Kisah Jenderal Polisi Martuani, Ingusan dan Cacingan Kejar Helikopter hingga Bernazar
Dulu, saya ingusan, cacingan. Tapi saya sekolah dan rajin belajar. Siapa menduga anak kampung jadi Jenderal
SDM yang berkualitas akan tercapainya tujuan polri, yaitu rasa aman, keadilan, dan pelayanan prima di masyarakat. Selain itu, memiliki prinsip bersih, transparan, akuntabel, dan Humanis.
"Amanah dan jabatan apa pun itu yang dipercayakan pimpinan, harus dijalankan dengan baik. Seperti latar belakang saya sebagai anak kampung, tentu bisa sebagai penggugah semangat, bahwa parhuta-huta (anak kampung) juga mampu berbuat yang terbaik apabila dia mau belajar dan berlatih," ujarnya kala itu kepada Tribun-Medan.com.
Lulusan Akpol 1987 dan berpengalaman dalam bidang reserse ini, lahir pada 30 Mei 1963 di Desa Lobu Sonak-Lumban Sormin, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.
Martuani Sormin yang beristerikan boru Sianturi ini memiliki tiga anak, satu laki-laki dan dua perempuan.
Dalam pemberitaan Tribun-Medan.com (2017), Martuani Sormin di masa kecilnya adalah penjual tape singkong, keripik singkong, dan Jagung rebus di Pasar Pangaribuan, Tapanuli Utara.
Martuani Sormin dan Istri boru Sianturi
Martuani Sormin kecil sepulang sekolah dari SD N 173191 Lumban Sormin sudah menjadi rutinitas membawa tanah kompos ke ladang dan sepulangnya memikul kayu bakar dari hutan Dolok Matutung (nama kawasan hutan) untuk dibawa ke rumah.
”Memikul kompos atau kayu bakar adalah keseharian kami yang sudah dianjurkan ibu,” ujar Martuani kala itu.
Martuani Sormin semasa sekolah dasar, predikat sebagai juara umum di SD Lumban Sormin selalu melekat pada dirinya. Setelah lulus dari SD pada tahun 1975 dengan predikat juara 1, Martuani melanjutkan pendidikan ke SMP N 1 Pangaribuan.
Kegiatan keseharian menjual tape singkong, memikul kompos dan kayu bakar itu tetap berlanjut untuk melanjutkan biaya sekolah. Bahkan dalam kesehariannya Martuani sering diejek kawan-kawannya kala itu. “Kasihan ya si Martuani ini, tiap hari kerja,” ujar martuani mengingat masa lalunya.
Semasa di SMP, Martuani pernah menjadi Duta Kecamatan Pangaribuan untuk lomba cerdas cepat se-Kabupaten Tapanuli Utara yang diselenggarakan di Tarutung.
Setiap hari Sabtu sore, Martuani harus menjemput ayahnya ke Desa Purbatua yang telah seminggu mengambil getah kemenyan di hutan dengan sepeda ontel.
”Ya, sepeda ontel, tiap hari Sabtu sore sepulang sekolah harus jemput bapak (Op.Patiar Doli) ke hutan Purbatua dengan sepeda ontel,” ujarnya mengingat kenangan pada ayahandanya.
Setelah lulus dari SMP pada tahun 1978, Martuani melanjutkan pendidikan SMA di Jakarta. Ia tinggal di rumah family dari saudara ibundanya yang bermarga Sianipar.
Sosok Martuani yang penyabar, ulet, telaten, dan pekerja keras dan mudah berteman sukses menyelesaikan sekolahnya selama 3 tahun di SMA Jakarta .
Lulus dari SMA, ibundanya menganjurkan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi atau langsung bekerja.
Ibundanya melarang Martuani masuk pendidikan militer karena khawatir akan keselamatan anaknya.
Namun, niat tulus untuk mengabdi untuk bangsa dan negara, akhirnya Martuani diterima di Akademi Kepolisian.
Artikel ini telah tayang di manado.tribunnews.com