Cerita Jenderal Polisi Hoegeng yang Rajin Bikin Catatan Harian

Cerita Mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang rajin buat catatan harian. Jenderal Polisi Hoegeng lolos dari fitnah.

Dok. KOMPAS/Istimewa
Ilustrasi Mantan Kapolri Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Pada 16 tahun lalu, tepatnya 14 Juli 2004, Mantan Kapolri Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso tutup usia.

Jenderal Polisi Hoegeng wafat pada usia 83 tahun.

Hoegeng Iman Santoso dikenal luas sebagai pejabat yang tegas, jujur, dan berintegritas.

Melansir pemberitaan Harian Kompas, 1 September 2006, dalam sebuah diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (31/8/2006), Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengungkapkan lelucon yang mengenang integritas Hoegeng.

Kala itu, Gus Dur melontarkan lelucon di sela menyinggung pemberantasan korupsi.

Gus Dur mengungkapkan, di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang baik.

Kisah Jenderal Polisi Hoegeng, Keluarkan Perabot di Rumah Dinas karena Tak Mau Terima Suap

Tak Tahu Anak Perempuannya Dinikahkan, Ibu Kandung Lapor Polisi di Jawa Timur

Kakak Adik Tewas Berpelukan di Kamar, Ibunya Berusaha Menyelamatkan Akhirnya Meninggal

2 Perampok Berseragam TNI Ratusan Kali Jarah Rumah, Identitasnya Terkuak

Tiga polisi itu, pertama, mantan Kapolri, almarhum Jenderal Hoegeng Iman Santoso.

TONTON JUGA:

Kedua, patung polisi dan ketiga adalah polisi tidur.

Selain dituturkan Gus Dur, teladan kejujuran Jenderal Polisi Hoegeng juga banyak diceritakan kerabat dan koleganya.

Dilansir dari buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan karya Suhartono (2013), Hoegeng ternyata juga merupakan sosok yang rajin dan teliti menuliskan jurnal harian.

Ia terbiasa menuliskan pengalaman sehari-hari dalam sebuah buku berukuran besar.

Pengalaman-pengalaman itu ditulis menggunakan tulisan tangan Hoegeng sendiri, lengkap dengan tanggal kejadian.

Tak hanya pengalaman baik-baik saja yang ditulis, peristiwa buruk juga diabadikan dalam catatan itu.

Suatu hari, catatan-catatan Jenderal Polisi Hoegeng itulah yang menyelamatkannya dari fitnah seorang rekannya di kepolisian.

Sebagaimana dituturkan Suhartono, Hoegeng pernah dipanggil Presiden Soekarno.

Ilustrasi Hoegeng Iman Santoso bersama istri tercinta, Merry Roeslani.
Ilustrasi Hoegeng Iman Santoso bersama istri tercinta, Merry Roeslani. (Kompas.com/Repro)

Saat itu, Presiden ingin menanyakan kebenaran kabar yang menyebut Hoegeng ingin menggulingkan atasannya saat itu, yakni Soetjipto Joedodihardjo.

Saat itu, Soetjipto menjabat sebagai Kapolri sekaligus Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak).

Ketika ditanya langsung oleh Presiden, Hoegeng terkejut lantas bertanya,"Siapa yang bilang?"

Presiden Soekarno lantas menyebut satu nama.

Hoegeng lalu minta agar dirinya dikonfrontasi dengan orang tersebut.

Presiden setuju dan menjadwalkan pertemuan dengan orang yang bersangkutan untuk mengkonfrontasi tuduhan itu.

Saat dikonfrontasi dengan orang tersebut, Hoegeng tidak lupa membawa buku besar yang menjadi catatan hariannya.

Di hadapan Presiden, Hoegeng membenarkan bahwa dirinya memang didatangi oleh orang yang bersangkutan di kantor dan di rumahnya.

Secara rinci, Hoegeng menyebutkan tanggal dan pertemuannya, serta isi detail pembicaraannya.

Hoegeng juga membeberkan jawabannya setelah diajak orang yang bersangkutan untuk menggulingkan Menteri/Pangak Jenderal Pol Soetjipto.

"Dalam pertemuan itu, Hoegeng memang diajak untuk ikut menggulingkan Menpagak. Namun, di catatan buku itu, Hoegeng menyatakan tak bersedia ikut mendongkel Menteri/Pangak. Selama Pak Tjipto adalah atasan Hoegeng, Hoegeng tidak mau mendongkelnya. Apapun alasannya," tegas Hoegeng.

"Jadi jangan memutarbalikkan fakta begitu Mas, Wong sampeyan sendiri yang mengajak untuk mendongkel Pak Tjipto, mengapa Hoegeng yang kemudian dituduh?" jelas Hoegeng sambil membacakan dan menunjukkan catatan Kepada Presiden dan orang yang bersangkutan.

Di catatan itu, Hoegeng menunjukkan orang tersebut dua kali dan ke rumahnya saat mengajak Hoegeng untuk ikut menumbangkan Soetjipto.

Namun, Hoegeng tetap tidak bisa dibujuk untuk merebut jabatan orang lain tanpa hak dan mengorbankan orang lain.

Akhirnya, Presiden bertanya kepada orang yang bersangkutan.

"Apakah yang diceritakan Hoegeng itu benar?" tanya Soekarno.

Polisi itu lalu menjawab, "Inggih Kasinggian (ya betul)."

Hoegeng kemudian meminta orang yang bersangkutan untuk tidak lagi memutarbalikkan fakta.

Presiden Soekarno menegurnya dan menganggap persoalannya selesai.

Dengan alasan tidak mau mempermalukan pihak lain, pihak yang mengetahui cerita ini sengaja tidak mau menyebutkan siapa orang yang dimaksud Hoegeng, yang telah mencoba memfitnahnya lewat Presiden Soekarno itu.

Sejarah kemudian mencatat, seusai jabatan Soetjipto Joedodihardjo sebgai Kapolri berakhir, Hoegeng ditunjuk untuk menggantikan.

Jenderal Hoegeng Iman Santoso menjadi Kapolri ke-5 sejak 1968 hingga 1971.

Masih dituturkan Suhartono, seorang anak Jenderal Polisi Hoegeng yang bernama Didit mengatakan, buku besar yang ditulis ayahnya sering dibacakan untuk anak-anaknya.

"Dengan demikian kita bisa belajar dan memahami apa yang sudah kita lakukan dan kerjakan setiap saat. Itu ajaran Papi," kata Didit.

Sayangnya, buku besar itu tak bisa diselamatkan.

Buku-buku tersebut kehujanan dan akhirnya rusak saat Hoegeng pindah rumah dari Jalan Madura, Menteng, menuju rumahnya di Depok, Jawa Barat.

Integritas Jenderal Polisi Hoegeng

Jenderal Polisi Hoegeng meninggal dunia setelah berjuang melawan stroke yang sudah lama dideritanya.

Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur menjadi tempat polisi yang dikenal jujur dan sederhana itu menutup mata.

Jenderal Hoegeng merupakan sosok yang dikenal karena integritasnya.

Karakternya yang tegas dan teguh menjaga kehormatan ini juga terukir berkat guyonan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Dalam sebuah diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Gus Dur mengatakan, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng.

Baru-baru ini, guyonan Gus Dur itu kembali ramai dibicarakan setelah ada netizen yang sempat diperiksa polisi karena menulis pernyataan Gus Dur itu di akun media sosialnya.

Mengutip Harian Kompas, Gus Dur saat itu sedang menyinggung upaya pemberantasan korupsi pasca-Reformasi 1998.

Apalagi, Polri menjadi salah satu institusi yang diharapkan segera berbenah untuk menghadirkan citra yang lebih baik di masyarakat.

Lalu, seperti apa sosok Hoegeng Iman Santoso hingga begitu membekas dalam benak seorang Gus Dur?

Sepenggal kisah kejujuran Jenderal Hoegeng ditulis dengan baik oleh sejarawan Asvi Warman Adam di Harian Kompas pada 1 Juli 2004, tepat saat Hari Bhayangkara.

Asvi menulis, integritas Jenderal Hoegeng didapat sebagai bentuk penghormatan untuk sang ayah, yaitu Sukario Hatmodjo, kepala kejaksaan di Pekalongan.

Hoegeng yang memiliki nama lahir Iman Santoso ini mengagumi sang ayah, yang bersama dua rekannya menjadi trio penegak hukum di kota itu.

Dua orang lainnya adalah kepala polisi Ating Natadikusumah dan ketua pengadilan Soeprapto.

Secara khusus, Hoegeng kecil, yang kerap dipanggil bugel (gemuk), dan lama-kelamaan berubah menjadi "bugeng" hingga menjadi "hugeng", mengagumi Ating yang gagah dan suka menolong orang.

Kekaguman itu membawa Hoegeng menjadi polisi.

Setelah lulus PTIK pada 1952, ia ditempatkan di Jawa Timur.

Namun, integritasnya diuji saat menjadi kepala reskrim di Sumatera Utara.

Saat itu, Hoegeng menolak rumah pribadi dan mobil yang disediakan cukong judi.

Hoegeng memilih tinggal di hotel hingga kemudian dia mendapat rumah dinas.

Setelah mendapat rumah dinas, dia juga menolak rumah itu diisi dengan segala macam perabot pemberian orang, yang dianggapnya sebagai bentuk suap.

Saat pemberi perabot itu tidak mau menerima pengembalian barang itu, Hoegeng tetap mengeluarkannya dari rumah dinas dan menaruhnya di pinggir jalan.

Seusai bertugas di Medan, dia ditempatkan di Jakarta.

Untuk sementara, perwira polisi itu bahkan rela tinggal di garasi rumah mertuanya di Menteng.

Dicopot Soeharto

Berbagai jabatan kemudian dipercayakan kepadanya, hingga akhirnya dia dipercaya sebagai Kapolri periode 1968-1971, di masa-masa awal Pemerintahan Presiden Soeharto.

Menurut Asvi, dalam tulisannya, sejumlah kasus besar terjadi di masa kepemimpinannya.

Kasus yang menarik perhatian publik antara lain pemerkosaan Sum Kuning, yang diduga melibatkan anak pejabat, penyelundup Robby Tjahyadi yang di-backing pejabat, dan tewasnya mahasiswa ITB Rene Coenrad oleh taruna Akpol.

Jenderal Hoegeng digambarkan begitu bersikeras untuk menuntaskan kasus-kasus itu.

Namun, dalam tulisan Asvi Warman Adam, keuletan itu membuat dia kemudian diberhentikan oleh Soeharto sebagai Kapolri.

Dalam buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan (2013) yang ditulis Suhartono, bahkan disebutkan bahwa Hoegeng sempat ingin melapor kepada Presiden Soeharto terkait penangkapan Robby Tjahyadi.

Namun, alangkah kagetnya Hoegeng saat melihat orang yang akan ditangkap itu, sudah lebih dulu berada di Jalan Cendana, kediaman Soeharto.

"Dengan segala pertimbangan, saya akhirnya balik badan dan tidak jadi melapor ke Presiden," tutur Hoegeng.

Soeharto mengganti Hoegeng dengan alasan butuh penyegaran di tubuh kepolisian.

Tetapi, fakta yang terjadi adalah Jenderal Polisi Mohamad Hasan yang ditunjuk Soeharto sebagai Kapolri saat itu berusia 53 tahun, ketika Hoegeng masih  berusia 49 tahun.

Meski tidak memiliki jabatan, Hoegeng tetap menjadi figur yang dihormati masyarakat.

Dia juga kritis terhadap pemerintahan, terutama saat tergabung dalam kelompok Petisi 50.

Lalu, apa yang membuat Jenderal Hoegeng dikenal sebagai tokoh yang bersih dan antikorupsi?

Salah satunya adalah pendirian yang ditanamkan oleh ayahnya mengenai nama baik dan kehormatan: "Yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan."

Ayah Hoegeng tidak sekadar memberi nasihat, tetapi bersama para sahabat ayahnya memberi teladan.

Ayahnya seorang birokrat Belanda yang sampai akhir hayatnya tidak sempat punya tanah dan rumah pribadi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Cerita Jenderal Hoegeng Lolos dari Fitnah Berkat Catatan Harian.

TONTON JUGA:

Mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso tutup usia pada 14 Juli 2004. Hingga kini, Jenderal Polisi Hoegeng dikenal luas sebagai pejabat yang tegas, jujur, dan berintegritas. (Kompas.com)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved