Berita Nasional
Benarkah Putusan MA Bisa Batalkan Jokowi-Ma'ruf? Simak Penjelasan Refly Harun
pakar hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, tidak mungkin MA membuat putusan yang membatalkan hasil pemilu
Penulis: Wakos Reza Gautama | Editor: wakos reza gautama
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun memberikan pendapat mengenai putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019.
Dalam putusannya, MA membatalkan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Pasal 3 ayat (7) PKPU itu berbunyi "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih."
Berikut putusan lengkap MA
1. Mengabulkan permohonan pengujian hak uji materiil dari Para Pemohon: 1. RACHMAWATI SOEKARNOPUTRI, 2. ASRIL HAMZAH TANJUNG, 3. DAHLIA, 4. RISTIYANTO, 5. MUHAMMAD SYAMSUL, 6. PUTUT TRIYADI WIBOWO, 6.EKO SANTJOJO, 7. HASBIL MUSTAQIM LUBIS untuk sebagian;
2. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;
• Penjelasan Yusril Ihza Mahendra Terkait Putusan MA Mengenai Pilpres 2019
3. Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Menyatakan Permohonan Para Pemohon untuk selebihnya tidak diterima;
5. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara;
6. Menghukum Termohon membayar biaya perkara sejumlah Rp 1.000.000,00;
Pendapat Refly Harun
Menanggapi putusan MA ini, pakar hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, tidak mungkin MA membuat putusan yang membatalkan hasil pemilu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam YouTube Refly Harun berjudul "MA BATALKAN KEMENANGAN JOKOWI-MA'RUF AMIN??? INI PENJELASANNYA!" menurutnya, bukan kewenangan MA membatalkan hasil pemilu.
MA berwenang uji materi terhadap Peraturan KPU.
"Nah peraturan KPU itulah yang dibatalkan," kata Refly.
Refly pun membeberkan pangkal masalah putusan ini.
Ia membacakan UUD 1945 pasal 6A ayat 1
"Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat."
Pasal 6A ayat 2
"Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum."
Pasal 6A ayat 3
"Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemillu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden".
Menurut Refly, pasangan calon presiden harus mendapatkan suara 50 persen plus 1 dan suara yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia.
"kalau jumlah provinsi di Indonesia 34, maka persebarannya harus di minimal di 18 provinsi. Minimal 20 persen kemenangan di provinsi tersebut. Jadi itulah treshold sesungguhnya di dalam pilpres," ujar Refly Harun.
Lalu pertanyaan selanjutnya bagaimana jika tidak ada yang mencapai suara 50 persen plus satu dan persebaran suara di provinsi?
Jawabannya kata Refly Harun ada di pasal 6A ayat 4 yang berbunyi
"Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden"
"Siapapun yang terbanyak dari 2 besar terakhir maka dialah yang akan terpilih tanpa memperhitungkan lagi persebaran karena kalau kita memperhitungkan persebaran bisa tidak selesai-selesai pemilunya atau pilpresnya," ujar Refly Harun.
Di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, kata Refly Harun, normanya ditambah.
"Seandainya yang teratas tiga pasangan, maka yang dicari dua pasangan teratas tetapi mereka yang persebarannya lebih banyak secara bertingkat," ucap dia.
"Intinya kalau tidak mencapai 50 persen plus satu dan tidak ada persebaran di 20 persen di lebih dari separuh jumlah provinsi maka diadakan putaran kedua," tutur Refly Harun.
Menurut Refly Harun yang menjadi polemik adalah ketika hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden seperti pilpres 2014 dan pilpres 2019.
Tahun 2014 ada judicial review terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 yang menjadi landasan pilpres 2009 dan 2014.
Karena hanya ada dua pasangan calon, ada yang mengajukan judicial review ke MK.
MK memutuskan siapa yang memperoleh suara terbanyak tanpa mempertimbangkan persebaran maka dia terpilih kaarena cuma ada dua calon.
"MK memutuskan demikian sebagai interpretasi norma pasal 6A UUD 1945," ujar Refly Harun.
Rupanya, lanjut Refly Harun, norma ini tidak dimasukkan ke dalam UU 7 tahun 2017 yang menjadi landasan pilpres 2019.
Faktanya di pilpres 2019, dua calon lagi terulang.
"Maka kemudian untuk mengantisipasi apakah pakai persebaran atau tidak, KPU membuat norma itu di dalam PKPU (pasal 3 ayat (7)) yang kemudian dijudicial review (oleh Rachmawati Soekarnoputri," ujar Refly Harun.
Rachmawati mengajukan judicial review pada Mei 2019 sebelum sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).
Lima bulan kemudian pada 28 Oktober 2019, MA memutuskan membatalkan norma pasal 3 ayat 7 PKPU Nomor 5 Tahun 2019.
MA membatalkan norma tersebut karena tidak terdapat dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menjadi landasan pembentukan PKPU tersebut.
Padahal KPU membuat norma itu berlandaskan pada putusan MK dalam konteks pilpres 2014.
"Jadi tidak salah sesungguhnya KPU. Namun karena ini dibatalkan yang jadi persoalan norma ini tidak bisa dipakai lagi. Karena putusannya itu baru dibacakan 28 Oktober 2019 sementara pelantikan presiden saja 20 Oktober 2019 lalu putusan MK Juni dan pilpres 17 April, maka putusan ini tidak punya efek apa-apa ke belakang. Dia tidak akan berpengaruh apa-apa," jelas Refly Harun.
Kalaupun patut disesalkan, tutur Refly Harun, mengapa diputuskan setelah putusan MK selesai.
Harusnya, menurut dia, untuk hal-hal seperti ini diputuskan sebelum tanggal 17 April 2019 agar ada kepastian.
"Hanya persoalannya permohonan (judicial review Rachmawati) baru diajukan bulan Mei," ujar Refly Harun.
Menurut Refly Harun, dalam prinsip pemilu, regulasi pemilu harus solid.
"Jadi pertandingan itu dilandaskan peraturan yang solid. Jadi peraturan sudah dibuat dulu baru kemudian orang bertanding. Jangan ada perubahan peraturan di tengah jalan. Jadi judicial review itu merubah peraturan di tengah jalan sesungguhnya," bebernya.
Bagi Refly Harun, putusan MA tidak ada pengaruhnya terhadap pasangan Jokowi-Ma'ruf baik secara faktual maupun teoritis.
Secara faktual, kata Refly Harun, kemenangan Jokowi-Ma'ruf lebih dari 50 persen plus 1 yaitu 55 persen.
Persebarannya pun, terang Refly, tidak hanya di 18 provinsi tapi di semua provinsi bahkan menang di 21 provinsi.
"Artinya di 21 provinsi Jokowi-Maruf mendapatkan 50 persen plus 1 minimal. jadi sudah jauh melampaui persyaratan persebaran," ucapnya.
Jika pun putusan MA ini diberlakukan saat pilpres 2019, maka menurut Refly Harun, tidak akan berpengaruh terhadap kemenangan Jokowi-Ma'ruf.
Kata Refly Harun, putusan MA berlaku prospektif ke depan.
Ini penting bagi KPU dalam menyelenggarakan pilpres 2024 seandainya materi putusan MA tidak juga dimasukkan ke dalam UU pemilu untuk pelaksanaan pemilu 2024.
Refly mengkritik putusan MA ini.
Menurut nya, Ma memutuskan sesuatu yang sudah diputuskan MK.
MK pernah memutuskan hal ini dalam konteks judicial review UU 42 tahun 2008 yang menjadi alas pelaksanaan pilpres 2009 dan 2014.
"Tapi sesungguhnya materi (putusan MK) itu adalah tafsir pasal 6A UUD 1945. Jadi sudah mengikat. Sesungguhnya apa yang dilakukan KPU hanyalah menormakan apa yang sudah diputuskan MK yang lupa dinormakan di dalam UU 7 Tahun 2017," jelas Refly Harun.
Dengan adanya putusan MA ini, maka kata Refly Harun ada dua tafsir.
Pertama tafsir MK yang menyatakan jika hanya ada dua calon presiden wakil presiden saja, maka pemenangnya adalah siapa yang mendapatkan suara terbanyak.
Tafsir kedua adalah tafsir MA yang menyatakan apa yang dilakukan KPU tidak ada landasan baik cantolan ke UU dan konstitusi.
"Ini yang kadang-kadang putusan pengadilan saling silang," ujar Refly Harun.
(Tribunlampung.co.id)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/lampung/foto/bank/originals/refly-harun-beri-penjelasan-putusan-ma-terkait-pilpres-2019.jpg)