Pemilu 2024
Pemred Tribun Lampung Pandu Talkshow Bincang Politik Memilih Damai Jelang Pemilu 2024
Jelang Pemilu 2024, Tribunnetwork menggelar talkshow memilih damai di sembilan provinsi di Indonesia termasuk di Lampung.
Penulis: Riyo Pratama | Editor: Reny Fitriani
Tribunlampung.co.id,Bandar Lampung - Jelang Pemilu 2024, Tribunnetwork gelar talkshow memilih damai di sembilan provinsi di Indonesia termasuk di Lampung.
Dalam talkshow kali ini masih dalam nuansa tahun politik dengan mengusung tema, 'Komporasi Alokasi Suara Pemilih Jawa dan non Jawa dari Pemilu1955 -2019".
Provinsi Lampung merupakan series keempat, acara dipandu langsung oleh Pemimpin Redaksi Tribun Lampung, Ridwan Hardiansyah dan host Paramitha Soemantri.
Acara tersebut menghadirkan empat narasumber diantaranya, Rektor Universitas Megou Pak Tulangbawang Triono, kemudian Komisioner Bawaslu RI 2017-2022 Fritz Edwar Siregar.
Ada juga Wakil Dekan Tiga bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Robi Cahyadi dan Komisaris Utama PT Cyrus Nusantara Hasan Nasbi.
Mengingat sesuai data BPS di Indonesia tahun 2010, untuk suku terbesar yakni suku Jawa diangka 40-42 persen.
Baca juga: Dua Gadis di Lampung Utara Jadi Korban Curas, Pelaku Rampas Handphone dan Cincin
Baca juga: Profil Bendahara DPD Partai Gelora Metro Rafiatul Amanah, Hobi Travelling
Hal tersebut dibenarkan oleh Fritz Edwar Siregar yang menyatakan dari 180 juta penduduk di Indonesia, etnis Jawa berada diangka 100 juta sedangkan 80 juta di luar Jawa.
Sementara Robi Cahyadi menilai pada pemilu kerap sekali muncul politik identitas.
Bahkan kata dia, akar Identitas sudah mulai sejak Pemilu 1955, Robi menilai di Lampung sendiri mayoritas penduduk adalah Jawa.
Sementara Hasan Nasbi mengatakan realitas politik di Indonesia 60 persen ada di Pulau Jawa.
Lebih lanjut ia mengatakan banyak partai politik yang memiliki basis di Jawa dan itu sejak tahun 1955.
Sedangkan Triono menilai politik Identitas selalu dimainkan dalam pemilu.
Namun, kata Triono politik Identitas tidak begitu berpengaruh untuk kalangan milenial.
Ia melenial lebih cenderung ke Popularitas kandidat.
Diskusi berlanjut dalam bahasan kriteria dalam menentukan pemimpin dalam Pemilu.
Robi Cahyadi menilai para kaum millenial termasuk mahasiswa dalam memilih tidak terlalu berpengaruh menggunakan politik Identitas.
"Para kaum mahasiswa tidak peduli calon itu berasal dari suku apa, tapi mereka lebih kepada apa yang ditawarkan calon kepada mereka," kata Robi.
Disambut Fritz Edwar Siregar, dikatakannya bahwa politik Identitas masih berpengaruh di 2024 tapi tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya.
"Politik Identitas pasti masih digunakan dalam Pemilu tapi apakah berdampak, ya tergantung daerah," kata Edwar.
Sementara Hasan Nasbi menilai pemilih dalam Pemilu lebih kepada lingkungan.
"Menurut saya pemilih akan lebih terpengaruh kepada lingkungan atau kelompok mereka," ujarnya.
"Menurut survey sudah banyak nama-nama non Jawa yang yang populer di publik," imbuhnya.
Sementara Triono mengatakan, agar Partai membuka diri agar mengeluarkan capres-capres di luar Jawa.
"Sehingga pemimpin kita kita tidak melulu Jawa sentris," ungkapnya.
Selanjutnya masuk dalam bahasan tentang calon presiden tanpa Partai Politik.
"Kenapa tidak pernah dicoba calon presiden maju secara Independen, karena menurut survey publik tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Partai itu sangat minim," kata Robi Cahyadi.
"Kalau begitu perlu adanya amendemen konstitusi tapi dirancang pasca Pemilu 2024," jawab Hasan Nasbi.
Kemudian diskusi berlanjut ke segmen tanya jawab antara mahasiswa dan narasumber.
Pertanyaan pertama dilontarkan Rizki Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fisip Unila.
Ia bertanya "Apa sih yang membuat presiden non-Jawa sulit bersaing dalam Pilpres,"
Hal tersebut dijawab oleh Hasan Nasbi, Ia mengatakan karena kandidat di luar Jawa banyak yang tidak berani untuk mencalonkan diri sebagai Presiden.
"Sejauh ini baru 2 kali Pemilu ya yang muncul calon diluar Jawa, dan ini belum bisa disimpulkan kalau presiden sulit diluar Jawa," kata dia.
"Kita perlu mencoba 20-30 kali pencalonan baru bisa dijadikan sebuah teori," ujarnya.
Selanjutnya pertanyaan dari Hendra Mahasiswa Fisip Unila, ia bertanya.
"Kan kalau misalnya di US Obama berhasil mendobrak, White supermacy sebagai presiden, kira-kira bagaimana peluang di Indonesia untuk itu terjadi," tanyanya.
Pertanyaan tersebut direspon oleh Fritz Edward, ia mengatakan hal itu mungkin saja terjadi di Indonesia.
Asalkan kata dia, para pemimpin di Indonesia memiliki keberanian untuk melakukan perubahan.
Selanjutnya pertanyaan kembali dilontarkan oleh Dito, Mahasiswa Fisip Unila.
"Strategi seperti apa yang dibutuhkan oleh presiden di luar Jawa untuk bertarung di Pemilu 2024 nanti," tanyanya.
Hal itu dijawab langsung oleh Triono, ia mengatakan banyak faktor.
Namun kata dia, pola penggunaan medsos dan kelompok-kelompok komunitas harus di rawat, jadi lebih kepada pendekatan kepada masyarakat.
"Faktor media sosial memberi sumbangsih besar dalam Pemilu," kata dia.
Selanjutnya pertanyaan muncul dari Abethia Cahrani mahasiswa FKIP Unila.
Ia bertanya, "Syarat apa yang dibutuhkan untuk mendobrak tren presiden dari Jawa"
Hal itu dijawab oleh Robi Cahyadi, ia mengatakan, sudah seharusnya partai politik memunculkan kandidat di luar Jawa.
"Analoginya ibarat makanan kalau sajiannya hanya itu-itu saja jadi pilihan juga terbatas, harapannya semakin banyak kandidat maka pilihan juga semakin berwarna, dan merespon pertanyaan tadi ya ini kuncinya ada pada Partai Politik," ungkapnya.
Pertanyaan selanjutnya dari Rian Ramadhan mahasiswa Fisip Unila.
Ia bertanya "Mengingat Indonesia sudah memasuki industri 5.0 yaitu digitalisasi, dimana media sosial sangat berpengaruh, pertanyaannya bagaimana mengubah persepsi masyarakat terkait Identitas politik yang mayoritas presiden berasal dari Jawa," tanyanya.
Merespon hal itu Triono, mengatakan pola pendidikan politik sangat penting agar masyarakat tidak pragmatisme.
"Melalui pendidikan politik yang masif dan tidak hanya dilakukan menjelang Pemilu saja," kata Triono.
Selanjutnya masuk dalam segmen terakhir membahas tentang solusi agar pemilu berjalan lancar.
Robi Cahyadi menyampaikan agar KPU dan Bawaslu lebih mempublish agar seluruh kandidat di kulik informasi tentang recordnya.
"Jadi menurut saya seluruh kandidat harus dipaparkan perjalanannya, apakah dia pernah jadi Napi atau pernah melakukan hal-hal yang tidak baik agar disampaikan kepada masyarakat," kata dia.
Sehingga lanjutnya demokrasi di Indonesia lebih terbuka.
Selanjutnya Robi mengatakan Partai Politik lebih selektif dalam menentukan Presiden dan wakil Presiden.
"Caranya gimana Partai lebih mentreking kepala daerah terbaik lalu kemudian di rekomendasi menjadi Presiden, jangan dimunculkan calon-calon yang hanya memiliki pinansial tapi betul-betul di cari yang terbaik," kata Robi.
Sebagi closing statement Pemimpin Redaksi Tribun Lampung menyatakan harapan dalam diskusi ini agar masyarakat lebih cerdas dalam menentukan pilihan.
Diskusi berakhir secara lancar dan menghabiskan waktu 1 Jam 52 Menit.
( Tribunlampung.co.id / Riyo Pratama )