Komandan Kopassus Pertama Ternyata Bule, Inilah Sosok Idjon Djanbi Komandan Kesko TT
Bule komandan Kopassus pertama bernama Rokus Bernardus Visser yang kemudian berganti nama menjadi Mochammad Idjon Djanbi.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Sosok bule asal Belanda yang menjadi komandan Kesko TT, cikal bakal pasukan elite TNI AD yang paling disegani, Kopassus.
Siapa sangka, komandan Kopassus pertama yang dulu masih bernama Kesko TT adalah seorang bule.
Bule komandan Kopassus pertama bernama Rokus Bernardus Visser yang kemudian berganti nama menjadi Mochammad Idjon Djanbi.
Tanggal 26 April selalu diperingati sebagai hari jadi Komando Pasukan Khusus atau Kopassus, bagian dari Komando Utama tempur yang dimiliki TNI Angkatan Darat Indonesia.
Awalnya, nama pasukan khusus ini bukanlah Kopassus melainkan Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (Kesko TT).
• Tembak Mati Perwira Kopassus dan Anggota TNI, Sepak Terjang Komandan KKB Papua Tandi Kogoya
• 78 Menit Mencekam, Kopassus Akhirnya Berhasil Bebaskan 347 Warga yang Disandera KKB Papua
• Cari Putra Miliarder Amerika Serikat di Papua, Prajurit Kopassus Dikepung Warga Bersenjata Tombak
• Tak Mau Ikuti Jejak Orangtua, Anak Artis Pilih Jadi Tentara dan Polisi hingga Masuk Kopassus
Yang mendirikan adalah Kolonel Alex Kawilarang yang merasa membutuhkan pasukan khusus untuk menghadapi pemberontak Republik Maluku Selatan atau RMS.
Dalam perjalanannya, Kesko TT berubah menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD) setelah diambil alih Mabes TNI.
Lantas berubah kembali menjadi RPKAD, Puspassus AD, Kopassanda lantas menjadi Kopassus hingga sekarang.
Komandan pertama Kopassus atau ketika itu bernama Kesko TT adalah Idjon Djanbi.
Idjon Djanbi adalah mantan kapten KNIL Belanda kelahiran Kanada, yang memiliki nama asli Kapten Rokus Bernardus Visser.
Ia adalah orang asli Belanda, Rokus Bernardus Visser yang kemudian berganti nama menjadi Mochammad Idjon Djanbi.
Idjon Djanbi menjadi sosok paling melegenda di dunia militer, khususnya TNI AD.
Pasalnya, ia adalah orang pertama yang mencetak para pasukan khusus di tanah air.
Kala itu, Idjon Djanbi sudah menjadi warga sipil di Indonesia.
Ia memilih pensiun dini dari posisi Pelatih Kepala di sekolah parasutis.
Padahal, kariernya tengah moncer, ia sudah diangkat jadi kapten.
Namun, ia memilih mengakhiri karier militernya dan menetap di Indonesia.
Idjon Djanbi pun harus hidup terlunta-lunta, tanpa titel militer.
Idjon Djanbi harus menanggung risiko akan kebencian warga lokal terhadap Belanda, pihak yang telah menyengsarakan bangsa Indonesia pada masa penjajahan.
Namun, ia masih tetap bisa hidup secara aman dan damai.
Awalnya, Djanbi ditunjuk menjadi instruktur di sekolah pasukan khusus Belanda di India, School Opleiding Parachutisten/SOP (sekolah paratrooper).
Sekolah ini lantas dipindahkan ke Jakarta, 1946 sebelum dipindahkan lagi ke Hollandia.
Hollandia adalah nama lama Kota Jayapura.
Djanbi mulai suka untuk tinggal di Indonesia.
Dia lantas meminta istrinya, seorang perempuan Inggris yang dia nikahi saat perang serta putra-putrinya untuk tetap tinggal di Indonesia.
Namun, istrinya menolak sehingga dia memutuskan bercerai.
Ketika dia kembali ke Indonesia tahun 1947, sekolah paratrooper itu sudah dipindahkan ke Cimahi dan Djanbi dipromosikan menjadi kapten.
Selama 1947-49, sekolah tersebut dipimpin oleh Kapten Djanbi dan terus mendidik pasukan elit Indonesia.
Kapten Djanbi lantas memilih tetap tinggal di Indonesia sebagai warga Sipil dan pindah ke Bandung, menjadi petani bunga di Pacet, Lembang.
Di sini, dia memeluk Islam, menikahi perempuan Sunda dan mengubah namanya menjadi Mochammad Idjon Djanbi.
Di tengah kehidupan rukun bersama keluarga kecilnya, tiba-tiba ada seorang utusan penting bertamu ke rumahnya, pada 1951.
Ia adalah Letnan Dua Aloysius Sugianto, dari Markas Besar Angkatan Darat.
Ia membawa mandat guna membujuk Idjon Djandi sebagai pelatih tunggal.
Idjon Djanbi diminta melatih komando di pendidikan CIC II Cilendek, Bogor.
Tak mudah bagi Sugianto bernegosiasi dengan Idjon Djanbi.
Pasalnya, Idjon Djanbi sudah nyaman atas kehidupan yang tengah dijalaninya di pedesaan.
Namun, berkat kegigihan dan kesabaran Sugianto yang rela menginap dua hari dua malam, membuat Idjon Djanbi luluh.
Alhasil, Idjon Djanbi meluncur sebagai pengajar sipi selama tiga bulan.
Tak disangka, Idjon Djanbi justru kembali masuk ke dunia militer, bukan lagi warga sipil.
Pada 1 April 1952, ia resmi diangkat menjadi mayor infanteri TNI AD.
Ia mendapatkan tugas berat untuk melatih kader perwira dan bintara sebagai pasukan khusus.
Akhirnya pada 16 April 1952, secara resmi dibentuk Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi di bawah pimpinan Mayor Inf Idjon Djanbi.
Tanggal tersebut menjadi tanggal 'keramat' sebagai hari jadi Kopassus.
Berkat Idjon Djanbi pula, kesatuan ini mengenakan baret merah dan bukannya baret hijau, warna tradisional yang digunakan pasukan khusus di Eropa.
Tentu, ditunjuknya Idjon Djanbi ini bukan keputusan asal-asalan.
Pasalnya, rekam jejak Idjon Djanbi tak bisa dianggap remeh. Sepak terjangnya di dunia militer sebelumnya, tak main-main.
Ia pernah menempuh pendidikan komando di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin, dan tak berpenghuni.
Beragam pelatihan pun digelutinya, seperti berkelahi, menembak dari persembunyian, berkelahi dalam tangan kosong, dan membunuh tanpa senjata.
Idjon Djanbi pun mendapatkan baret hijau dari atau brivet Glinder.
Sementara itu, ia pun pernah menyandang baret merah ketika menjadi pasukan komando Kerajaan Inggris legendarais, Special Air Service.
Selain itu, ia bahkan mengikuti sekolah perwira dan mendapatkan lisensi penerbang PPL-I dan PPL-II.
Melihat perjalanan karirnya ini, tak heran ia dipercaya membentuk pasukan secara perdana di Indonesia.
Namun, hal itu tak berlangsung lama. TNI AD menginginkan komandan orang asli Indonesia.
Akhirnya Idjon Djanbi pun dipindahkan ke posisi yang tak terlibat dengan pelatihan komando, yakni menjadi koordinator staf pendidikan di Inspektorat Pendidikan dan Latihan.
Namun, ia pada akhirnya meminta pensiun dini. Idjon Djanbi pun mendapatkan penghargaan berupa jabatan untuk menjadi kepala perkebunan milik pihak asing yang sudah dinasionalisasikan.
Kemudian, ia pun memilih menjadi pengusaha di bidang wisata.
Idjon Djanbi terjun pada bisnis penyewalaan bungalow di kawasan Kaliurang, Yogyakarta.
Menjalani masa tua sambil berbisnis, Idjon Djanbi pun sempat terkapar di rumah sakit.
Setelah operasi usus buntu, usu besarnya malah bermasalah sehingga ia meninggal, pada 1 April 1977, di Yogyakarta.
Namun, hari kematiannya tak mendapatkan perhatian khusus.
Jenazahnya disemayamkan tanpa upacara pemakaman secara militer.
Hal ini disebabkan kematiannya di Yogyakarta, membuat pihak berwenang alpa.
Alhasil, Bapak Kopassus Indonesia ini diantar ke liang lahat, tanpa adanya tembakan salvo, khas pemakaman bergaya militer.
Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id dengan judul Mengenal Idjon Djanbi, Komandan Pertama Pasukan Khusus Angkatan Darat atau Kopassus, https://jabar.tribunnews.com/2020/04/16/mengenal-idjon-djanbi-komandan-pertama-pasukan-khusus-angkatan-darat-atau-kopassus?page=all.