Universitas Lampung
Peneliti Universitas Lampung Ciptakan Tsunami Early Warning System Berbasis Masyarakat
Tim dosen yang tergabung dalam Krakatau Research Centre Fakultas Teknik (FT) Universitas Lampung (Unila) menciptakan sebuah sistem peringatan dini ts
Penulis: Advertorial Tribun Lampung | Editor: Advertorial Tribun Lampung
Ardian mengaku, terkendala dana untuk membuat lebih banyak PUMMA. Untuk pengembangan satu PUMMA membutuhkan biaya sekitar Rp25 juta di luar instalasi radio microwave dan internet. Ke depan, dia bersama tim akan mengupayakan kerja sama dengan pihak ketiga.
Awareness terhadap Bencana Tsunami
Ardian menceritakan, pembuatan U-TEWS PUMMA ini berawal dari kunjungan Profesor Wolfgang P. Buerner, seorang profesor dari University of Illinois at Chicago ke Unila pada Juni 2013 lalu. Profesor yang merupakan ahli sensor itu telah melakukan mapping sumber daya alam Indonesia menggunakan sensor elektromagnetik yang dipasang di satelit.
“Salah satu yang dia tekankan kepada saya adalah potensi bencana yang mungkin terjadi karena erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK). Dari mapping mereka ditemukan kawah GAK itu sepanjang 22 kilometer dan bersifat aktif. Kalau ditarik garis 22 kilometer maka hampir mendekati daratan pesisir Lampung Selatan, teluk Lampung itu semua,” katanya.
Menurut Ardian, sebelum pulang, profesor tersebut berpesan, kalian yang punya negeri ini, harusnya peduli dengan potensi ini. Potensi ekonominya besar, mineralnya besar, tapi potensi bencananya juga besar. “Diprediksi sekitar 20–30 tahun lagi GAK akan erupsi besar,” ujar Ardian mengutip pesan sang profesor.
Peristiwa itu menggugah kepedulian beberapa dosen di Fakultas Teknik yang kemudian menginisiasi berdirinya Krakatau Research Centre pada Mei 2018. Sebagai sebuah kelompok riset yang terbuka, KRC diinisiasi agar para dosen/peneliti yang mempunyai ketertarikan terhadap Krakatau dapat bersinergi dalam bidangnya masing-masing.
Koordinasi diperlukan agar tercipta bentuk-bentuk kegiatan riset dan pengabdian masyarakat berkelanjutan sekaligus untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kegiatan.
“Krakatau dengan semua potensi keekonomian sekaligus bencana yang ada padanya berada di halaman Unila. Maka sudah sepantasnyalah sivitas akademika Unila yang paling mengetahui dan menguasai seluk beluk Krakatau dari semua aspek”. Iniasiasi KRC hingga kini terus berkembang dengan keanggotaan para dosen/peneliti lintas disiplin ilmu.
Pada 21 Desember 2018, Unila melalui Krakatau Research Center dan UPT Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi mengundang Kepala LIPI Dr. Laksana Tri Handoko, M.Sc., menjadi pembicara utama (keynote speaker) dalam acara simposium tentang Revolusi Industri 4.0, Mitigasi Kebencanaan dan Sinergi antara LIPI dan Unila.
Kegiatan simposium ini adalah tindak lanjut dari MoU antara Unila dan LIPI yang diratifikasi pada 3 November 2018 . Melalui kerja sama tersebut, tim peneliti Unila dapat bekerja sama terkait riset-riset kebencanaan, khususnya Krakatau, dengan peneliti LIPI, dan memiliki kesempatan untuk menggunakan fasilitasi riset yang ada di LIPI.
“Sehari setelah kegiatan simposium tersebut, tepatnya pada Sabtu malam, tanggal 22 Desember 2018, kepundan Gunung Anak Krakatau runtuh (colaps) dan mengakibatkan tsunami Selat Sunda yang meluluhlantakkan sebagian pesisir Lampung dan Banten. Pada tanggal 24-nya, tim URO/KRC Unila yang dipimpin Mona Arif Muda Batubara (Dosen Teknik Informatika) langsung turun ke lokasi melakukan mapping dampak tsunami mulai dari Sebalang, seluruh pesisir, sampai ke Bakauheni. Kita yang pertama kali punya data foto udara daerah terdampak tsunami,” kata Ardian.
Peristiwa ini semakin menguatkan tekad tim untuk benar-benar fokus membuat sistem perangkat peringatan dini bencana tsunami bagi masyarakat pesisir Lampung. Sebab tsumani ternyata tidak hanya disebabkan oleh erupsi/letusan GAK, tapi akibat runtuhnya kepundan GAK.
Pada 2019, tim peneliti Krakatau Research Centre semakin intensif membuat perangkat ukur muka air laut karena area ini yang paling mudah mendeteksi ada tidaknya tsunami.
Mereka juga bekerja sama dengan Pusat Riset Kelauatan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI untuk mengembangkan alat ukur tinggi muka air laut dan akhirnya tercipta Unila Tsunami Early Warning System (U-TEWS) berbasis PUMMA ini.(*)