Berita Lampung

Kisah Nenek Hamidiati di Natar Lampung Selatan, Dapat Rp 25 Ribu Sehari dari Sampah

Rasa gatal dan sesak napas seringkali dirasakan Hamidiati tatkala sedang mengumpulkan barang-barang bekas yang bernilai ekonomi.

Tribunlampung.co.id / Dominius Desmantri Barus
Hamidiati (70), warga Dusun Tanjung Sari 5, Desa Tanjung Sari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, mencari barang bekas di TPAS dekat tempat tinggalnya, Selasa (7/2/2023). 

Tribunlampung.co.id, Lampung Selatan - Di usianya yang sudah senja, Hamidiati (70) masih terlihat bersemangat mencari barang bekas di tempat pembuangan akhir sementara (TPAS) yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

Hal itu harus dilakukan warga Dusun Tanjung Sari 5, Desa Tanjung Sari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung itu untuk menyambung hidupnya.

Suami Nenek Hamidiati sudah meninggal dunia lima tahun lalu.

Ia pun mau tak mau harus bekerja dengan memungut barang bekas.

Aroma tak sedap yang menusuk hidung tidak menghentikan Hamidiati untuk mencari barang bekas di tempat sampah.

Baca juga: Sampah Jadi Masalah Utama di Pelabuhan Ketapang Pesawaran Lampung

Rasa gatal dan sesak napas seringkali dirasakan Hamidiati tatkala sedang mengumpulkan barang-barang bekas yang bernilai ekonomi.

Di usianya yang sudah kepala tujuh, Hamidiati tidak mampu bekerja seproduktif teman-teman seprofesinya.

Terkadang ia hanya mampu berada di lokasi selama tiga jam dalam sehari.

"Nggak nentu, sekuatnya saja. Kalau sehari kadang cuma sampai tiga jam. Berangkat jam 9 atau jam 10, jam 12 atau jam 1 siang sudah pulang," kata Hamidiati, Selasa (7/2/2023).

"Kalau seminggu paling cuma bisa empat atau lima hari. Karena harus bergantian sama temen yang lain juga," ujarnya.

Sampah yang dikumpulkan Hamidiati selanjutnya disetorkan ke penampung.

Dalam sehari, Hamidiati mampu mengumpulkan 10 kg barang bekas.

Barang bekas bekas yang terkumpul dihargai Rp 2.500 per kg.

Artinya, dalam sehari ia mendapatkan penghasilan sebesar Rp 25 ribu.

"Zaman makin susah. Dulu per kilonya dihargain Rp 3.500. Sekarang hanya dihargain Rp 2.500. Udah dari tahun kemarin," ujarnya.

Dengan pendapatannya yang minim tersebut, Hamidiati harus pintar-pintar menggunakan uangnya.

Ditambah lagi, Hamidiati sudah hampir satu tahun tidak lagi menerima bantuan dari pemerintah desa.

Hamidiati tidak mengetahui penyebabnya.

Kali terakhir kali mendapat bantuan, Hamidiati dipaksa membelanjakan uang ke pemerintah desa.

"Iya, waktu itu sempat dapat. Tapi sudah setahun ini sudah nggak dapat bantuan lagi. Terakhir dapat bantuan jumlahnya Rp 600 ribu kalau tidak salah. Nenek juga lupa," katanya.

"Lalu dari uang bantuan Rp 600 ribu itu, dipotong lagi Rp 200 ribu. Kita disuruh belanja ke desa. Iya kita dapat juga sih bantuannya tapi dalam bentuk sembako. Beras, minyak, gula," ucapnya.

Hamidiati berharap bisa mendapatkan bantuan lagi.

Mengingat, ia tinggal sebatang kara.

Anak-anaknya yang sudah lama pergi merantau.

(Tribunlampung.co.id/Dominius Desmantri Barus)

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved