Berita Nasional

Cara Polisi Tembak Mati Tersangka Dikritik Keras, Erasmus: Pakai Senjata Api Bukan untuk Mematikan

Penggunaan senjata api oleh polisi, kata dia, merupakan upaya terakhir yang bertujuan menghentikan pelaku kejahatan, bukan mematikan.

Editor: wakos reza gautama
grafis tribunlampung.co.id/dodi kurniawan
Ilustrasi 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Langkah aparat kepolisian menembak mati para tersangka kejahatan mendapat kritik keras dari Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu.

Bagi Erasmus, polisi tak boleh menembak tersangka kejahatan dengan tujuan mematikan. 

Menurutnya, polisi boleh menembak dalam keadaan tertentu dengan tujuan menghentikan aksi kejahatan si pelaku. 

Karena itu Erasmus meminta aparat kepolisian tidak menempatkan upaya tembak mati sebagai prioritas terhadap pelaku kejahatan. 

Penggunaan senjata api, kata dia, merupakan upaya terakhir yang bertujuan menghentikan pelaku kejahatan, bukan mematikan.

BREAKING NEWS Baku Tembak di Langkapura, Polisi Tembak Mati Pelaku Curanmor asal Jabung

Begal Sadis yang Viral Akhirnya Ditembak Mati Polisi

Bandara Bakal Ditutup, Calon Penumpang Buru-buru Beli Tiket Pesawat Manfaatkan Masa Transisi

Warga Sambut Antusias Kepulangan Perawat yang Sembuh dari Corona

Menurut dia, aparat harus mematuhi peraturan penggunaan kekuatan serta berhati-hati menindak tersangka atau pelaku kejahatan di lapangan agar tidak terjadi penggunaan senjata api yang berlebihan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

“Kami mengingatkan aparat tidak mengesampingkan peraturan penggunaan kekuatan oleh kepolisian khususnya dalam menangani kejahatan jalanan termasuk yang diduga dilakukan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP,-red) asimiliasi/integrasi,” kata Erasmus, Jumat (24/4/2020).

Dia menjelaskan, tembak mati pelaku kejahatan merupakan extrajudicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan yang pada prinsipnya pelanggaran serius terhadap hak-hak tersangka atau orang-orang diduga melakukan tindak pidana yang dijamin peraturan perundang-undangan.

Setiap pelaku kejahatan atau tersangka, kata dia, termasuk yang statusnya residivis pun memiliki hak untuk dapat diadili secara adil dan berimbang serta menyampaikan pembelaan atas perbuatan yang dituduhkan terhadapnya.

“Namun hak-hak tersebut menjadi tidak dapat berikan jika sebelum diajukan ke persidangan mereka telah meninggal dunia karena ditembak mati, sehingga perkaranya pun menjadi gugur,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, penggunaan senjata api merupakan upaya paling akhir atau last resort yang hanya dapat diterapkan untuk keadaan-keadaan tertentu yang tujuannya pun juga bukan untuk menghilangkan nyawa si pelaku kejahatan.

Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (Perkap 1/2009) telah menjabarkan situasi-situasi di mana aparat kepolisian diperbolehkan untuk menggunakan senjata api.

Sehingga menurut ICJR, dalam konteks menghadapi WBP asimilasi/integrasi yang diduga kembali melakukan tindak pidana, aparat kepolisian perlu memahami bahwa menindak tegas bukan berarti menembak mati.

“Aparat harus dapat memegang teguh prinsip penggunaan senjata api yang merupakan upaya terakhir atau last resort yang tujuannya adalah untuk menghentikan pelaku yang sedang berbuat kejahatan, bukan untuk mematikan,” kata dia.

Seharusnya, dia melanjutkan, DPR mempunyai fungsi pengawasan terhadap kerja-kerja pemerintah.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved