Berita Lampung
Jalan Berlumpur dan Tak Ada Listrik Sejak 1814, Warga Way Haru Pesisir Barat Minta Tolong Presiden
"Mana program Indonesia terang, kami masih gelap gulita. Tolong Pak Presiden," tutur Muhamad Romzi, tokoh adat Sai Batin Way Haru.
Tribunlampung.co.id, Pesisir Barat - Beridiri sejak 1814, hingga kini Way Haru belum juga dialiri listrik.
Tak cuma masalah listrik dan gelap gulita, jeritan hati masyarakat Desa Way Haru yang terletak di Kabupaten Pesisir Barat (Pesbar), Lampung ini makin lengkap dengan kondisi jalan yang masih berlapiskan tanah.
"Gelap, tidak ada listrik, jalan rusak. Itulah kami," tutur Muhamad Romzi, tokoh adat Sai Batin Way Haru Marga Belimbing, Minggu (17/07/20220.
Way Haru merupakan satu satunya desa yang masih terisolir hingga saat ini di Pesisir Barat.
Terhimpit di antara samudra Hindia dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Way Haru terletak di ujung Kecamatan Bengkunat.
Ia menceritakan, meski sudah pernah bergabung dengan tiga provinsi (Sumatra Selatan, keresidenan Bengkulu dan saat ini Lampung), Way Haru tetap tak pernah berubah.
"Warga Way Haru marga Belimbing sudah tinggal sejak 1814. Moyang kami juga ikut berjuang untuk merebut kemerdekaan Republik ini," tandasnya.
Namun, hingga saat ini masyarakat setempat belum pernah merasakan arti kemerdekaan.
"Sila kelima itu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mana adilnya," selorohnya.
Hingga saat ini, masyarakat Way Haru masih menggunakan gerobak dan sapi sebagai transportasi.
Moda transportasi itu digunakan untuk membawa barang yang akan keluar masuk dari Way Haru menuju Desa Way Heni.
Muhamad Romzi mengaku, masyarakat Way Haru sudah tidak percaya lagi dengan janji kampanye para politikus.
Bahkan berniat memboikot Pemilu serentak pada 2024 mendatang.
"Apa gunanya kami memilih Presiden, Gubernur, Bupati, DPR dan DPRD. Nasib kami selalu begini," ucapnya.
"Mana program Indonesia terang, kami masih gelap gulita. Tolong Pak Presiden," katanya lagi.
Warga Way Haru merasa hanya dijadikan konsumsi politik setiap musim Pemilu.
"Selalu kalau janji. Kalau saya menang bangun jalan. Jalan penghubung dari Way Haru ke Way Heni. Tapi janji ya tinggal janji. Sampai hari ini enggak ada," ungkapnya.
Karena itu, membuat masyarakat Way Haru sudah tidak percaya lagi dengan janji politikus.
Berlubang dan Berlumpur
Pantauan Tribunlampung.co.id saat menuju Pekon Way Haru diperlukan tenaga ekstra.
Pasalnya, jalur menuju Way Haru sangat sulit, penuh lumpur dan berlubang cukup dalam.
Kedalaman lubangnya bahkan hingga lutut orang dewasa.
Sebagian besar masyarakat setempat berpropesi sebagai petani.
Mulai dari kopi, lada, karet, pisang, jengkol dan kelapa cukup berlimpah di Way Haru.
Sihab warga Pekon Siring Gading Way Haru menyebutkan, Pekon Siring bisa menghasilkan 25 ton pisang per minggu.
Hasil tersebut belum ditambah dari tiga pekon lain yang ada di Way Haru.
Sihab mengkau menanam pohon pisang seluas 3 hektar.
Dimana dalam 1 hektar pohon pisang mampu menghasilkan 3 ton sekali tebang.
Sebegitu banyak, tak sedikit pisang yang dibiarkan masyarakat membusuk di pohon.
Ini disebabkan akses jalan yang terjal dan tidak bisa dilalui kendaraan untuk mengangkut hasil bumi yang ada di Way Haru.
"Kita biarkan saja membusuk. Kalau mau pakai gerobak atau motor harga ojeknya enggak sebanding," tuturnya.
Dijelaskannya, harga pisang di pasar Way Heni Rp 2.500 per kilogram, sementara ongkos ojek Rp 3.000 per kilogram.
Ia berharap, Pemerintah baik Kabupaten, Provinsi dan Pusat bisa melihat dan merasakan kesusahan masyarakat Way Haru.
"Kami mohon. Buatkan jalan," imbuhnya.
Hal senada juga diungkapkan Muhamad Romzi.
Masyarakat hanya meminta jalan yang layak meskipun cuma 1 meter.
"Kami Pak Presiden, Pak Gubernur. Warga Way Haru ada belasan ribu. Kami cuma minta listrik dan jalan. Itu saja. Supaya bisa bawa hasil bumi ke Pasar Way Heni," tutupnya.
(Tribunlampung.co.id/Saidal arif)