Pemilu 2024

Aji Bandar Lampung Imbau Jurnalis Tidak Rangkap Jabatan sebagai Penyelenggara Pemilu

Ketua AJI Bandar Lampung, Dian Wahyu mengimbau agar jurnalis fokus terhadap profesinya dan tidak ikut serta sebagai penyelenggara pemilu.

Penulis: Riyo Pratama | Editor: Reny Fitriani
Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama
Rapat fasilitas pengawasan penyelenggaraan tahapan Pemilu. Aji Bandar Lampung imbau jurnalis tidak rangkap jabatan sebagai penyelenggara Pemilu. 

Tribunlampung.co.id,Bandar Lampung - Jelang Pemilu 2024, Ketua AJI Bandar Lampung, Dian Wahyu mengimbau agar Jurnalis fokus terhadap profesinya dan tidak ikut serta sebagai penyelenggara.

Hal itu disampaikan dalam acara, rapat fasilitas pengawasan penyelenggaraan tahapan Pemilu dengan tema Efektifitas Peran Media Dalam Pengawasan Pemilu 2024.

Menurut Dian jika jurnalis tergabung sebagai penyelenggara tidak menjaga independensi prefesinya sebagai Jurnalis.

"Harusnya media lebih fokus dalam menjalankan profesinya, dan tidak terlibat dalam politik praktis termasuk dalam penyelenggara Pemilu," kata Dian Kepada Tribunlampung pada, Jumat (25/11/2022).

Karena kata dia, tugas Jurnalis sebagai sosial kontrol dan harus fokus menyampaikan informasi kepada publik.

"Jika Jurnalis rangkap jabatan, tentu waktu untuk meliput akan terganggu dan netralitas sebagai Jurnalis dipertanyakan," ujarnya.

Baca juga: Profil Wahid Asyari Ketua DPC PKB Metro Lampung, Hobi Travelling Sejak Kecil

Baca juga: Profil Widada, Anggota DPRD Pesawaran Lampung Hobi Makan Bakso dan Punya Usaha Kuliner

Lebih lanjut Dian mengatakan jika Jurnalis tergabung sebagai penyelenggara harusnya berhenti dari profesi tersebut.

"Harus menentukan pilihan, apabila ingin jadi penyelenggara Pemilu, berhenti dulu jadi Jurnalis supaya Fokus dalam menjalankan pekerjaan dan tidak keberpihak," ucapnya.

Saat disinggung apakah banyak di Lampung Jurnalis yang ikut serta sebagai penyelenggara, Ia mengatakan pada Pemilu sebelumnya ada beberapa Jurnalis yang ikut serta jadi tim sukses dan penyelenggara.

"Kalau kita lihat ya di beberapa wilayah termasuk di Lampung memang ada media dan jurnalis yang ikut jadi TS dan penyelenggara, hal ini sekali lagi saya tekankan tidak independen sebagai Jurnalis," tegasnya.

Terlepas dari itu mengutip surat edaran Dewan Pers tentang sikap wartawan dan media menjaga netralitas pemberitaan dalam menghadapi Pemilu 2024 mendatang.

Beberpa waktu lalu anggota Dewan Pers, A Sapto Anggoro, mengingatkan agar wartawan dan media menjaga netralitas pemberitaan dalam menghadapi Pemilu 2024.

Hal itu disampaikan pada acara penutupan uji kompetensi wartawan/jurnalis (UKW/UKJ) di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (16/10/2022) lalu.

Ia mengutarakan, banyak media yang dikuasai pemodal yang juga aktif di politik. 

Dilansir dari Rilis Dewan Pers tertulis bahwa wartawan profesional dan berkompeten harus bisa bersikap netral dalam menjalankan profesinya. 

Wartawan hendaknya bisa menyaring dan memilah informasi mana yang sebaiknya disampaikan ke publik dengan tetap menjaga netralitas.

Sikap netral dalam pemberitaan pemilu, menurut Sapto, sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). 

Pasal 1 KEJ menyatakan, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran kata berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. 

Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pada pihak lain.

Demikian juga kalimat ‘memberitakan secara berimbang’ di pasal 3 KEJ bermakna memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

Sapto berpesan kepada para wartawan yang sudah dinyatakan berkompeten di UKW Sidoarjo agar menghindarkan pemakaian diksi yang bisa membelah masyarakat. 

Hal itu bisa memperburuk kohesi sosial yang seharusnya dibangun lebih kondusif dengan tetap menjunjung tinggi demokratisasi.

Kondisi yang ada di masyarakat, ujarnya, sedang tidak kondusif. 

Masyarakat terpolarisasi sebagai ekses dari pemilu sebelumnya, caci maki dan sumpah serapah antarwarga sering muncul di media sosial/dunia maya, sehingga hubungan pertemanan serta persaudaraan terpengaruh.

 “Semestinya wartawan (termasuk yang berkompeten) menghindari diksi kadrun atau cebong yang tidak baik itu,” ujar Sapto sebagaimana dilansir dari Dewan Pers pada, Jumat (25/11/2022).

Menurut Lutfi Hakim, ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, angka itu terlalu sedikit dengan jumlah 42 ribu media. 

Ia mengusulkan Dewan Pers, dengan dukungan APBN, bisa melakukan UKW setiap tahun untuk sekitar 10 ribu orang.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Pusat, Herik Kurniawan, mendukung soal ini. 

Namun demikian, keduanya mengingatkan pada wartawan yang telah lulus uji kompetensi, bahwa tanggung jawabnya menjadi lebih besar karena menyandang predikat kompeten.

Baik Lutfi dan Herik sepakat, bahwa wartawan kompeten tak melupakan UU Pers pasal 3 ayat 1 yang menyebut pers berfungsi sebagai edukasi, hiburan, informasi dan kontrol sosial. 

Item, panggilan Lutfi, menekankan fungsi media sebagai watchdog amatlah penting.

Item menilai percuma wartawan yang sudah dinyatakan berkompeten tapi tidak melakukan kontrol sosial. 

Itu bagian dari melindungi kehidupan bangsa. 

Ia mencontohkan, para oligarki melakukan persekongkolan dengan pihak-pihak tertentu, termasuk di pemerintahan. 

Lalu wartawan mengetahui, melakukan investigasi, dan menuliskannya, ia menilai hal itu bagus.

“Suarakan, menggonggonglah dengan memberitakan. Akhirnya mereka tidak jadi sekongkol. Itulah cara wartawan berkompeten melindungi kehidupan bangsa,” kata dia. 

( Tribunlampung.co.id / Riyo Pratama )

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved