Bupati Agung Disebut Minta 3 Mobil Mewah dari Fee Proyek di Lampung Utara

Kepala BPKAD Lampung Utara, Desyadi, mengaku pernah diminta Agung Ilmu Mangkunegara untuk membeli tiga mobil mewah.

Editor: wakos reza gautama
tribunlampung.co.id/deni saputra
Eks Kabid Bina Marga Dinas PUPR Lampura Akui Pernah Antar Fee Proyek ke Instansi Ini. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Fakta menarik terungkap dalam sidang kasus suap Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara di di Pengadilan Negeri Tipikor Tanjungkarang, Senin (6/1/2020).

Kepala BPKAD Lampung Utara, Desyadi, mengaku pernah diminta Agung Ilmu Mangkunegara untuk membeli tiga mobil mewah.

Ketiga mobil mewah itu yakni Toyota Harrier seharga Rp 750 juta, Toyota Alphard seharga Rp 1,5 miliar, dan Mercy G500 seharga Rp 650 juta.

Desyadi menjadi satu dari lima saksi yang dihadirkan untuk terdakwa penyuap Bupati Agung Ilmu Mangkunegara, Candra Safari dan Hendra Wijaya Saleh.

Keduanya diduga menyuap Bupati Agung untuk proyek-proyek di Dinas PUPR dan Perdagangan Lampung Utara.

Kepala BPKAD Lampung Utara Sebut Agung Ilmu Mangkunegara Marah saat Diminta Tunda Lelang Proyek

Eks Kabid Bina Marga Dinas PUPR Lampura Akui Pernah Antar Fee Proyek ke Instansi Ini

Berita Tribun Lampung Terpopuler Senin 6 Januari 2020 - Penemuan Bangkai Ikan Paus di Pulau Sebesi

Baru Pertama Ikan Paus Ditemukan di Perairan Pulau Sebesi, Direktur Mitra Bentala Ungkap Hal Ini

Mereka yang merupakan rekanan ini dihadirkan dalam sidang dengan agenda berbeda.

Sidang Candra beragendakan mendengarkan keterangan saksi-saksi. Ada lima saksi yang dihadirkan.

Selain Desyadi, hadir pula Kabid Cipta Karya Dinas PUPR Lampung Utara Yunanda, petugas PPTK Yurisaputra, Bendahara Dinas PUPR Enda Mukti, dan mantan Kabid Bina Marga Dinas PU 2016-2018 Lampung Utara Yulias Dwi Antara.

Sedangkan sidang Hendra untuk mendengarkan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK atas nota keberatan terdakwa.

Kembali ke cerita soal permintaan Bupati untuk dibelikan mobil mewah.

Menurut kesaksian Desyadi di persidangan, pertama di tahun 2016 ia diminta membeli mobil Toyota Harrier seharga Rp 750 juta.

Agung, ungkap Desyadi, mengatakan kepada dirinya untuk meminta uang untuk beli mobil tersebut kepada Syahbudin, Kadis PUPR Lampura.

Masih di tahun yang sama, akhir 2016, Desyadi kembali membelikan Agung mobil, kali ini merek Toyota Alphard seharga Rp 1,5 miliar.

Menurut dia, sumber dana dari Hunaidun. "Mungkin dari rekanan," katanya.

Lalu, pada tahun 2018, Agung kembali minta dibelikan mobil mewah yakni Mercy G 500.

"Saya disuruh jual mobil (Toyota Harrier) seharga Rp 650 juta, terus beli mobil Mercy. Duitnya ditambah Rp 1 miliar sama Syahbudin. Saya beli di Jakarta atas nama saya. Mobilnya sekarang sudah dijual," katanya.

Desyadi juga menyebut juga dirinya pernah mendapat titipan uang dari Wan Hendri sebesar Rp 100 juta untuk diserahkan kepada Bupati Agung.

Ia juga pernah diminta menyediakan dana Rp 1,1 miliar untuk cenderamata dalam pertemuan RT.

"Sumber dana saya minta Rp 600 juta dari Syahbudin, Rp 400 juta dari Wan Hendri, dan Rp 100 juta Afrizal," terangnya.

Titip Fee Rp 57 Miliar

Mantan Kabid Bina Marga Dinas PU 2016-2018 Lampung Utara, Yulias Dwi Antara, dalam kesaksiannya mengungkapkan pernah mendapatkan titipan fee dari rekanan sebesar Rp 57 miliar.

Fee itu untuk pekerjaan proyek senilai Rp 289 miliar pada 2017.

Titipan fee sudah diberikan sejak 2016. Namun, ia mengaku lupa berapa nilai fee yang dititipkan.

Ia berkilah hanya ingat titipan fee tahun 2017 sebesar Rp 200 juta.

Namun menurutnya, bukan dia yang mengumpulkan fee itu.

Mendengar kalimat Yulias, JPU KPK Taufiq Ibnugroho langsung membacakan BAP saksi.

"Benar? Saya bacakan BAP. Pekerjaan tahun 2017, paket proyek senilai Rp 289 miliar, ada fee Rp 57 miliar. Fee tersebut diserahkan melalui saya (saksi Yulias) dari Hendrico dan Mangkualam, benar itu?" cecar JPU Taufiq.

Mendengar ini, Yulias langsung terdiam dan tak bisa mengelak lagi.

Jaksa kemudian mencecar Yulias kemana uang fee tersebut diserahkan. Namun, saksi lagi-lagi berkilah.

Yulias justru mengatakan hal lain. Yakni, ia pernah menyerahkan uang dalam amplop untuk beberapa instansi.

Ia mengaku diajak Kepala Dinas PUPR Lampung Utara Syahbudin.

"Dari 2016 sampai 2018, ada empat kali penyerahan uang ke instansi. Tapi saya nggak tahu isinya karena sudah diamplop," kata dia.

Sekantong Kresek

Saksi lain, Kabid Cipta Karya Dinas PUPR Lampung Utara, Yunanda, juga menyatakan pernah mendapat titipan fee proyek dari sejumlah rekanan.

Khusus dari terdakwa Candra, ia mengaku pernah mendapat titipan duit sebanyak satu kantong kresek.

"Dari terdakwa ada titipan (uang fee), tapi sebelum proyek lelang, akhir tahun 2016, satu kantong kresek," beber dia. Ia juga mengaku mendapatkan titipan fee dari rekanan Yusman, Deni, Andre gendut, Septo. Penyerahan di kantornya. Kemudian uang fee diserahkan kepada Kadis PUPR Lampura Syahbudin.

Yunanda juga mengatakan, jika lelang proyek di Lampura cuma formalitas.

Sejak awal perencanaan, sudah ada daftar proyeknya. Daftar itu kemudian diserahkan kepada kadis.

Satu bulan kemudian, kadis menyerahkan daftar tersebut kepadanya sudah bersama pemenang lelangnya.

Ia juga mengatakan, jika sudah ada komitmen sejak awal dengan rekanan seperti disampaikan kadis Syahbudin kepadanya terkait setoran fee.

"Konsultan 30 persen, fisik 20 persen. Dan itu disampaikan pak Syahbudin saat awal saya di PU," katanya.

Memaksa

Saksi Bendahara Dinas PUPR Enda Mukti mengungkap fakta lain. Ia mengatakan, pencairan dana paket proyek 2017 dan 2018, masih terhutang. Kondisi itu diketahui Agung Ilmu.

Atas pembayaran yang terhutang ini, jaksa menanyakan kepada Desyadi.

Desyadi mengatakan, dirinya pernah menyampaikan kepada Bupati agar proyek yang lama dibayarkan dahulu dan yang baru dibatalkan.

"Bahkan sampai ada demo di PUPR, tapi ini (Bupati) masih saja membuat pelelangan, dan saya sampai minta dibayarkan dulu di berikutnya dan dibatalkan dulu paket proyek yang baru," tutur Desyadi.

Namun, terus Desyadi, respons Bupati agak marah.

"Katanya kalau dibatalkan marah orang-orang (rekanan) ini," timpal Desyadi cepat.

Desyadi pun melanjutkan, akibat pemaksaan lelang proyek dan kas tidak cukup, maka paket proyek anggaran 2017 baru terbayarkan Rp 105 miliar di tahun 2018.

"Masih terhutang Rp 120 miliar, tahun 2019, untuk anggaran 2017 semua sudah lunas, baru tiga paket uang belum cair, karena ada masalah administrasi bukan keuangan," beber Desyadi.

(Tribunlampung.co.id)

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved