Berita Terkini Nasional

Ahli Geologi Ungkap Penyebab Terjadinya Banjir Lahar Dingin Sumbar yang Tewaskan 31 Orang

Bencana tersebut merenggut 31 nyawa manusia dan menyebabkan 46 orang luka-luka. Data tersebut tercatat hingga Minggu (12/5/2024) pukul 16.00 WIB.

Editor: taryono
TRIBUNNEWS.COM
Surau Kasiak An Nur yang berada di Simpang Bukik, Bukik Batabuah, Agam, Sumatera Barat. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Bencana banjir bandang lahar dingin melanda Sumatera Barat terjadi pada Sabtu (11/5/2024).

Bencana tersebut merenggut 31 nyawa manusia dan menyebabkan 46 orang luka-luka. Data tersebut tercatat hingga Minggu (12/5/2024) pukul 16.00 WIB.

Mengenai bencana alam tersebut, Ahli Geologi dari Sumatera Barat (Sumbar) Ade Edward ungkap penyebabnya.

Ade Edward menuturkan banjir lahar dingin di Agam dan Tanah Datar, Sumatera Barat, terjadi karena aliran sungai yang tidak dapat dikendalikan.

Kondisi itu pula yang menjadi sebab material dari Gunung Marapi terbawa banjir lahar dingin yang melintasi aliran sungai, dan masuk ke pemukiman warga sehingga jatuh korban.

Ia menekankan pentingnya sosialisasi mitigasi bencana kepada masyarakat.

"Solusi jangka panjangnya, secara kultural pemerintah harus terus melakukan pendidikan, sosialisasi, pelatihan dan penyadaran ke masyarakat," kata Ade, seperti dikutip Tribun Padang.

Selain itu, ia juga menggaungkan solusi secara struktural. Menurut dia, infrastruktur macam Sabo Dam di 24 aliran sungai dari puncak Gunung Marapi harus dibangun.

"Memang besar biayanya, tapi harus dilakukan," sambungnya.

Ade menyebutkan, sebelumnya ia telah mewanti-wanti bahwa aktivitas Gunung Marapi Sumbar tidak bisa diprediksi.

Ia memperkirakan aktivitas Marapi Sumbar akan seperti Gunung Merapi di Yogyakarta.

"Perlu pemerintah yang kuat dalam menghadapi bencana. Jadi jangan diabaikan ini. Harus serius mulai dari pemerintah kabupaten/ provinsi dan pusat," ulasnya.

Ia menyesalkan momen hari kesiapsiagaan bencana pada bulan lalu yang dipusatkan di Kota Padang, saat itu sebagian kecil warga di Kota Padang dilatih siap menghadapi potensi gempa dan tsunami.

Padahal, menurut Ade mestinya momen hari kesiapsiagaan bencana nasional itu digelar di sekitar Gunung Marapi.

"Itu keliru (hari kesiapsiagaan bencana nasional di Padang). Jadi, kebijakan nasional sendiri tidak mengarah ke situ, harusnya di Agam atau Tanah Datar, sebagai upaya kesiapsiagaan terhadap potensi bencana di Gunung Marapi. Kenapa kesiapsiagaan itu bukan untuk Marapi, ini yang kita sesalkan, ini pembelajaran juga untuk BNPB agar fokus ke mitigasi Marapi, pungkasnya.

Ade juga meminta keseriusan pemerintah menanggulangi risiko bencana di daerah aliran sungai (DAS) Gunung Marapi.

Banjir lahar dingin yang masuk ke pemukiman warga, menurutnya menjadi tamparan bagi pemerintah untuk tidak tinggal diam dan segera menanggulangi dampak, mulai dari dampak korban jiwa hingga kerusakan infrastruktur.

"Pascalahar dingin sebelumnya di Bukik Batabuah itu sebenarnya warga di sekitar DAS harus dipindahkan, tapi ini tidak dipindah, alur sungai dibiarkan saja, yang dibersihkan yang di jalan saja, alur sungai tak dirawat," kata Ade Edward.

Ade menegaskan, curah hujan dan erupsi Marapi tidak bisa dibendung. Namun pemerintah bisa memitigasi potensi bencana, yakni merelokasi masyarakat di DAS yang berhulu di Marapi. Selain itu, pengendalian aliran sungai amat perlu dilakukan pemerintah.

"Dari peta yang kita lihat, setidaknya ada 24 jalur sungai dari puncak Gunung Marapi. Itu ancaman bahaya bagi daerah hilir, sehingga secara kultural atau budaya masyarakat harus diberi pemahaman, dilatih, agar tahu mana daerah-daerah yang bahaya. Masyarakat harus dipindahkan atau direlokasi yang tinggal di DAS," kata Ade kepada TribunPadang.com melalui sambungan telepon, Minggu (12/5/2024) sore.

Selain merelokasi warga, hal paling penting menurut Ade yang harus dilakukan pemerintah ialah mengendalikan sungai. Pembangunan Sabo Dam dan embung dianggap solusi jangka panjang yang tak bisa dikesampingkan.

"Sabo Dam dan embung itu lah yang akan mengendalikan air sungai sehingga tidak melebar kemana-mana. Sebagai pengendali sungai, agar sungai tidak meluber ke pemukiman. Sehingga walaupun lahar dingin turun, tapi tetap di jalurnya," ulas Ade.

Ia menuturkan, membangun Sabo Dam memang membutuhkan waktu dan biaya yang besar, namun itu harus dikerjakan. Sembari itu masyarakat juga harus direlokasi, dan pemukiman harus ditata kembali.

"Memang tidak semua masyarakat mampu untuk pindah, di sana lah peran pemerintah. Pindahkan, relokasi, jangan dibiarkan tinggal di kawasan rawan bencana, itu tak bisa ditunggu," imbuh Ade.

31 tewas, 15 hilang

Data terbaru yang diperoleh Polda Sumbar, hingga hari Minggu (12/5/2024) pukul 16.00 WIB, tercatat 31 korban meninggal dunia dan 46 luka-luka akibat bencana banjir bandang lahar dingin yang melanda Sumatera Barat.

Dari 31 korban meninggal dunia masih ada yang identitasnya belum diketahui, dan masih diidentifikasi pihaknya.

Selain korban meninggal dan luka-luka, sampai sore ini terdata ada sebanyak 15 orang masih dalam pencarian.

Kapolda Sumbar Irjen Pol Suharyono mengatakan, jumlah 31 korban meninggal dunia ini berdasarkan update terbaru yang didapat pihaknya.

"Korban meninggal ini tersebar di RS Bhayangkara, RSAM Bukittinggi dan Puskesmas Kayu Tanam," ujarnya saat meninjau lokasi bencana di kawasan Lembah Anai, Tanah Datar.

Suharyono belum bisa memastikan data pasti korban yang dirawat di masing-masing rumah sakit.

"Data akuratnya belum saya kantongi, soalnya ini data terbaru.

Dan beberapa korban juga sudah ada dibawa oleh pihak keluarga," ujarnya.

Terkait 15 orang yang dilaporkan hilang, Suhartono menduga para korban ini telah meninggal dunia mengingat kondisi bencana yang terjadi waktu mereka hilang.

"Kami juga masih membuka posko pengaduan dan pelayanan untuk masyarakat yang masih ada keluarganya belum ditemukan," ujarnya.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved