit Kunyit, Sehari Raup Untung Rp 2,4 Juta
• Fenomena Monyet Kerap Turun dari Bukit Kunyit, Walhi: Bukit Masih Terjaga Tinggal Hitungan Jari
Menurutnya, dinas lingkungan hidup terus berupaya menekan kerusakan gunung atau bukit yang ada agar tidak semakin parah.
"Sudah saya katakan bahwa kita selalu berupaya menekan penggerusan perbukitan. Dalam melaksanakan suatu pembangunan agar membuat perencanaan (kajian mendalam)," papar dia.
Saat pengembang hendak membuat bangunan, sambung dia, tidak perlu menggerus.
Namun, tetap bisa membangun dalam kondisi atau keadaan yang seperti itu menyesuaikan dengan peraturan tata ruang wilayah yang ada.
"Karena ada suatu persoalan juga tentang masalah tanah milih orang lain ini, manakala mau kita halangi dia merasa itu tanah dia," beber Sahriwansah.
Belum lagi jika daerah tersebut termasuk dalam kawasan barang dan jasa.
"Jadi mau tidak mau harus melakukan penataan lahan. Karena seiring pertumbuhan daripada Kota Bandar Lampung itu sendiri," ucap dia.
Pantauan Tribunlampung.co.id, Bukit Kunyit hanya tersisa sedikit.
Sebagian besar bukit tergerus oleh aktivitas penambangan.
Bukit Kunyit tampak tandus dan gersang.
Bahkan, sudah tidak berbentuk bukit lagi, melainkan hanya belahan-belahan bukit yang terpisah-pisah.
Di sana masih ramai rutinitas pekerja yang sedang melakukan penambangan batu.
Nampak aktivitas kuli batu yang memindahkan batu longsoran ke dalam truk.
Setidaknya ada empat truk yang datang ke lokasi dalam waktu kurang dari setengah jam.
"Ya itu hanya aktivitas masyarakat. Kuli batu mindahin batu untuk diangkut ke truk," terang Wiwin, pekerja tambang batu di Bukit Kunyit.
Menurut Wiwin, longsoran tersebut terjadi karena disengaja.
Hal itu akibat penggerusan bukit pada bagian bawahnya.
Mereka menyebutnya dengan istilah "digerong".
• Resah Monyet-monyet Turun ke Permukiman, Warga Menduga Gara-gara Eksploitasi Bukit Kunyit
Namun semua proses penggerusan bukit dilakukan secara manual alias tanpa menggunakan alat berat.
"Jadi digerong dulu baru bisa jatuh (longsor). Pengerjaannya manual dan sudah puluhan tahun seperti itu pengerjaannya. Setelah digerong, butuh waktu tiga sampai empat bulanan untuk bisa longsor," ungkapnya.
Menurutnya, sebagian masyarakat sekitar mencari nafkah dari menambang batu.
"Hampir 80 persen warga bekerja di sini. Saat menggerong gunung juga tidak bisa sembarang. Karena ketika kira-kira longsor kami sudah tahu. Lihat dari gerakannya," jelasnya.
Saat longsor seperti ini, setidaknya penambang bisa mendapatkan hingga 30 truk batu siap angkut.
Penghasilan sebagai pekerja tambang batu, sambungnya, tidak menentu karena tergantung pemesanan.
"Kalau hitungannya sekitar Rp 80 ribu-Rp 90 ribu per orangnya untuk yang tukang muat. Kalau tukang gali sampai Rp 100 ribu-Rp 200 ribuan," beber dia.
Namun pendapatan dari hasil penambangan ini hanya dibagi dengan penggali batu. Tidak ada setoran lagi untuk pemilik bukit.
"Dulu ada setoran, tapi udah lama ini nggak setor-setor lagi kita," ungkapnya.
Ada pula kuli batu bernama Arif Hidayat yang menggantungkan hidup dari aktivitas penambangan batu di Bukit Kunyit.
Ia mengaku telah bekerja menjadi kuli batu sudah selama 20 tahunan.
"Sudah lama saya kerja di sini, lahir sampai setengah enam sore. Buat kebutuhan sehari-hari. Anak saya dua," beber pria 42 tahun itu.
Saat sepi pembeli dan kondisi batu yang tersedia minim, Arif hanya membawa pulang uang Rp 25 ribu.
"Ya memang setau saya nggak boleh lagi nambang di sini. Tapi mau gimana lagi, kebutuhan," ungkapnya.
Menurutnya, saat truk datang, kuli dan penambang batu mendapatkan Rp 250 ribu per truk.
Jatahnya Rp 130 ribu untuk penambang batu dan Rp 120 ribu untuk kuli angkut.
"Ya kalau satu truk datang itu dikeroyok empat orang. Uang Rp 120 ribu dibagi empat (kuli batu). Sehari bisa dapat 11 sampai 30 truk pas ramai," beber dia.
• Dispar Bandar Lampung Garap Bukit Kunyit Jadi Tempat Rekreasi Baru
Walhi Kecewa
Walhi Lampung begitu kecewa jika memang keberadaan Bukit Kunyit ini benar dihapuskan.
Direktur Walhi Lampung Irfan Tri Musri mengatakan, pemerintah patut disalahkan karena ketidakmampuannya mempertahankan keberadaan Bukit Kunyit.
"Kita kecewa kalau bukit itu sudah dihapuskan, walaupun secara fisik memang Bukit Kunyit sudah mengalami perubahan bentang alam," ungkapnya.
Berarti dinilainya pemerintah tidak ada upaya untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi lingkungan hingga ekologis di sekitar bukit tersebut.
"Apalagi kalau sampai menghapuskan keberadan Bukit Kunyit itu," tukasnya.
Menilik keberadaan gunung atau bukit lainnya, sambung dia, yang kondisinya masih cukup bagus menurutnya hanya tersisa tiga yakni Gunung Kucing, Gunung Sulah dan Bukit Banten.
"Itupun yang Gunung Kucing kondisinya juga mulai terancam. Mulai ada dibuka jalan selebar 6 meteran oleh pemiliknya untuk dibangun tempat usaha, namun mendapatkan penolakan warga sekitar," ungkap Irfan.
• Serpihan Bukit Kunyit Diperkirakan Masih Bisa Jadi Sumber Kehidupan Warga hingga Puluhan Tahun
Menurutnya terkait kepemilikan pribadi inilah yang menjadi permasalahan.
Tetapi sebenarnya pemerintah bisa mengatur fungsinya dimana setidaknya 30 persen masih alami.
"Tetap harus memperhatikan aspek-aspek lingkungan, apalagi jika kemiringan lerengnya sudah terlalu curam sebaiknya ya dibiarkan tetap alami, jangan dialihfungsikan karena berpotensi longsor," jelas dia. (Tribunlampung.co.id/Sulis Setia Markhamah)