UM Metro

Mukhtar Hadi BPH UM Metro Jelaskan Beragama yang Memudahkan dan Menggembirakan

Riuh rendah pandemi covid-19 ternyata bukan hanya soal dampak wabah itu terhadap kesehatan dan ekonomi tetapi juga menyentuh aspek keagamaan.

ist
Dr.Mukhtar Hadi, M.Si. (Anggota BPH UM Metro) 

Mari kita lihat peristiwa yang dijelaskan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang seseorang yang tergopoh-gopoh setengah agak malu menghadap Rasulullah dan mengakui kesalahannya karena telah menggauli istrinya di siang hari di bulan Ramadhan.

“Celakah saya Ya Rasul, karena saya telah menggauli istriku di siang hari di bulan Ramadhan” Maka Rasulullah SAW memberikan pilihan kaffarat (hukuman) kepadanya tiga hal. Yang pertama Rasul memerintahkannya untuk memerdekakan seorang hamba sahaya.

Maka orang itupun mengatakan bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk memerdekakan seorang hamba sahaya.

Rasulullah tersenyum. Maka diperintahkannya orang itu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut, lalu ia menjawab bahwa ia orang yang lemah dalam agama, jangankan puasa dua bulan, puasa satu bulan saja ia telah melakukan pelanggaran. “Saya tidak sanggup ya Rasul”, katanya. 

Lagi-lagi Rasulullah tersenyum saja dan Beliau tidak marah. “Kalau begitu kamu harus memberi makan fakir miskin sejumlah 60 orang”, kata Rasul. Orang itu mengatakan, “Bagaimana mungkin saya memberikan makan kepada 60 fakir miskin, saya sendiri susah mendapatkan makan untuk diri sendiri dan keluarga saya”. Rasulullah tersenyum, dan Beliau juga tidak marah.

Lalu rasul memberikan sekeranjang kurma untuk orang tersebut seraya berkata “ Kalau begitu bawalah kurma ini dan berikan kepada orang yang paling miskin di sekitar tempat tinggalmu”, orang itu menjawab dengan agak tersipu, “Ya Rasulullah tidak ada orang yang lebih miskin dariku di tempat tinggalku”.

Mendengar jawaban yang ketiga ini Rasulullah pun tersenyum agak terbahak, lalu Beliau perintahkan orang itu untuk pulang dan membawa sekeranjang kurma itu untuk diberikan kepada keluarganya. Orang itupun pulang dengan sukacita dan berurai air mata karena ternyata ia bisa mendapatkan maaf atas segala kesalahan sekaligus mendapat limpahan cinta dari orang yang sangat dihormatinya.

Riwayat di atas menggambarkan betapa Rasulullah SAW sendiri mencontohkan sikap wisdom (bijak) dan tidak mudah menghakimi seseorang walapun orang itu secara terang-terangan melakukan pelanggaran terhadap syariat agama Islam.

Bayangkan, jika seandainya Rasulullah tidak bersikap bijak dan bersikap sebaliknya yaitu menetapkan bahwa ia telah melakukan perbuatan dosa besar yang tidak termaafkan karena tidak bisa membayar kaffarat.

Boleh jadi orang itu akan bersedih hati sepanjang hidupnya dan merasa hidupnya tidak berarti di hadapan Allah SWT. Atau bisa jadi sebaliknya, akan meninggalkan agama yang diyakininya karena agamanya membuat dia semakin berat dan tertekan serta merasa dosanya tidak termaafkan. Dia akan lari dari agamanya karena ia menilai Tuhanya adalah Tuhan yang kejam yang tidak memiliki sifat pengasih dan pemaaf.

Begitulah Rasulullah mencontohkan dalam mengajarkan agama. Tidak saklek, tidak hitam putih, dan tidak melulu soal halal haram. Ini tidak seperti yang banyak dilakukan oleh beberapa pendakwah belakangan ini yang mengajarkan agama seolah-olah agama itu methenteng terus, kalau tidak begini ya begitu, kalau tidak surga ya neraka, kalau tidak halal ya haram.

Wajar jika kemudian efeknya tidak selalu seperti yang diharapkan. Ada memang yang kemudian menjadi lebih baik dan taat, namun karena selalu dibekali dengan cara berfikir hitam putih, ia menjadi kurang toleran terhadap segala perbedaan. Tidak sedikit pula yang justru lari dan meninggalkan agama karena ia merasa beragama menjadi terasa semakin berat, membebani dan tidak menggembirakan.

Allah Memudahkan dan Tidak Menghendaki Kesukaran

Sesungguhnya Allah SWT tidak menghendaki kesukaran bagi manusia. Allah memberikan banyak kemudahan, karena itu ambilah kemudahan-kemudahan itu dan hindari kesukaran-kesukarannya.

Dalam kasus kebijakan pembatasan peribadatan di masa pandemi misalnya  bukan berarti kewajiban peribadatannya yang dilarang, kewajibannya tidak gugur karena pandemi, namun jangan sampai peribadatan yang dilakukan itu justru melahirkan kesusahan yang lebih besar yaitu rusaknya dan hilangnya nyawa manusia. Dalam firman Allah di ayat yang lain Allah juga mengingatkan agar manusia jangan sampai menjerumuskan diri di dalam kebinasaan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved