Berita Lampung

Jurnalis di Lampung Harus Jalankan Profesi Secara Profesional dan Taat Kode Etik

Setiap jurnalis, khususnya yang ada di Lampung, diharapkan bisa menjalankan profesinya secara preventif, profesional, dan taat terhadap kode etik.

Penulis: Deni Saputra | Editor: Noval Andriansyah
Dokumentasi PFI Lampung
Gelaran diskusi internal yang digagas SMSI Bandar Lampung berkolaborasi bersama PFI Lampung, bertema 'Ancaman KUHP terhadap Kinerja Jurnalis' digelar di Kantor SMSI Bandar Lampung, di Gang Gelatik, Pengajaran, Kecamatan Telukbetung Utara, Bandar Lampung, Selasa (20/12/2022). 

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Setiap jurnalis, khususnya yang ada di Lampung, diharapkan bisa menjalankan profesinya secara preventif, profesional, dan taat terhadap kode etik.

Hal tersebut terkait dengan telah disahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai undang-undang oleh DPR RI pada Selasa (6/12/2022). Dalam KUHP tersebut sejumlah pasal dinilai bisa saja menjerat para jurnalis yang bertugas di lapangan.

Harapan tersebut menjadi satu di antara yang mengemuka dari diskusi internal yang digagas para jurnalis yang tergabung dalam Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Bandar Lampung berkolaborasi bersama organisasi profesi Pewarta Foto Indonesia atau PFI Lampung.

Diskusi yang bertema 'Ancaman KUHP terhadap Kinerja Jurnalis' tersebut, menghadirkan sejumlah narasumber yakni Direktur LBH Pers Lampung, Candra Bangkit, serta perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Derry Nugraha.

Adapun pelaksanaan diskusi bertempat di Kantor SMSI Bandar Lampung, di Gang Gelatik, Pengajaran, Kecamatan Telukbetung Utara, Bandar Lampung, Selasa (20/12/2022).

Derry Nugraha menuturkan, KUHP tersebut sudah disahkan, dan ini adalah alarm besar bagi jurnalis.

"Karena kebebasan pers kita saat ini sedang disayat-sayat, sehingga memang diskusi-diskusi yang digelar seperti ini dirasa perlu untuk kita (jurnalis)."

"Sebab 17 pasal yang disahkan itu sangat berpengaruh untuk kita saat melakukan tugas-tugas jurnalistik," kata Derry saat diskusi, Selasa (20/12/2022). 

Derry pun berharap, lantaran KUHP tersebut sudah disahkan menjadi UU, maka setiap jurnalis haruslah menjalankan profesinya secara preventif, profesional, dan taat terhadap kode etik. "Karena hal tersebut adalah ruh dalam jurnalisme," sebut Derry.

"Kita juga harus disiplin dalam verifikasi dan konfirmasi sehingga berita itu menutup celah untuk orang bisa melaporkan dengan pasal-pasal karet KUHP."

"Karena kalau kita sudah profesional dan membuat berita sesuai kode etik, insha Allah saat kita dilaporkan, kita punya basis-basis argumen yang kita bisa digunakan supaya kita terhindar dari jerat hukum," sambung Derry. 

Di sisi lain, Candra Bangkit juga mengapresiasi kegiatan diskusi yang gelar SMSI Bandar Lampung dan PFI Lampung tersebut. 

Menurut Candra, diskusi seperti yang digelar tersebut bisa memberi pemahaman kepada setiap jurnalis yang hadir, agar tak terjerat pasal-pasal karet yang ada dalam KUHP tersebut.

Sementara itu, Ketua PFI Lampung, Arliyus Rahman berharap kegiatan diskusi seperti ini ke depannya bisa terus dilakukan guna bisa menambah wawasan para jurnalis, terkhusus yang berada di Kota Tapis Berseri. 

"Kami mengucapkan terima kasih kepada LBH Pers dan AJI Bandar Lampung yang sudah bersedia menjadi pembicara."

"Kami berharap kegiatan seperti ini bisa berlanjut, dan paling tidak kegiatan ini bisa menambah wawasan kita untuk ke depannya," tandasnya.

Dewan Pers Menyayangkan

Mengutip Kompas.com, Dewan Pers menyayangkan disahkannya KUHP sebagai undang-undang oleh DPR RI pada Selasa (6/12/2022).

Dewan Pers menilai keputusan tersebut minim partisipasi dan mengabaikan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers.

"Masih terdapat pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi pers dan wartawan," sebut Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Arif Zulkifli, dalam keterangan tertulis, Kamis (8/12/2022).

"Sejumlah pasal dalam UU KUHP tersebut sungguh mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi kini menghadapi upaya pembungkaman," jelasnya.

Dewan Pers menilai media massa yang bekerja untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang bermakna, akan lumpuh karena berhadapan dengan ancaman kriminalisasi oleh pasal-pasal UU KUHP.

Padahal, kemerdekaan pers harus dijaga di dalam alam demokrasi.

"Satu di antaranya dengan memastikan tidak adanya kriminalisasi terhadap wartawan."

"Perlindungan itu dibutuhkan agar wartawan dapat bebas menjalankan tugasnya dalam mengawasi, melakukan kritik, koreksi, dan memberikan saran-saran terhadap hal- hal yang berkaitan dengan kepentingan umum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan," ungkap Arif.

"Kemerdekaan pers terbelenggu karena UU KUHP itu dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik," jelasnya.

Dewan Pers mengaku telah menyusun daftar inventaris masalah ketika KUHP masih dirancang, khususnya soal pasal-pasal krusial yang mengancam pers.

Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 kluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi.

"Namun masukan yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPR tidak memperoleh feedback," ujar Arif.

Ketentuan-ketentuan pidana yang bisa menjerat pers dalam KUHP dianggap mencederai Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Berikut sejumlah pasal dalam KUHP yang berpotensi membungkam kebebasan pers dan mengancam kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan:

1. Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme.

2. Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

3. Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara.

4. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.

5. Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.

6. Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.

7. Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.

8. Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.

9. Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran.

10. Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.

11. Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

( Tribunlampung.co.id / Deni Saputra / Kompas.com )

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved