Lampung Timur
Ingat Anak Cucu, Nelayan Muara Gading Mas Lamtim Tangkap Rajungan Pakai Jaring Ramah Lingkungan
panas yang cukup menyengat, namun tak menghentikan aktivitas sejumlah nelayan yang tengah matu jaring (membersihkan jaring pasca melaut) di Desa Muara
Penulis: sulis setia markhamah | Editor: soni
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, LAMPUNG TIMUR - Matahari mulai merangkak naik, memancarkan panas yang cukup menyengat, namun tak menghentikan aktivitas sejumlah nelayan yang tengah matu jaring (membersihkan jaring pasca melaut) di Desa Muara Gading Mas, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur.
Untuk sampai lokasi, membutuhkan waktu sekitar 2 jam perjalanan darat dari Bandar Lampung, Ibukota Provinsi Lampung.
Di tengah kondisi masih ditemukannya nelayan menggunakan pukat jenis trol, ternyata sejumlah nelayan di desa itu peduli akan ekosistem laut yang seimbang dan memilih tetap setia menggunakan jaring ramah lingkungan.
Kadim, pria setengah baya berkulit kecokelatan, satu dari sejumlah nelayan yang tengah sandar ini nampak begitu khusyuk, merapikan kembali jaring yang baru saja dipakainya mencari rajungan di kedalaman laut yang ditempuh berjam-jam lamanya.
Meskipun terlihat lelah, Kadim, bapak tiga anak ini tak merutuki nasib sebagai nelayan tradisional.
"Lagi matu, abis melaut dini hari tadi. Nangkep rajungan pakai jaring tradisional," ungkap Kadim kepada Tribunlampung.co.id di Muara tempat perahu 3 GT miliknya sandar, Selasa (19/10/2021) siang.
Baca juga: Akibat Angin Kencang, Tangkapan Nelayan Bandar Lampung Merosot
Dia menceritakan, sudah menjadi nelayan sejak tahun 1994 silam ketika usianya masih belasan tahun. Pun sudah puluhan tahun berlalu, Kadim masih setia dengan profesi yang kerap bertaruh nyawa itu saat cuaca laut tidak bersahabat. Bahkan anak laki-lakinya turut melaut bersamanya.
Pria kelahiran 1976 silam ini bercerita, sejak dulu melaut menggunakan jaring tradisional. "Tadi sehabis melaut dapat rajungan 2,8 kilogram. Pakai jaring ukuran 3,5 inch. Ada juga ikan yang nyangkut di jaring," katanya.
Kadim melaut bersama putranya dan juga saudaranya. Masing-masing menebar jaring dan mendapatkan hasil yang lumayan di tengah kondisi belum musim rajungan. Meskipun begitu, jumlah tangkapan rajungan tersebut diakuinya terbilang jauh lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Sejak tergabung dalam kelompok binaan dua tahun silam, Kadim kini semakin mengerti pentingnya menggunakan jaring ramah lingkungan, memahami ukuran rajungan yang diperbolehkan untuk ditangkap, cara mendapatkan kartu Pas Kecil, kartu asuransi Kusuka (Kartu Usaha Kelautan dan Perikanan), dan lainnya.
Istri Kadim, Anisa, turut membenarkan. Menurutnya, kini dia dan suami menjadi lebih terbuka pemikirannya. Lebih proteksi diri untuk hal-hal yang dirasa janggal. "Nggak mudah ngasih data ke orang dengan alasan mau dapat bantuan ternyata zonk. Jadi bisa ngejawab sekarang," paparnya.
Namun ia merasa miris, masih ditemukan nelayan yang tidak peduli terhadap konservasi rajungan dan menggunakan cara penangkapan tidak ramah lingkungan.
"Iya masih ada yang pakai alat tak ramah lingkungan. Kesal sekali rasanya. Saya bisa saja beli alat (tidak ramah lingkungan) itu, tapi saya lebih memikirkan anak cucu saya nantinya," ungkap dia.
"Kalau pakai (trol) itu semua rajungan mau kecil juga, terus telur-telur ikan, pasir keangkat semuanya. Membayangkan besoknya anak cucu kita bisa dapat apa kalau begitu caranya," tutur perempuan yang sudah diajak melaut oleh orangtuanya sejak usia 12 tahun itu.
Kini, menurutnya efek dari tangkap ikan tak ramah lingkungan sudah mulai terlihat, dimana hasil tangkapan rajungan meskipun ada tapi tidak semaksimal dulu.